Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Biku Anandajoti, Fotografi, dan Relief

Ehipassiko Foundation menerjemahkan lima seri buku relief Borobudur dokumentasi Biku Anandajoti. Memuat foto relief secara lengkap beserta keterangan adegan. Sebuah seri yang memudahkan siapa pun dalam meneliti Borobudur.  

7 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Lima seri buku tentang cerita relief Candi Borobudur: Karmawibhangga, Jataka, Lalitavistara, Avadana, dan Gandavyuha karya Bhikku Anadajoti.

  • Biku Anandajoti adalah bhante Theravada. Ia agaknya bagian dari anak muda Eropa yang terpanggil ajaran Dharma Buddha.

  • Selain menulis buku--yang membedakannya dari biku lain--Anandajoti dikenal sebagai fotografer.

DUA artikel ilmiah terbaru mengenai identifikasi spesies mamalia pada relief lorong Lalitavistara di Candi Borobudur yang diulas Tempo pada edisi ini berutang budi kepada buku Biku Anandajoti. Kedua artikel yang ditulis gabungan ilmuwan dari Museum Zoologicum Bogoriense dan Balai Konservasi Borobudur itu menggunakan buku Lalitavistara: Kehidupan Buddha Gautama karya Biku Anandajoti sebagai referensi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebenarnya, buku Lalitavistara merupakan bagian dari lima buku seri cerita relief Borobudur susunan Biku Anandajoti yang diterbitkan Ehipassiko Foundation. Selain Lalitavistara, ada Karmawibhangga, Jatakamala, Avadana, dan Gandavyuha. Di setiap buku itu, Anandajoti memberikan pengantar singkat mengulas inti cerita. Ia kemudian menghidangkan secara lengkap foto relief yang ada di lorong-lorong Borobudur—sebagian besar jepretannya sendiri—serta menguraikan satu per satu panel relief. Secara keseluruhan, jumlah relief naratif Borobudur dari kaki yang tertutup Karmawibhangga sampai lorong keempat Gandawyuha adalah 1.460 adegan. Semua adegan itu diidentifikasi oleh Anandajoti.   

photodharma.net/Bikkhu Anandajoti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Biku Anandajoti adalah bhante Theravada. Ia agaknya bagian dari kelompok anak muda Eropa yang terpanggil oleh ajaran darma Buddha. Lelaki kelahiran Birmingham, Inggris, itu sejak 1987 mengembara di Asia, mempelajari agama Buddha, dan menetap di Sri Lanka, India, serta Malaysia. Ia menjalani penahbisan sebagai biku di Sri Lanka pada 1995. Mentor meditasinya yang pertama adalah Acarya Godwin Samararatne, yang memiliki pusat pelatihan meditasi di Nilambe, Sri Lanka. Anandajoti pernah terlibat sebagai editor Sri Lanka Tripitaka Project, yang menghimpun dan menyunting ulang basis data Tripitaka berbahasa Sinhale. Bhante itu juga menulis banyak buku, di antaranya Arahat Sanghamitta’s Story, The Earliest Recorded Discourses of the Buddha, dan Safeguard Recitals: A Book of Protection Chants.

Selain menulis buku, yang membedakannya dengan biku lain, Anandajoti dikenal sebagai fotografer. Pada 2005, sebagaimana ia tuliskan, seorang penganut Buddha di Sri Lanka memberinya sebuah kamera. Sejak itu, ia banyak memotret candi dan situs Buddhis lain di Asia. Anandajoti tampak terpesona oleh kekayaan seni Buddhisme Asia. Ia aktif menziarahi candi dan kuil di Kamboja, Myanmar, India, Malaysia, Singapura, Sri Lanka, Thailand, serta Indonesia.

Dia lalu membuat situs yang ia beri nama Photo Dharma. Di situ ia mengunggah lebih dari 3.000 jepretannya yang beresolusi tinggi. Foto-foto itu menunjukkan Anandajoti sebagai pendokumentasi yang cermat. Hal itu tampak tatkala ia berada di Candi Bayon, kawasan Angkor Wat, Kamboja, yang terkenal dengan patung wajah besar Jayawarman VII yang disimbolkan sebagai Avalokitesvara. Jepretannya terasa arkais. Ia secara detail dan peka memotret relief berbagai gerak apsara (penari dewata) sampai relief mengenai peperangan.

photodharma.net/Bikkhu Anandajoti

Demikian juga saat ke Myanmar, sang Biku mengunjungi kota tua Bagan yang memiliki puluhan, bahkan mungkin lebih dari seratus, bangunan suci tua yang tersebar di seluruh penjuru kawasan. Bhante itu tampak terpesona oleh Kuil Ananda, kuil besar bergaya arsitektur campuran antara Mon dan India yang dibangun pada 1105 Masehi. Ia mengunggah 163 foto suasana eksterior dan interior bangunan, dari pagoda sampai detail relief, termasuk rute pradaksina di dalam kuil yang di tiap pojok mata angin melewati arca perunggu raksasa Sakyamuni dan Buddha lain sebelum Sakyamuni. Arca itu adalah Buddha Gautama/Sakyamuni (barat), Buddha Kakusandha (utara), Buddha Kassapa (selatan), dan Buddha Konagamana (timur).

Tampak satu per satu relief di-zoom, termasuk relief di dinding yang posisinya sulit dicapai. Di sepanjang koridor Kuil Ananda, beberapa relief atau arca kecil diletakkan di dalam ceruk pada dudukan yang tinggi. Pengunjung tidak bisa melihat dengan jelas meski mendongak. Tapi Biku Anandajoti berusaha mendokumentasikan semuanya dan menerangkan tiap adegan. Lewat potret dan analisisnya, kita menjadi tahu bahwa relief di ketinggian itu menampilkan adegan pengembaraan Buddha.

photodharma.net/Bikkhu Anandajoti

Pada 2009, Anandajoti mengunjungi Candi Borobudur di Jawa Tengah. Ia memotret lebih dari 1.200 foto relief, jumlah yang tak bisa ditampung di website. Ia lalu menerbitkannya menjadi lima seri buku yang kemudian disunting oleh sahabatnya di Indonesia, Handaka Vijjananda, yang juga merupakan pendiri Ehipassiko Foundation. Kita tahu semua relief Borobudur, karena Borobudur adalah candi Mahayana, dipahat berdasarkan sutra Mahayana berbahasa Sanskerta. Yang menarik, sebagai biku Theravada, Anandajoti menerangkan bahwa banyak adegan relief juga bisa dikenali bila memakai acuan teks Theravada bahasa Pali.

Saat memberikan pengantar uraian relief-relief Karmawibhangga (Telaah Perbuatan), Anandajoti menerangkan bahwa naskah Pali Cūḷakammavibhaṅga Suttaṃ (Telaah Perbuatan Kecil) banyak menjadi dasar pengembangan bagi naskah Sanskerta yang muncul belakangan. Ia melihat adegan-adegan Karmawibhangga yang dipahat di Borobudur mengikuti bagian awal naskah dasar yang bisa dikenali dalam teks Pali dan kemudian baru bervariasi di dua bagian terakhir.

Untuk menganalisis Karmawibhangga, bhante itu tidak menggunakan buku ahli Borobudur Jan Fontein, The Law of Cause and Effect in Ancient Java (1989), yang membandingkan adegan relief Karmawibhangga Borobudur dengan dua manuskrip kuno Karmawibhangga dalam bahasa Cina yang dikenal sebagai naskah T 80 dan T 81. Arkeolog Hariani Santiko dalam artikelnya, “Identification of Karmawibhangga Reliefs at Candi Borobudur”, setelah mencocokkan uraian naskah T 80 yang dialihbahasakan Jan Fontein dengan relief Karmawibhangga, mengatakan kemungkinan besar teks asli Sanskerta yang diterjemahkan ke dalam manuskrip T 80 menjadi rujukan utama pemahat Borobudur dalam memahat Karmawibhangga.  

photodharma.net/Bikkhu Anandajoti

Tatkala membahas episode relief Lalitavistara, Anandajoti mengatakan ada beberapa naskah Lalitavistara versi Sanskerta Tibet yang masih tersedia sekarang tapi berbeda sedikit satu sama lain. Dia melihat para pemahat Borobudur memiliki kreativitas dalam memahat. Saat menorehkan perjalanan Buddha dari Bodhgaya, tempatnya mendapat pencerahan ke Rsipatana untuk membabarkan ajaran pertama kali, mereka secara rinci memperlihatkan Buddha di sepanjang jalan disambut para dewa dan orang-orang penting dalam panel-panel. Hal ini, menurut Anandajoti, tak ada dalam naskah Lalitavistara versi mana pun, tapi ada di kitab Mahavastu.   

Saat menganalisis episode relief Gandawyuha, Anandajoti juga memiliki pendapat yang menarik. Gandawyuha, yang merupakan relief terpanjang di Borobudur, merupakan 460 panel relief yang berkisah tentang pengembaraan anak muda bernama Sudhana, yang setelah terkesan oleh ajaran Manjusri tergerak untuk melakukan perjalanan bertemu dengan para guru dan sahabat kebajikan (kalyana mitra) demi mencari kebenaran tertinggi dan merealisasi pengetahuan yang tak terbandingkan. Sudhana dalam sutra disebutkan mengunjungi 110 kota dan bertemu dengan 110 kalyana mitra. Secara mengejutkan, kata Anandajoti, kebanyakan kalyana mitra yang ditemui Sudhana adalah perempuan. Di Borobudur, tampak banyak sekali Sudhana bertemu dengan kalyana mitra perempuan. Anandajoti menduga-duga, adakah ini berhubungan karena pengayom Borobudur adalah Pramodhawardhani sehingga kekuatan feminin ditonjolkan?  

photodharma.net/Bikkhu Anandajoti

Terbitnya lima buku Anandajoti ini tak syak makin memudahkan para peneliti lintas disiplin menganalisis relief Borobudur. Sebelum penelitian LIPI, Destario Metusala, peneliti Kebun Raya Purwodadi, Pasuruan, Jawa Timur, menganalisis keberagaman flora di Lalitavistara. Sebagaimana para peneliti LIPI, Destario berkesimpulan bahwa pemahat Borobudur tak meniru mentah-mentah apa yang ditulis di sutra. Menurut dia, pada relief Lalitavistara dipahat 63 spesies tumbuhan. Sedangkan dalam sutra Lalitavistara hanya disebutkan 54 spesies tumbuhan. Itu pun hanya 14 spesies yang diambil oleh pemahat Borobudur. Sebanyak 49 spesies lain merupakan tanaman asli Indonesia dan Asia Tenggara, seperti asam Jawa, manggis, cendana, keluwih, ketapang, pinang, dadap, lontar, cempaka, mangga, nagasari, dan angsana.

Dari kalangan arkeolog, Inda Citra Noerhadi pernah menerbitkan buku yang menganalisis busana di relief Karmawibhangga. Adapun etnomusikolog Pieter Eduard Johannes Ferdinandus pernah menerbitkan buku Alat Musik Jawa Kuno yang menganalisis instrumen-instrumen musik dalam relief Borobudur dari Karmawibhangga sampai Gandawyuha. Hadirnya buku Anandajoti ini semoga merangsang penelitian terhadap relief Borobudur dari aspek-aspek lain yang tak terduga-duga.

SENO JOKO SUYONO 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus