Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gua di Gampong Meunasah Lhok, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, Aceh, ini sudah masyhur sejak ditemukan bukti rekaman tsunami-tsunami besar yang terjadi sejauh 7.500 tahun silam. Ini ketiga kalinya Tempo menyambangi gua yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai Gua Ek Leuntie, yang berarti gua tahi kelelawar, tersebut. “Leuntie artinya kelelawar dan ek berarti tahi,” kata Kerry Sieh, Direktur Earth Observatory of Singapore (EOS) Nanyang Technological University, sembari sibuk merapikan galian seukuran kotak sepatu di lantai gua itu, Selasa, 3 September lalu.
Gua Ek Leuntie dapat dicapai dengan perjalanan darat selama 80 menit melewati jalur Banda Aceh-Meulaboh. Lokasi gua tepat di belakang jalur utama kilometer 59, yang dibangun dengan membelah gunung setelah bencana gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Dari jalur utama, belok ke kanan menelusuri jalan kecil selebar 2 meter. Jalan dengan kondisi aspal yang sudah rusak itu merupakan jalur lama lintas barat-selatan Aceh sebelum terjadi bencana tersebut.
Di depan mulut gua, yang selebar gawang sepak bola dan tingginya sekitar 15 meter, tampak tanaman biduri mengitari gua. Terlihat pula pohon kuda-kuda yang tumbuh sekitar 5 meter dari mulut gua, seperti memagari lokasi gua sepanjang 20 meter ke arah laut. Pohon kelapa menjadi yang paling banyak terlihat di area yang telah dipugar itu.
Lahan di mulut gua itu milik penduduk bernama Syamaun, 66 tahun. Lima tahun lalu, Tempo bertemu dan berbincang singkat dengannya. “Saya baru memagarinya untuk memanfaatkan lahan ini,” ujar Syamaun ketika itu. Lahan tersebut akan segera dimiliki pemerintah Aceh setelah Syamaun sepakat melepasnya untuk dijadikan lokasi edukasi kebencanaan tsunami.
Berjalan ke dalam, luas gua makin lebar. Sepuluh meter dari depan mulut gua, terdapat sedikit cekungan ke arah kanan yang langsung menuju ruang utama di dalam gua. Luasnya hampir tiga kali lapangan voli dengan tinggi 10-20 meter. Makin ke dalam, gua makin gelap. Ratusan kelelawar lalu-lalang di langit-langit gua berbentuk huruf “L” itu.
Di ujung gua terlihat alur seperti jejak sungai kecil tanpa air. Dua meter di depannya, tampak lantai gua berupa tanah bercampur guano (kotoran kelelawar), juga sebuah lubang bekas galian. “Ini salah satu lubang yang digali pertama kali saat penelitian terdulu,” ucap Tomi Afrizal, asisten peneliti dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Syiah Kuala, yang menjadi pemandu Tempo.
Kerry Sieh bersama tiga peneliti EOS pada 3 September lalu hingga sepuluh hari ke depan mengadakan penggalian di Gua Ek Leuntie. Ini ketiga kalinya tim EOS mengadakan penggalian setelah yang pertama pada 2011. “Gua ini memiliki rekaman yang sangat indah mengenai tsunami yang terjadi pada 2004 dan tsunami-tsunami yang terjadi hingga 7.500 tahun lalu,” ujar Sieh. “Sekarang kami kembali untuk mencari jawaban.”
Dalam riset rekaman tsunami purba di Gua Ek Leuntie ini, Sieh bekerja sama dengan tim peneliti Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) yang dipimpin Nazli Ismail, Kepala Program Magister Ilmu Kebencanaan Unsyiah. “Ada sampai 12 lapisan yang sudah terlihat selama kami melakukan penelitian dan penggalian di enam titik. Kami dapat satu lokasi yang paling lengkap lapisannya,” kata Nazli di kantornya, Jumat, 30 Agustus lalu. Lapisan yang dimaksud Nazli adalah sedimen pasir yang terbawa oleh tsunami besar dan mengendap di lantai gua.
Tsunami Purba Aceh
Setiap kali tsunami besar mengempas daratan, material dasar laut, termasuk serpihan fosil cangkang biota, terangkat dan terseret hingga masuk ke gua. Endapan pasir yang tertumpuk di dasar gua kemudian tertutup guyuran guano. Proses ini berulang sampai endapan pasir dan guano menumpuk dan mengeras selama ribuan tahun. Lapisan demi lapisan seperti kue lapis itu menjadi bukti rekaman tsunami besar yang pernah melanda kawasan tersebut.
Menurut Sieh, “kue lapis” geologi itu menjadi informasi yang sangat penting bagi masyarakat Banda Aceh untuk mengetahui seberapa sering tsunami terjadi, apakah ukurannya selalu sama, dan apakah waktu pengulangannya teratur atau tidak. “Dari penemuan lima tahun lalu, kami memiliki rekaman bukti tsunami yang bagus dari 7.500 tahun lalu hingga sekitar 3.000 tahun lalu,” tutur Sieh. “Tapi setelah itu tidak ada lagi. Sekarang kami mau mencari rekaman tsunami antara 2004 dan 3.000 tahun lalu.”
Dalam penghitungan umur jejak tsunami, peneliti menggunakan metode penanggalan karbon (carbon dating) memanfaatkan kotoran kelelawar yang berada di dalam lapisan sedimen. Cara lain menentukan umur temuan di Gua Ek Leuntie adalah melalui penemuan foraminifera. Hewan kecil bercangkang ini biasanya hidup di laut dalam. “Bahkan dengan itu kita bisa tahu air tsunami yang masuk berasal dari mana. Caranya dengan meneliti hewan itu hidup di perairan laut yang mana,” ucap Nazli.
Dari hasil uji penanggalan karbon diketahui tsunami berskala besar antara lain terjadi 7.500 tahun lalu, 5.400 tahun lalu, dan 2.800 tahun lalu. Lapisan sedimen paling tebal dan berumur paling muda terletak paling atas, yang terbentuk setelah tsunami 2004.
Meski jejak tsunami yang terjadi hingga 7.500 tahun silam terekam, tidak semua peristiwa tsunami terlihat dari hasil penelitian di Gue Ek Leuntie. Tsunami pada 1395 dan 1450, misalnya, tidak tercatat di dalam sedimen. “Tidak semua terekam di situ. Jadi satu hal yang masih menjadi tanda tanya kami, apakah dalam jeda sekitar 2.900 tahun itu tidak ada kejadian apa-apa,” ujar Nazli, yang juga pengajar teknik geofisika Departemen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unsyiah.
Makna kekosongan kejadian tersebut bisa beragam, tapi Nazli lebih meyakini terjadi gerusan dari lapisan tadi. “Kami mengistilahkannya unconformity atau ketidakselarasan lapisan. Misalnya yang paling tua ada, yang paling muda ada, tapi yang tengah-tengah tidak ada. Itu bisa saja karena erosi,” Nazli menjelaskan.
Ia berharap penelitian di Gue Ek Leuntie dapat menjadi pembelajaran mengenai jejak tsunami di Aceh, khususnya untuk membangun kesadaran masyarakat bahwa tsunami bisa terjadi di mana saja dan dalam rentang waktu yang sulit diprediksi. “Sementara sebelumnya kita anggap tsunami sangat periodik, temuan kami tidak. Bisa besar, tapi bisa juga ada jeda yang sangat lama baru muncul lagi yang besar seperti pada 2004,” ujar Nazli.
IIL ASKAR MONDZA (ACEH BESAR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo