Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyair Kunni Masrohanti di grup WhatsApp “Ruang Sastra” mengunggah foto dirinya bersama penyair Rinidiyanti Ayahbi. Saya iseng nyeletuk, “Duet maut, nih.”
“Duet hayat, he-he-he...,” kata Taufik Ikram Jamil. Penulis kumpulan cerpen Hikayat Suara-suara itu meluruskan komentar saya dengan cepat.
Saya mafhum. Taufik benar. Yang tepat duet hayat, bukan duet maut. Dalam bahasa Arab, kata maut berasal dari akar kata maata. Maut merupakan nomina yang berarti “kematian”. Ketika kita mengatakan duet maut, itu sama saja dengan menyebut “duet kematian”. Wajar jika Taufik gancang merevisinya dengan duet hayat. Kata hayat juga berasal dari bahasa Arab, yang artinya “hidup”, lawan dari “maut”.
Entah bagaimana awal kemunculan istilah “duet maut”. Yang pasti, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan maut (a cak) sebagai “mengagumkan, hebat, luar biasa”, selain berarti “kematian” (nomina) sesuai dengan makna asli dari kata yang diserapnya (bahasa Arab). Maka jangan artikan judul berita “Duet Maut Toyota Avanza-Daihatsu Xenia, 2,75 Juta Unit Terjual” (Tempo.co, 8 Januari 2019) sebagai “duet kematian”.
Berbeda lagi yang dilakukan kalangan olahraga keras. Komentator dan promotor tinju justru sering memanfaatkan kata maut sebagaimana makna aslinya. Promotor tinju memilih istilah duel maut untuk “menjual” pertarungan besar yang akan digelarnya. Dulu, setiap kali Mike Tyson bertanding, komentator sering menyebut “pukulan maut”. Sekali dihantam “pukulan maut” Tyson, lawan langsung mencium kanvas.
Duel maut juga ngetop di Madura. Wartawan di sana secara refleks menggunakan frasa duel maut dalam beritanya. Itu tidaklah berlebihan. Sebab, kenyataannya, perkelahian antara dua orang yang menggunakan celurit di sana umumnya berakhir dengan maut. Salah satu atau kedua pelaku carok mati akibat luka sabetan celurit lawan.
Senasib dengan maut, penggunaan kata sihir sering melenceng. Kompas.com pernah membuat judul: “Hedi Yunus Absen, Kahitna Tetap Mampu Menyihir Penonton” (17 Juni 2019). Semua orang tahu, Kahitna merupakan grup musik, bukan kelompok penyihir. Kemampuan bernyanyi personel Kahitna sangat mempesona. Tapi tetap saja tidak ada penonton yang tersihir. Sebab, untuk bisa “menyihir” penonton, Kahitna harus memiliki kekuatan gaib.
Mari buka Kamus Besar Bahasa Indonesia. Lema sihir berarti “perbuatan ajaib yang dilakukan dengan pesona dan kekuatan gaib (guna-guna, mantra, dan sebagainya)” dan “ilmu tentang penggunaan kekuatan gaib; ilmu gaib (teluh, tuju, dan sebagainya)”. Tapi boleh jadi personel Kahitna memang punya sihir atau setidaknya minta bantuan “orang pintar” untuk menyihir penonton….
Di daerah tempat tinggal saya, Banyuwangi, Jawa Timur, penggunaan kata sihir sangat sensitif. Orang yang punya sihir sangat ditakuti masyarakat. Ia dikucilkan dari kehidupan sosial karena dianggap sangat berbahaya dan sewaktu-waktu bisa mencelakakan orang lain. Ia tidak hanya dapat membuat orang sakit, tapi juga bisa mengakibatkan orang meninggal dunia.
Di Banyuwangi, sihir berbeda dengan santet. Sihir, kata Hasnan Singodimayan (budayawan senior Banyuwangi), termasuk black magic. Sedangkan santet masuk kategori white magic, seperti “pengasihan”, “penglaris”, “pesugihan”, “susuk”, dan sejenisnya. Agar mempesona penonton, penari gandrung di Bumi Blambangan biasanya menggunakan “seret” atau pesrengseng—sejenis daya magis, pemikat siapa saja yang melihatnya.
Selain maut dan sihir, kata setan sering digunakan melampaui makna aslinya atau disimpangkan karena tuntutan hiperbolis. Simak judul berita ini: “Maverick Vinales Tampil Kesetanan pada Tes MotoGP di Sirkuit Catalunya”. Jantung saya sempat dag-dig-dug membaca berita di BolaSport.com (18 Juni 2019) itu. Jangan-jangan, saat menunggangi sepeda motornya, jagoan saya itu digoda setan, lalu mengamuk dan menabraki pembalap lain.
Namun, setelah membaca tuntas isi beritanya, saya merasa lega. Ternyata yang terjadi malah sebaliknya. Vinales tampil luar biasa kala mengikuti sesi tes tengah musim MotoGP 2019 itu. Ia sama sekali tidak menunjukkan gejala sedang kesurupan.
Di tangan pengguna bahasa, kata-kata serapan bisa dikreasi sedemikian rupa—bahkan sampai melampaui makna yang sebenarnya—sesuai dengan selera dan kondisi masyarakat yang menyerapnya. Itulah yang dialami tiga kata bahasa Arab: maut, sihir, dan setan.
*) Penyair, wartawan Jawa Pos
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo