Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Naiknya harga minyak dan gas bisa menjadi momentum transisi EBT.
Transisi energi menghadapi tantangan pembiayaan.
Pemerintah seharusnya memprioritaskan anggaran transisi energi ketimbang subsidi energi fosil.
TAK ada lagi alasan bagi pemerintah untuk terus menunda proses transisi energi, dari bahan bakar fosil ke sumber energi baru dan terbarukan (EBT). Melambungnya harga minyak dan gas saat ini seharusnya menjadi momentum peralihan menuju energi bersih. Sudah saatnya pemerintah memprioritaskan anggaran untuk pengembangan sumber energi bersih yang ramah lingkungan dan berkelanjutan daripada membangun pembangkit listrik energi fosil yang bakal mubazir di masa depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia sebenarnya sudah punya peta jalan transisi menuju energi bersih. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral membuat rencana penggunaan EBT hingga 23 persen dalam bauran energi tahun 2025. Hingga 2021, penggunaan EBT baru 13,7 persen atau baru lewat separuh jalan. Rencana yang lebih ambisius bakal diterapkan lima tahun kemudian. Mulai 2030, pemerintah hanya akan membangun pembangkit listrik energi baru, seperti tenaga matahari, angin, air, panas bumi, dan arus laut. Pada 2049 bahkan ada rencana untuk mulai memakai energi nuklir buat tenaga listrik, meski hal ini masih menjadi kontroversi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentu saja mewujudkan rencana tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tantangan utama yang harus dipecahkan adalah pembiayaan. Hitung-hitungan pemerintah menyebutkan kebutuhan untuk transisi energi mencapai US$ 5,7 miliar atau sekitar Rp 85 triliun per tahun. Meski begitu, angka ini masih di bawah belanja subsidi energi per tahun yang rata-rata mencapai Rp 150 triliun.
Lebih jauh lagi, kebutuhan dana untuk menurunkan 29 persen emisi karbon di sektor kelistrikan mencapai Rp 3.500 triliun. Belum termasuk kebutuhan untuk menurunkan emisi karbon di sektor lain, seperti transportasi dan industri. Di titik ini pemerintah berkejaran dengan target net zero emission atau nol emisi karbon yang harus tercapai pada 2060.
Janji Presiden Joko Widodo untuk mendorong PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menghentikan operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara mesti selekasnya diwujudkan. Forum internasional seperti pertemuan negara-negara G20 bisa menjadi momen untuk merangkul lembaga donor dan para filantropi buat mengeksekusi rencana ini.
Yang paling krusial adalah melaksanakan sungguh-sungguh program yang sudah dibuat. Kemauan politik pemerintah diuji, apakah benar-benar mau menyetop operasi PLTU dan menggantinya dengan sumber energi bersih atau sebaliknya. Apalagi kita semua tahu bahwa rencana ini bakal berdampak buruk pada bisnis para pemasok batu bara yang dekat dengan kekuasaan.
Pemerintah tak perlu khawatir akan sumber daya energi bersih di Tanah Air. Dengan potensi EBT yang mencapai total 3.686 gigawatt, sudah pasti bakal menjadi daya tarik bagi investor untuk mengembangkannya. Tinggal bagaimana pemerintah merangkul mereka dengan regulasi yang fair, jaminan kepastian berbisnis, serta insentif yang sama-sama menguntungkan. Yang harus diingat, kita bakal lebih merugi jika gagal memanfaatkan transisi energi dengan terus memakai energi fosil dan tak beralih ke sumber energi bersih mulai saat ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo