Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Juru Kunci dari Senayan

Helmy Yahya mencoba memperbaiki laporan keuangan dan rating TVRI. Tak lagi menjadi juru kunci.

25 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pada masa Helmy Yahya, laporan keuangan TVRI berpredikat wajar tanpa pengecualian.

  • Direksi TVRI juga mencoba memperbaiki rating dengan membeli berbagai program luar negeri.

  • Helmy mengklaim tayangan ulang di TVRI terus menurun.

SEJAK didaulat menjadi Direktur Utama TVRI pada November 2017, Helmy Yahya melakukan sejumlah perombakan di tubuh lembaga penyiaran publik itu. Salah satunya dilakukan di manajemen keuangan dengan mengubah sistem pembayaran yang semula tunai menjadi nontunai. “Kami menerapkan sistem cashless. Jadi enggak ada lagi kas. Semua transfer,” ujar Helmy kepada Tempo, Rabu, 22 Januari lalu.

Komitmen itu pun disampaikan Helmy ketika dilantik di Gedung TVRI, Senayan, Jakarta, pada 29 November tiga tahun lalu. Helmy meyakini sistem itu efektif menutup berbagai kebocoran anggaran yang terjadi di TVRI. Sebelum sistem itu berlaku, kata Direktur Keuangan TVRI Isnan Rahmanto, pembayaran seperti honor narasumber, sewa hotel untuk acara, dan biaya tiket pesawat dilakukan secara tunai. Setelah Helmy masuk, tak ada lagi pembayaran tunai. Ia mencontohkan, honor untuk narasumber langsung dikirim ke rekening setelah acara selesai.

Menurut Helmy, penolakan sempat terjadi ketika dia mengubah sistem pembayaran tersebut. Sekalipun mendapat sejumlah penolakan, penerapan cashless justru membawa TVRI memperoleh opini wajar tanpa pengecualian dari Badan Pemeriksa Keuangan atas laporan keuangan 2018. Helmy mengklaim itulah pertama kalinya TVRI mendapat opini tersebut.

Sebelumnya, pada 2014-2016, TVRI menerima opini disclaimer. Anggota III BPK, Achsanul Qosasi, mengatakan pada 2013-2016 pengelolaan TVRI berantakan. Ia mencontohkan, pencatatan aset TVRI cukup buruk dan belanja barang kerap berulang. “Ada laptop yang sudah dibeli kemudian dianggarkan tahun berikutnya,” ujarnya saat ditemui Tempo pada Jumat, 24 Januari lalu.

Tak lama setelah dilantik, Helmy dan jajaran direksi bertemu dengan Achsanul dan berkonsultasi tentang masalah kebocoran anggaran di TVRI. Achsanul menjelaskan segudang persoalan yang ada di situ. Mengetahui sejumlah masalah, Helmy bersama direksi berusaha memperbaikinya. “Saya jelaskan ini yang harus dibereskan. Dia kan akuntan, jadi dia mengerti pembukuan,” kata Achsanul. Adapun pada 2017, TVRI mendapat opini wajar dengan pengecualian.

Meski TVRI mendapat opini wajar tanpa pengecualian, dalam rapat dengan Komisi Penyiaran Dewan Perwakilan Rakyat pada Selasa, 21 Januari lalu, Dewan Pengawas TVRI menuding Helmy melakukan pemborosan. Salah satunya terkait dengan pembelian hak siar Liga Primer Inggris yang memunculkan tagihan Rp 27 miliar pada November 2019. Namun surat dari direksi kepada Dewan Pengawas pada 28 Juni 2018 bisa jadi menunjukkan hal sebaliknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Siaran langsung Liga Inggris di TVRI, Jakarta. Twitter TVRI Siaran Nasional

 

Dalam surat yang salinannya diperoleh Tempo itu, disebutkan bahwa mobil dinas Honda Odyssey untuk semua anggota Dewan Pengawas telah diserahkan dari penyedia kepada TVRI. Surat itu mencantumkan lima nama anggota Dewan Pengawas berikut nomor pelat mobil untuk mereka. Tapi ada catatan tulisan tangan tertera di salinan surat itu. Isinya menyatakan satu anggota Dewan Pengawas tidak bersedia menerima Honda Odyssey dan meminta dibelikan mobil BMW, “yang lebih mahal”.

Entah berapa harga yang disebut lebih mahal tersebut, tapi saat itu harga Odyssey sekitar Rp 720 juta. Tertulis dalam surat tersebut, mobil BMW untuk satu anggota Dewan Pengawas itu terpaksa dibeli. Direktur Program TVRI Apni Jaya Putra bercerita, persoalan pembelian mobil BMW itu juga dibahas dalam rapat direksi. “Satu orang anggota Dewan Pengawas minta BMW,” ujar Apni.

Sesungguhnya Honda Odyssey pun tidak masuk rencana pembelian. Pada 15 Februari 2018, Helmy Yahya bersurat kepada Dewan Pengawas soal tawaran tiga merek kendaraan untuk Dewan Pengawas, yaitu Toyota Camry, Mitsubishi Pajero Sport, dan Toyota Fortuner. Namun, kata pejabat di TVRI yang mengetahui proses pemilihan mobil itu, Dewan Pengawas menolak ketiganya dan memilih Odyssey.

Anggota Dewan Pengawas TVRI, Supra Wimbarti, tak menampik kabar tentang pembelian mobil tersebut. Ia pun membenarkan info bahwa satu anggota Dewan Pengawas memilih menggunakan BMW. Menurut Supra, Dewan Pengawas memang memiliki alokasi anggaran untuk fasilitas mobil dinas sekitar Rp 700 juta per orang. Ia tak mempersoalkan jenis mobil yang dibeli, sepanjang tak melampaui plafon. “Odyssey dengan Camry hampir sama harganya,” ucap Supra.

Karena mobil sudah telanjur dibeli, Helmy memilih tak membeli mobil dinas baru untuknya. Ia memilih menggunakan Odyssey yang tak dipakai anggota Dewan Pengawas. Direktur Umum TVRI Tumpak Pasaribu mengatakan Helmy memang berhak mendapat fasilitas mobil 2.500 cc seperti Toyota Camry. “Tapi dia tak mau dibelikan Camry. Padahal anggarannya sudah kami siapkan,” ujar Tumpak.

 

•••

 

TAK hanya membeli hak siar Liga Primer Inggris, pada masa kepemimpinan Helmy, TVRI menambah sejumlah program lain. Direktur Program TVRI Apni Jaya Putra mengatakan program itu bertujuan memberikan berbagai variasi untuk penonton. Misalnya menayangkan pertandingan bulu tangkis yang hak siarnya dimiliki Federasi Bulu Tangkis Dunia. Direksi TVRI membeli pula hak siar Discovery Channel.

Menurut Helmy Yahya, TVRI juga mendapat beberapa program hibah alias gratis untuk konten animasi anak dari luar negeri, seperti Panda Fun Fair dari Cina dan Appu dari India, atas pembelian film Little House on the Prairie. Helmy mengklaim pertambahan program itu membuat angka rerun atau siaran ulang di TVRI menurun. Pada 2017, angka rerun mencapai 55 persen. Setelah Helmy menjadi direktur utama, angka itu menjadi 49 persen. “Kami berhasil menurunkan angka rerun,” ujar Helmy.

Ia menganggap program-program pilihan tersebut mampu memikat penonton dan mendongkrak rating TVRI, yang secara perlahan naik. Sebelumnya, rating TVRI nyaris selalu di posisi buncit, yakni 15, tapi sekarang bisa berada di kisaran urutan 8-11. Pada 17 Januari lalu, ketika Helmy dipecat, TVRI menempati posisi sembilan di antara stasiun televisi nasional.

Namun kenaikan rating itu justru dikritik Dewan Pengawas TVRI. Dalam rapat bersama Komisi Penyiaran DPR, Ketua Dewan Pengawas Arief Hidayat Thamrin menyebutkan Helmy hanya mengejar rating semata. “Seolah-olah hanya mengejar rating dan share seperti TV swasta,” ujar Arief.

Helmy membantahnya. TVRI, kata dia, tetap menyajikan program budaya dan edukasi yang membawa pesan persatuan bangsa. Agar pesan itu sampai, penonton perlu digaet untuk menonton TVRI. “Kalau kita kirim pesan, tapi tidak ada yang tonton, sama seperti kita berteriak di dalam ruang hampa,” katanya.

 

DEVY ERNIS, WAYAN AGUS PURNOMO, ROSSENO AJI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus