Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRIORITAS utama sebuah badan usaha milik negara seyogianya adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk negara. Aksi spekulatif, apalagi yang risikonya tak terukur pasti, mesti dijauhi. Uang rakyat, yang diwakili pemerintah sebagai pemilik saham mayoritas di semua BUMN, tak boleh sampai terbuang sia-sia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prinsip tersebut patut menjadi pertimbangan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir ketika mengkaji rencana PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), anak perusahaan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk atau Telkom, membeli saham PT Aplikasi Karya Anak Bangsa alias Gojek Indonesia. Penelusuran majalah ini menemukan bahwa transaksi senilai US$ 150 juta atau setara dengan Rp 2,25 triliun itu sudah nyaris final.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekhawatiran seputar risiko dari transaksi jumbo ini tentu dapat dipahami. Meski Gojek adalah perusahaan rintisan luar biasa yang kini berstatus decacorn pertama dari Indonesia, masa depan bisnis digital mereka masih bergantung pada banyak faktor. Ekosistem Internet di Indonesia, kebiasaan digital para pengguna, hingga ketatnya kompetisi bakal menentukan nasib Gojek sampai beberapa tahun ke depan.
Apalagi Telkom dan Telkomsel bukanlah Djarum atau Astra Indonesia. Dua konglomerat yang juga pemegang saham Gojek itu adalah perusahaan swasta. Mereka memiliki prinsip berbeda dalam mengelola manajemen risiko dan aksi korporasinya. Setidaknya dana yang mereka suntikkan ke Gojek tidak berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Direksi PT Telkom dan Telkomsel memang punya rencana besar di balik aksi pembelian saham Gojek ini. Mereka yakin sinergi dengan sebuah perusahaan rintisan yang mengkilap bisa mempercepat laju transformasi bisnis digital mereka sendiri. Beberapa rencana bisnis, dari penggabungan data pelanggan hingga ekspansi penggunaan kartu telepon seluler pada aplikasi Gojek, sudah dirancang dengan proyeksi keuntungan berkali-kali lipat.
Namun rekam jejak BUMN itu bisa membuat semua kalkulasi bisnis tersebut menjadi tak terlampau meyakinkan. Selama bertahun-tahun, beberapa inovasi digital Telkom tak memberikan hasil sesuai dengan harapan. Terakhir, aplikasi e-commerce mereka yang disokong raksasa digital e-Bay, Blanja.com, juga ditutup. Ketimbang terus membakar duit di sektor yang bukan kompetensi utamanya, lebih baik Telkom berkonsentrasi membesarkan lini bisnis utamanya sebagai penyedia jaringan telekomunikasi andal di Tanah Air.
Bukan hanya itu. Pasal 2 huruf d Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara memang mengatur pentingnya perusahaan negara mengejar keuntungan. Peraturan ini juga membolehkan BUMN bergerak di usaha-usaha rintisan. Tapi batasannya jelas, yakni “menjadi perintis usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi”. Masuknya Telkom ke usaha digital yang jelas-jelas sudah penuh sesak dengan pemain swasta tak konsisten dengan peraturan perundang-undangan itu.
Terlebih medan perang bisnis digital bukanlah pertempuran yang biasa dilakoni perusahaan negara. Pemenang kompetisi sengit di sana amat bergantung pada dalamnya kocek para pemainnya. Sebagai BUMN, apa boleh Telkomsel tak meraup keuntungan dari pembagian dividen saham? Apa strategi Telkomsel agar investasinya kelak mendatangkan profit berkali-kali lipat ketika jadwal penjualan saham publik (initial public offering) Gojek belum dapat dipastikan?
Semua pertanyaan itu sebenarnya pernah dilontarkan kepada manajemen Telkom ketika mereka pertama kali menggulirkan rencana pembelian saham Gojek, beberapa tahun lalu. Ketika itu, tersiar kabar Telkom sudah menyiapkan dana Rp 7 triliun untuk mengakuisisi 3 persen saham Gojek. Tapi rencana tersebut tak mendapatkan persetujuan Menteri BUMN sebelumnya, Rini Soemarno. Publik tentu berharap fakta bahwa kini pendiri Gojek, Nadiem Makarim, menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta adik salah satu Komisaris Gojek, Garibaldi Thohir, menjabat posisi Menteri BUMN tak mempengaruhi keputusan bisnis bernilai triliunan rupiah ini.
Kekhawatiran sebagian kalangan soal rencana pembelian saham ini lebih terkait dengan posisi Telkom sebagai perusahaan negara ketimbang kedudukan Gojek sebagai perusahaan rintisan cemerlang dengan valuasi Rp 186 triliun. Dengan mitra sekitar 2 juta pengemudi dan 500 ribu pedagang, perusahaan teknologi itu sudah menjadi bagian vital dari denyut nadi perekonomian negeri ini. Ketimbang mengawinkan keduanya, membiarkan Telkom konsisten sebagai penyedia jejaring telekomunikasi paling berkualitas dengan sendirinya akan menyokong perkembangan Gojek sebagai raksasa digital Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo