Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pendeta Maloali dan pastor Ombus disandera bersama beberapa pejabat militer di Irian Jaya
Penyanderaan diduga dilakukan oleh kelompok Papua pimpinan Martin Tabu
Ada keragu-raguan peristiwa didalangi oleh Martin Tabu
DUA pemuka agama tewas ditembak dalam sepekan berturut-turut di Papua: pendeta Yeremias Zanambani di Intan Jaya dan Alfred Degei di Nabire. Yeremias ditemukan istrinya bersimbah darah di kandang babi akibat luka tembak dan luka tikam pada Sabtu, 19 September lalu. Adapun Pendeta Alfred, 55 tahun, ditemukan meninggal dengan luka kepala pada Selasa, 22 September.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amnesty International Indonesia mendesak Kepolisian Republik Indonesia segera menyelidiki kasus penembakan ini. “Polisi harus mengusut tuntas kasus penembakan Yeremias Zanambani yang diduga melibatkan TNI (Tentara Nasional Indonesia),” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Menurut catatan Amnesty International, terjadi lima kasus pembunuhan dengan delapan korban di Papua dalam tiga bulan terakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerita kekerasan terhadap pendeta di tanah Papua buka baru-baru ini saja terjadi. Tempo pada 27 Mei 1978 menerbitkan laporan berjudul “Penculikan Pendeta Maloali”. Dalam laporan itu, Pendeta W. Maloali dikabarkan hilang dalam perjalanan ke pedalaman sejak 16 Mei 1978.
Kabar hilangnya pria yang juga menjabat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Irian Jaya itu menyeruak pertama kali saat upacara penyambutan Menteri Luar Negeri Papua Nugini Olewale. Dalam acara yang dihelat pada 20 Mei 1978 itu, Maloali tak menunjukkan batang hidungnya.
Penelusuran terhadap jejak Maloali dimulai dari rencana menemui 27 anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM). Ia dijadwalkan ikut rombongan Komandan Resor Militer 172 Kolonel Ismail serta Letnan Kolonel Amiral dari Staf I Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih menuju desa terpencil dekat perbatasan Papua Nugini, tempat anggota OPM akan menyerahkan diri. Maloali dan rombongan berangkat dari Bandar Udara Sentani menumpang helikopter Angkatan Udara.
Semestinya, perjalanan pulang-pergi hanya memakan waktu dua jam. Tapi, pada pukul 11 siang, tak ada tanda-tanda helikopter kembali. Semua orang yang berencana menyambut rombongan perlahan panik, termasuk istri sang pendeta dan keempat anaknya. Kepanikan memuncak kala hubungan radio petugas Bandara Sentani dengan helikopter pengangkut rombongan terputus.
Berselang beberapa hari, radio SSB di kantor pemerintah daerah Irian Jaya menangkap sinyal dari pedalaman. Di awal-awal terdengar suara Kolonel Ismail yang menjelaskan lokasi ia berada dalam bahasa Jawa. Bersahut-sahutan, Frans Leo, pemburu kulit buaya yang ikut mengatur acara penyerahan diri para terduga anggota OPM, juga menjelaskan lokasinya dalam bahasa Cina.
Lalu suara-suara tersebut hilang dalam sekejap. Berhari-hari berlalu, sampai tersiar kabar: bapak pendeta itu disandera OPM di sebuah tempat terpencil di Kecamatan Ubruk. Seorang pastor dari Ordo Fratrum Minorum bernama Aloysius Ombos juga menjadi tawanan.
Penculikan diduga bermula dari rasa sakit hati Martin Tabu, salah satu pemimpin OPM, karena Gubernur Irian Jaya saat itu, Soetran, dianggap ingkar janji. Soetran sebelumnya berjanji akan memberikan biaya pemukiman kembali kepada dia dan anak buahnya yang bersedia kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi sebesar Rp 170 juta. Uang itu disebut-sebut sebagai bantuan presiden, tapi tak kunjung direalisasi.
Martin diduga merencanakan penculikan agar pemerintah segera merealisasi bantuan tersebut. Ia mengirim utusan, Marcus Sam, yang mengabarkan akan ada 27 anggota OPM yang menyerahkan diri. Pada hari yang dijanjikan, mereka menyergap rombongan dan membakar helikopter. Lalu rombongan disandera.
Namun seorang pejabat Papua mengatakan penculikan ini tak mungkin dilakukan Martin Tabu. “Martin Tabu sebenarnya orang baik,” katanya. Terlebih jarak kampung asal Martin dengan lokasi penyanderaan sangat jauh. Ia menduga ada skenario lain di balik penyanderaan para pejabat dan pemuka agama ini.
Martin bergabung dengan OPM dilatari kekecewaan terhadap pemerintah Indonesia yang menganaktirikan pembangunan Irian Jaya. Karena itu, pada 1970 ia bergabung dengan kelompok Zeth Jafet Rumkorem. Tapi, pada akhir 1970-an, ia berpisah jalan dengan Zeth dan membentuk kelompok sendiri. Alasannya, ia tak menyenangi cara-cara kasar Zeth dalam memberangus musuh ataupun terhadap anak buah sendiri.
Ia dekat dengan Pastor Ombos, yang ikut jadi sandera. Pastor Ombos pula yang mendampingi Martin kembali ke pangkuan Republik di awal tahun ini, 1978, melalui perantaraan Frans Leo. Ia diterima Letnan Kolonel Muhadi dan diberi 200 lembar seng. Gubernur Soetran lantas berjanji memberikan bantuan, yang kemudian dianggap diingkari. Sementara itu, Panglima Komando Daerah Militer Cenderawasih Brigadir Jenderal Imam Munandar tak bersedia mengkonfirmasi peristiwa ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo