Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH tidak boleh gegabah dalam menanggapi penolakan berbagai elemen masyarakat Papua terhadap perpanjangan status otonomi khusus. Tuntutan penentuan nasib sendiri yang mereka ajukan seyogianya tidak dibalas dengan tindakan represif. Seperti lingkaran setan, kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akar masalah Papua adalah ketidakadilan dan diskriminasi. Selama hal tersebut tak dibereskan, sebesar apa pun dana otonomi khusus yang dikucurkan Jakarta ke Papua tak akan lebih dari sekadar gula-gula. Sejak 2002, setahun setelah Papua diberi status otonomi khusus, pemerintah telah mengucurkan Rp 126,99 triliun, jauh lebih besar dari rata-rata dana alokasi khusus sejumlah provinsi lain di Indonesia. Tapi, seperti pengakuan pejabat pemerintah, performa penggunaan dana otonomi khusus—dilihat dari indikator pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur—Papua jauh lebih buruk dari kebanyakan daerah dengan karakteristik serupa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo memang menunjukkan perhatian kepada Papua dengan memutuskan kebijakan satu harga bahan bakar minyak dan memacu pembangunan jalan trans-Papua. Tapi itu tidak cukup. Mengedepankan pendekatan kesejahteraan, pemerintah nyatanya tak banyak mengirimkan tenaga pengajar dan kesehatan. Yang terjadi justru sebaliknya. Pemerintah mengerahkan lebih banyak tentara dan polisi, terutama bila ada riak-riak di sana.
Pendekatan keamanan itulah yang kerap memancing ketegangan dan tak jarang menyebabkan pelanggaran hak asasi. Pelakunya bisa siapa saja, tapi korbannya sama: rakyat Papua. Dalam penembakan pendeta Yeremia Zanambani pada pertengahan September lalu, militer menuduh milisi pelakunya. Sebaliknya, istri Yeremia dan penduduk sekitar menuding tentaralah penembaknya. Meski mungkin suatu saat terungkap pelakunya, Yeremia dan korban-korban lain tak akan pernah kembali.
Pemerintah harus belajar bahwa pendekatan keamanan dalam menyelesaikan masalah Papua telah melahirkan orang-orang seperti Benny Wenda, tokoh Papua yang bermukim di Inggris. Penangkapan Benny pada akhir 2000 dengan tuduhan menghasut penduduk untuk menyerang kantor polisi Abepura memunculkan dugaan bahwa pemerintah tengah membungkam Benny yang gencar menyuarakan referendum. Setelah kabur dari penjara dan mendapat suaka di Inggris, Benny makin getol mengkampanyekan kemerdekaan Papua di dunia internasional.
Kini generasi muda Papua yang tergabung dalam sejumlah elemen menggunakan isu otonomi khusus untuk meminta referendum. Seperti sudah diduga, kematian pendeta Yeremia menjadi bensin dalam demonstrasi mereka. Pemerintah harus mawas diri untuk tidak mengulangi kekeliruan sebelumnya. Jika pendekatan keamanan diambil kembali, konflik dan kekerasan berpotensi membesar. Rakyat di sana akan terus menderita. Pemerintah akan repot sendiri bila dunia internasional menceburkan diri ke krisis Papua.
Dialog antara pemerintah dan mereka yang menolak otonomi khusus harus dilakukan. Pemerintah harus menarik aparat keamanan dari Papua. Para milisi pun harus membuang jauh-jauh senjatanya. Betapapun panjang dan meletihkan, dialog tetap lebih baik ketimbang baku bunuh tak berkesudahan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo