Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Pewrtahanan membeli 12 unit pesawat udara nirawak atau drone Anka buatan Turkish Aerospace Industries.
Anka menjalani uji terbang dan aerodinamika di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong, Banten, sepanjang 2008 hingga 2016 lalu.
Enam unit Anka akan dirakit di PT Dirgantara Indonesia.
SELEPAS jam makan siang pada Senin, 24 Juli lalu, perjalanan berkeliling fasilitas milik Turkish Aerospace Industries (TAI) di pinggiran Ankara, Turki, sampai ke kompleks hanggar yang dihadang sebuah portal. “Di sinilah area untuk pengembangan dan uji produk pesawat-pesawat baru TAI," kata kepala relasi media TAI Tunca Toroglu, menerangkan. Produk itu antara lain drone Anka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anka adalah salah satu produk TAI yang menjadi target kunjungan Tempo dan lima awak media lain dari Indonesia dan Malaysia. Drone atau pesawat udara nirawak (UAV) tempur buatan Turki yang belakangan naik pamor ini adalah bagian dari perkembangan pesat industri pertahanan TAI dalam 20 tahun terakhir atau Turki secara umum—republik yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-50.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anka memang tak seperti Bayraktar TB2 milik Baykar Makina Technologies yang terlibat dalam perang di Ukraina. Tapi lingkup kiprahnya tak kalah luas. Berada di kelas medium-altitude long-endurance atau MALE, Anka kini menjadi bagian dari alat tempur angkatan bersenjata Turki, Tunisia, Angola, Kazakstan, dan Kirgistan. Anka pun menarik minat lebih banyak pengguna dengan beberapa negara lain, seperti Indonesia dan Malaysia, berada di daftar ekspornya.
"Untuk Indonesia, akan kami kirim 12 unit. Kami juga berencana membangunnya di PTDI (PT Dirgantara Indonesia). Insyaallah. Itu semua ada di dalam kontrak," tutur Presiden dan Chief Executive Officer Turkish Aerospace Industries Temel Kotil kepada Tempo dan jurnalis lain di sela International Defence Industry Fair Ke-16 di Istanbul, Rabu, 26 Juli lalu.
Pernyataan itu belakangan dikonfirmasi di Tanah Air lewat siaran pers Sekretariat Jenderal Kementerian Pertahanan bertanggal 31 Juli 2023. Dalam siaran itu disebutkan kontrak pembelian 12 unit UAV Anka dari Turkish Aerospace Industries senilai US$ 300 juta atau hampir Rp 4,6 triliun tersebut diteken pada 3 Februari lalu dan saat ini masih dalam proses aktivasi di Kementerian Keuangan.
Anka III di hanggar Turkish Aerospace Industry di Ankara, Turki, 24 Julli 2023/Tempo/Wuragil
Keterangan pers Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan melalui juru bicara Edwin Adrian Sumantha menyebutkan Anka dipilih karena mengacu pada kebutuhan operasi dan spesifikasi teknis yang diajukan Tentara Nasional Indonesia. “Kalau Elang Hitam masih dalam tahap awal pengembangan. Setelah itu mengajukan permohonan sertifikasi, butuh sekitar tiga tahun lagi,” katanya menerangkan alasan meninggalkan wahana nirawak Elang Hitam yang sebelumnya diinisiasi.
Anka berada di antara hanggar jet tempur latih sekaligus pesawat tempur ringan Hurjet dan helikopter serang Atak. TAI menunjukkan pengembangan drone tempur asli Turki ini yang sudah sampai ke generasi ketiga. Satu modelnya, Anka III, tampak di satu sudut teras hanggar, mencolok karena berbalut material hitam dengan sayap delta. Ditunjukkan juga bagian dari struktur wahana nirawak itu dan cat berteknologi tinggi—yang menjadi fitur kunci kemampuan menyerap gelombang radar.
"Anka III memiliki kecepatan tinggi sampai 0,7 mach (864 kilometer per jam) dan platform yang dapat diamati rendah (siluman) dengan kemampuan serangan udara-ke-udara dan udara-ke-darat," ucap salah seorang insinyurnya, memperkenalkan drone itu.
Dijadwalkan menjalani tes terbang perdana pada akhir tahun ini, Anka III mengingatkan pada stealth bomber Amerika Serikat dalam hal rupa. Tapi TAI mengaku tak ada hubungan antara Amerika dan Turki dalam pembuatan wahana itu. "UAV yang sudah kami buat tidak ada yang joint venture. Semuanya homeground, homemade, home design, home build, home-tested," kata Mehmet Demiroğlu, Wakil Presiden Eksekutif TAI, saat ditanyai mengenai kemiripan itu.
Di hanggar yang sama, berposisi lebih di depan, terdapat Aksungur. Dengan bentang sayap sejauh 24 meter, Aksungur adalah versi mesin turboprop kembar Anka. Aksungur didesain bisa terbang lebih tinggi dengan durasi lebih lama daripada Anka yang mampu melayang-layang hingga 30 jam dengan ketinggian maksimal 30 ribu kaki (9.144 meter) di atas permukaan.
"Bertahan di udara 50 jam lebih.... Bisa tetap di udara bahkan ketika pilotnya di darat tertidur," ucap Temel Kotil saat berbicara tentang Aksungur. Dengan spesifikasi itu, Demiroğlu menambahkan, Anka dan Aksungur sangat baik untuk kebutuhan pemantauan ataupun pengintaian seperti di perairan atau daerah perbatasan. "Ya, Anda bisa memakai wahana nirawak Bayraktar, tapi mereka tidak didesain untuk misi itu," ujar Demiroğlu membandingkan.
Sejumlah senjata berbaris untuk kelengkapan Anka dan Aksungur sebagai drone tempur. Senjata adalah muatannya selain sistem radar, kamera, dan alat komunikasi. Di antaranya yang ditunjukkan adalah Kuzgun-SS, salah satu anggota keluarga amunisi modular terpandu (GMM) kelas 100 kilogram yang mampu menghancurkan kendaraan tempur di darat.
Sejumlah bom presisi dan rudal antitank berpenuntun laser pun diperlihatkan. Demikian pula Super Simsek, sistem pesawat nirawak yang lebih kecil dan ringan serta multifungsi buatan anak usaha TAI. Semua bisa dipilih dan dikombinasikan mengikuti kapasitas muatan Anka yang sebanyak 350 kilogram dan Aksungur yang dua kali lipatnya.
"Maaf, tidak boleh mengambil gambar dan video selain model Anka III," kata Tunca Toroglu menerjemahkan pesan tim insinyur Anka saat Tempo asyik merekam seluruh isi teras hanggar itu. Tim itu memang sedang membuka bagian mesin kembar Aksungur: mesin diesel PD-170 dual turbo. Beberapa insinyurnya juga tengah sibuk bekerja pada bagian lain drone siap pakai itu.
Anka ternyata tak asing bagi Fadilah Hasim, Kepala Pusat Riset Teknologi Penerbangan Badan Riset dan Inovasi Nasional. Wahana nirawak yang namanya diambil dari nama burung besar dalam mitologi Persia ini menjalani uji aerodinamika dan simulasi terbang di terowongan angin milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong, Banten, sepanjang 2008-2016.
Pada 2018, Aksungur juga pernah dikirim ke fasilitas Indonesian Low Speed Tunnel tersebut dan Fadilah mengaku ikut mengujinya—sebelum TAI kemudian mengembangkan fasilitas ujinya sendiri dan menjadi mandiri hingga kini. "Mungkin agak berlebihan, tapi kami biasa bilang Anka dulu dibuahi dan lahir di Turki, tapi hamilnya di Indonesia," tuturnya.
Fadilah mengungkapkan, saat Kementerian Pertahanan memutuskan membeli drone CH-4 dari Cina pada 2019, para perekayasa BPPT kala itu sudah merekomendasikan Anka. Mereka paham benar bagaimana Anka-S yang kini dikembangkan para insinyur di TAI terpilih dari semula tiga blok model Anka. Begitu juga pengujiannya, dari uji sayap 2D sampai konfigurasi penuh untuk stabilitas dan performa.
Dari pihak Turki, Temel Kotil telah menyatakan komitmennya mengenai "transfer teknologi tanpa batas". Penegasan serupa disampaikan Mehmet Demiroğlu. Menurut dia, TAI bukanlah perusahaan yang hanya menjual produk, tapi juga siap hadir terutama untuk negara sahabat, di antaranya Indonesia. "Kami tidak akan kehilangan pasar dengan berbagi apa yang kami miliki," ujarnya.
Sementara itu, PT Dirgantara Indonesia yang namanya telah disebut terang-terangan oleh Temel Kotil mengaku belum mengetahui detail rencana transfer teknologi yang menjadi bagian dari kontrak pembelian selusin Anka oleh Kementerian Pertahanan. "Kami masih menunggu," kata Asisten Manajer Komunikasi Eksternal PTDI Kerry Apriawan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ahmad Fikri dari Bandung berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikle ini terbit di bawah judul "Menjenguk Anka di Sarang Ankara"