Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah orang mengaku ogah bermasker karena merasa tidak nyaman—susah bernapas dan berbicara. Padahal masker merupakan alat pelindung diri yang sangat dianjurkan dipakai untuk mencegah penyebaran Covid-19. Sampai pertengahan September lalu, jumlah orang yang terinfeksi virus ini di Indonesia sekitar 260 ribu dan 10 ribu di antaranya meninggal.
Keengganan itulah yang didengar Andreas Suprayitno, alumnus Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang yang kini pengusaha di bidang plastik, saat ia mengunjungi sejumlah pasar, termasuk Pasar Dinoyo, Malang, Juli lalu. Banyak orang yang mengaku tidak memakai masker karena suaranya jadi tidak jelas saat berbicara. Maskernya juga lembap akibat percikan liur dan terlalu menempel di mulut.
Keluhan warga itulah yang menginspirasi Andreas untuk membuat alat yang bisa mengurangi ketidaknyamanan bermasker. Ia lantas merancang alat pelindung mulut yang bisa menyempurnakan fungsi masker. Lalu lahirlah alat yang fungsi utamanya adalah penyangga masker, atau penyekat antara mulut dan masker, yang diberi nama Global Respiration Guard atau GRG itu. “Saya hanya berpikir bagaimana supaya masker tidak nempel di mulut dan hidung. Ini kayak membuat tempurung untuk mulut,” kata Andreas, 25 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ilustrasi/Tempo/Djunaedi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk purwarupa, Andreas membuat alat ini dari kayu kamper agar lebih mudah dipotong sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Awalnya, alat ini didesain dengan ketinggian 2 sentimeter dari mulut. Namun, setelah dicoba, jarak itu dinilai terlalu rapat. Akhirnya, ketinggiannya dinaikkan menjadi empat sentimeter. Ketinggian baru ini malah membuatnya terlalu menonjol . “Sempat diturunkan menjadi 3,5 sentimeter, tapi masih terlihat menonjol. Akhirnya ketemu ketinggian yang pas, tiga sentimeter," ujar warga Kota Malang ini.
Agar alat itu lebih universal, Andreas merancangnya untuk dipasang di bawah hidung sampai dagu. Dengan standar itu, alat tersebut bisa dipakai untuk semua umur. “Hidung secara otomatis kan sudah terlindungi oleh masker,” kata alumnus Jurusan Teknologi Gula Fakultas Teknologi Kimia ITN ini. Purwarupa alat itu diuji dengan cara dia pakai. “Kalau enak untuk saya, mungkin enak juga untuk orang lain,” tuturnya.
Alat itu dibuat dari kayu kamper hanya untuk purwarupanya. Sebab, penggunaan kayu kamper itu menjadikan waktu pengerjaannya lama. Satu buah GRG bisa menghabiskan waktu lima jam. Ukurannya juga sulit untuk sama kalau dibuat dalam jumlah besar. Proses pengerjaan yang lama tentu berimbas pada biaya produksi dan harga jual.
Untuk kebutuhan produksi massal, Andreas menggunakan bahan polypropylene ethylene, yang dinilai aman dan nyaman bagi kulit serta tidak menyebabkan iritasi. Secara teknis, pengerjaannya lebih gampang dan praktis dengan memakai mesin injection molding. Ia menggarap inovasi ini sejak 1 Juli dan dipatenkan pada 13 Juli lalu. Produksinya secara massal dijalankan sejak minggu kedua September lalu di sebuah pabrik di Malang. Kini alatnya sudah dijual bebas dan tersedia di toko online.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo