Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETUA Yayasan Syamsi Dhuha, Dian Syarief, kini bisa bernapas lega. Proyek Brilliant Cane (BriCane), tongkat untuk kalangan difabel netra, selesai setelah dikerjakan selama kurang-lebih tiga tahun. Tongkat itu bisa digunakan oleh orang yang buta total atau mengalami penurunan kemampuan penglihatan (low vision). “Akhirnya jadi juga,” kata Dian di Bandung, Selasa, 3 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Dian, yang juga penyintas lupus dan low vision, BriCane dirintis pada 2017. Awalnya, yayasan itu menggelar lomba desain alat bantu difabel netra. Karya tim mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang dinamai I-Stick menjadi juara kedua dalam lomba itu. Yayasan dan tim mahasiswa ITB kemudian bersepakat melakukan riset dan pengembangan tongkat pemandu difabel netra itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setahun berikutnya, tim mahasiswa ITB dan Yayasan Syamsi Dhuha membuat purwarupa baru dengan teknologi dan fungsi yang lebih nyata. Tongkat yang diberi nama I-Cane itu diluncurkan ke publik pada Oktober 2019. Setelah itu, pengembangan kembali dilakukan oleh tim dari yayasan dan relawan mahasiswa biomedika serta desain produk ITB. Hasilnya, lahirlah BriCane yang diluncurkan pada Sabtu, 31 Oktober lalu, bersamaan dengan peringatan Hari Penglihatan Sedunia atau World Sight Day 2020 secara daring (online).
Kecanggihan tongkat itu terletak di bagian kepala atau pegangan tongkat. Di dalamnya terdapat sensor yang dapat mendeteksi halangan sejauh 1-3 meter di depan difabel netra. Tanda peringatan akan adanya halangan itu berupa bunyi alarm dan getaran. “Kalau di tempat ramai dan pengguna tidak mau mengganggu orang di sekitarnya, bisa dengan mode getar,” ucap Laila Panchasari, Manajer Yayasan Syamsi Dhuha, Selasa, 3 November lalu.
Yayasan sempat mengajak sebuah perusahaan bermitra mengembangkan alat ini. Namun, Dian menjelaskan, perusahaan itu mundur karena terganjal beberapa hal, antara lain soal perizinan dan birokrasi. Dengan alasan agar bisa menggaji karyawan, perusahaan tersebut memilih impor daripada ikut membuat BriCane. Tongkat seperti BriCane sudah ada di pasar, tapi berupa produk impor dengan harga sekitar Rp 9 juta. BriCane dijual dengan harga yang lebih terjangkau.
BriCane dirancang lebih ramah pengguna. Difabel netra mudah beradaptasi dengan pemakaiannya. Tim kreator menggunakan tongkat yang bisa dilipat empat berbahan aluminium yang jamak dipakai difabel netra atau tongkat putih (white cane). “Supaya pengguna BriCane lebih familier,” tutur Dian.
Awalnya, tim memakai tongkat model teleskopik yang bisa dipanjang-pendekkan seperti antena radio atau tongkat pendaki gunung. Pertimbangannya adalah panjang tongkat bisa disesuaikan dengan tinggi tubuh pemakainya. Namun, dari hasil uji coba terhadap difabel netra, model tongkat teleskopik dinilai kurang cocok. Saat memanjangkan tongkat, pengguna kesulitan memperkirakan ujung tiap ruas tongkat.
Selain itu, tim memasang pearl tip sehingga ujung tongkat membulat dan bisa bergerak dinamis. Alat itu menggantikan roda kecil yang bisa berputar 360 derajat pada rancangan tongkat sebelumnya. Menurut Dian, tongkat beroda kurang enak digunakan di jalan licin. Di jalan tanjakan atau saat naik tangga pun badan pengguna menjadi miring. “Secara keseimbangan enggak stabil, ternyata itu pengaruh roda,” ujarnya.
BriCane juga memiliki modul global positioning system. Gunanya adalah melacak keberadaan difabel netra yang meminta pertolongan kepada orang terdekat karena, misalnya, tersesat atau kehilangan arah. Rencananya, BriCane dilengkapi dengan aplikasi untuk sarana komunikasi dalam kondisi darurat seperti itu.
Yayasan masih terbuka terhadap pengembangan BriCane selanjutnya agar alat itu makin canggih dan bermanfaat banyak bagi difabel netra. Dian merujuk pada data International Agency for the Prevention of Blindness yang menyebutkan jumlah orang yang buta secara total (totally blind) berjumlah 43 juta di dunia. Adapun orang dengan low vision mencapai 295 juta. Sebagian besar di antara mereka berada di negara berkembang. Di Indonesia, tercatat 3,7 juta orang buta total dan 10,8 juta orang mengalami low vision.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo