Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RANCANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP menuai kritik dari berbagai kalangan. Penyebabnya, penyusunan draf itu dianggap tak cukup melibatkan partisipasi publik. Berbagai pasalnya pun dinilai bermasalah. Wawancara Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej dengan Tempo di kantornya pada Kamis, 21 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenapa pemerintah berlama-lama membuka RKUHP?
Kami menyempurnakan hasil sosialisasi. Bayangkan, dari judul sampai penjelasan lebih dari 1.000 halaman. Ini makan waktu. Setelah selesai, kami serahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat dan dibuka ke publik. Memang mekanismenya begitu.
Pemerintah dianggap tak melibatkan partisipasi publik. Apa tanggapan Anda?
Rancangan KUHP masuk DPR pada 1963, sudah 59 tahun lalu. Pembahasannya selesai di DPR periode 2014-2019. Kurang-lebih ada daftar inventarisasi 6.000 masalah yang berasal dari koalisi masyarakat sipil dan tercatat dengan baik. Apa kami tidak melibatkan partisipasi publik? Saya pastikan, pemerintah dan DPR pasti membuka partisipasi publik. Minimal ada dua kali sidang yang terbuka dan mengundang partisipasi publik.
Sejauh apa suara kelompok sipil dipertimbangkan dalam perumusan RKUHP?
Pasal penodaan agama diubah sesuai dengan masukan Indonesian Consortium for Religious Studies. Tidak ada lagi kata “penistaan” karena terlalu absurd. Pasal aborsi, atas usul teman-teman Institute for Criminal Justice Reform, kami ubah dan sesuaikan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Ada desakan untuk mensimulasikan pasal-pasal kontroversial untuk melihat implikasi RKUHP.
Selama masa transisi dua tahun, kami bekerja keras untuk mensosialisasi. Terutama kepada aparat penegak hukum supaya ada frekuensi, standar, dan parameter yang sama untuk mengaplikasikan pasal-pasal tersebut. Di dalam tim penyusun ada perwakilan Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI dan kejaksaan. Saat merumuskan satu pasal, kami tanya pendapat mereka. Pasal sejelas apa pun pasti membuka peluang untuk interpretasi.
Kenapa pemerintah mempertahankan pasal-pasal penghinaan?
Baca putusan Mahkamah Konstitusi. Ada satu perspektif tentang penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden serta wakil presiden yang perlu dipertimbangkan. Jika presiden dihina, kita bisa bilang kepada pengikutnya tak usah ribut karena presiden saja tidak mengadu.
Bagaimana jika presiden selanjutnya baperan dan mengadu?
Itu hak dia. Yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945 adalah kebebasan berpendapat, bukan kebebasan menghina. Itu dua hal yang berbeda.
Negara juga dianggap ingin mengatur ranah privat lewat RKUHP ini.
Kami bikin KUHP yang multietnis, multireligi, multikultur. Itu susah sekali. Kami sosialisasi di 12 provinsi. Ada provinsi yang meminta zina tidak diatur karena terlalu masuk ke urusan privat. Tapi Sumatera Barat minta ini bukan delik aduan dan siapa pun bisa melapor. Menurut mereka, zina adalah perbuatan yang melanggar norma agama. Tentang pidana mati, aktivis HAM minta dihapus, tapi teman-teman antikorupsi minta hukuman mati untuk koruptor.
Pemerintah mengambil jalan tengah?
Ada jalan tengah, win-win solution. Misalnya pidana mati menjadi bersifat alternatif dan ada masa percobaan sepuluh tahun.
Bukankah tim perumus perlu mengedukasi publik tentang ranah privat dan ranah pidana?
Dalam hukum Islam, ranah privat seperti zina termasuk kejahatan hukum. Kita pun mayoritas muslim. Memang tidak mungkin ada RKUHP yang sempurna. Itu mengkhayal. Tapi inilah yang terbaik. Para guru besar penyusun RKUHP mengusulkan tanpa vested-interest. Siapa yang meragukan kredibilitas mereka? Kami kan hanya meneruskan. Pak Muladi (mantan ketua tim perumus RKUHP) bilang, jangan mengkhianati warisan leluhur.
Ada anggapan RKUHP tak boleh diubah karena merupakan hasil pemikiran para guru besar hukum.
Yang mereka sampaikan benar secara doktrin hukum pidana, kecuali kalau secara doktrin salah. Jadi bukan soal personifikasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo