Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Swasembada” selalu menjadi kata sakti tiap rezim. Swasembada, dalam komoditas apa pun, seolah-olah sebuah prestasi pemerintah untuk menunjukkan program kerja yang berhasil.
Di tiap rezim, kata ini selalu membius -siapa pun yang berkuasa. Swasembada menjadi mantra baru dalam istilah pembangunan yang membius pada setiap kampanye calon presiden atau siapa pun yang ingin menduduki jabatan publik. Mulanya kata ini didengungkan di era Orde Baru, ketika Soeharto hendak menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia bisa menjadi negara mandiri, tak bergantung pada negara lain lewat impor.
Pada edisi 9 Februari 1974, Tempo meng-ulas semangat mewujudkan swasembada gula lewat artikel “Meremajakan Si Nenek”. Di dalamnya diulas upaya pemerintah merehabilitasi pabrik-pabrik gula demi tercapainya swasembada.
Kekurangan gula pada 1973 sebesar 100 ribu ton mesti dipenuhi dengan impor. Tak ada data yang tersedia berapa devisa yang habis untuk impor gula itu. Namun, de-ngan harga yang berlaku sekarang, impor sebanyak itu bisa menghabiskan US$ 24 juta.
Penyediaan gula tampaknya paling berhasil dibanding bahan pokok lain. Selama empat minggu pertama Januari ini, harga gula tak banyak naik. Tingkat kenaik-annya ternyata yang paling kecil dibanding bahan lain dalam sembilan bahan pokok. Sementara yang lain bisa dikatakan meningkat 13-45 persen, harga gula hanya naik 3 persen.
Produksi gula pada 1973 mencapai 800 ribu ton (produksi Filipina 2 juta ton), sementara setahun sebelumnya mencapai 70 ribu. Ini merupakan pertambahan produksi yang cukup berarti yang menunjukkan bahwa rehabilitasi pabrik-pabrik gula sudah memberikan hasil. Albert Niton, ahli gula Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), mengingatkan Indonesia supaya lebih memperhatikan kemajuan industri gulanya. Soalnya, konsumsi gula dunia akan meningkat dengan cepat dari 73 juta ton pada 1970 menjadi 95 juta ton pada 1980.
Tapi perkembangan konsumsi ini tak disertai penambahan produksi yang sepadan sehingga sebentar lagi dunia akan menyaksikan kenaikan harga gula di Indonesia. Sekarang jumlah pabrik dan produksi gula hanya sepertiganya. Usaha meningkatkan produksi gula dengan sendirinya merupakan akibat logis dari makin langkanya komoditas ini enam tahun mendatang. Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia menyadari potensi ini.
Bank Dunia menyediakan kredit sebesar US$ 50 juta dengan syarat lunak untuk merehabilitasi enam pabrik gula. Sedangkan Bank Pembangunan Asia memberikan kredit US$ 175 juta kepada pabrik gula Jatiroto dan Semboro di Jawa Timur dengan syarat lebih berat. Ekspansi pabrik gula sudah sampai ke luar pulau Jawa, seperti pabrik gula Cot Girek di Aceh dan Bone di Sulawesi Selatan yang berproduksi pada awal 1974.
Indonesia berharap bisa berswasembada gula pada 1980, saat produksi diharapkan meningkat menjadi 1,8 juta ton. Dengan jumlah penduduk Indonesia pada tahun itu, konsumsi gula hanya akan berjumlah 1,4 juta ton. Ini berarti akan tersedia gula yang bisa diekspor sebesar 400 ribu ton.
Seandainya jumlah pabrik gula tak akan ditambah, tetap 55 seperti sekarang, untuk mencapai sasaran produksi 1980, setiap pabrik mesti meningkatkan kapasitasnya menjadi 3.000 ton setahun. Masalahnya, dapatkah pabrik meningkatkan kapasitas dua kali lipat dalam jangka waktu enam tahun?
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 24 OKTOBER 1981. Dapatkan arsip digitalnya di:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo