Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah memiliki lima relief cerita yaitu Karmawibhangga, Jataka, Avadana, Gandawyuha, dan Lalitavistara.
Relief cerita Lalitavistara yang terdiri atas 120 panel itu merupakan riwayat perjalanan hidup Sang Buddha Gautama.
Perjalanan kehidupan Buddha terbagi dalam lima babak, mulai dari kehamilan Ratu Mahamaya; kelahiran dan masa muda Bodhisattwa; pertanda dan pelepasan keduniawian; pertemuan dan perjuangan; serta pencerahan dan pengajaran.
Pada dinding utama lantai pertama Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, tampak terpahat relief cerita Lalitavistara yang merupakan riwayat perjalanan hidup Sang Buddha Gautama. Menurut Biku Anandajoti—bhante Theravada yang menulis lima buku tentang lima relief cerita di Candi Borobudur, tidak ada penjelasan pasti soal penamaan Lalitavistara, tapi ia menduga itu berarti “uraian (vistara) dari drama (lalita) kehidupan Buddha”. Selain Lalitavistara, ada empat relief cerita lainnya di Candi Borobudur, yaitu Karmawibhangga, Jataka, Avadana, dan Gandawyuha.
Relief cerita Lalitavistara ini terdiri atas 120 panel adegan yang tiap panelnya memiliki tinggi seragam 86 sentimeter dan lebar beragam, paling jamak 274 sentimeter. Menurut Aris Arif Mundayat, pengajar sosiologi di Universitas Sebelas Maret Solo, cerita Lalitavistara terdiri atas lima babak, yakni kehamilan Ratu Mahamaya; kelahiran dan masa muda Bodhisattwa; pertanda dan pelepasan keduniawian; pertemuan dan perjuangan; serta pencerahan dan pengajaran.
Cerita babak pertama dimulai dari keberadaan Bodhisattwa di Surga Tusita yang dikelilingi dayang-dayang, pemusik surgawi, dan para dewa yang sedang menyemangatinya agar terlahir kembali ke dunia demi kesejahteraan dewa dan umat manusia. Bagian babak ini diakhiri adegan Ratu Mahamaya yang segera melahirkan Bodhisattwa.
Babak kedua dimulai dari adegan Ratu Mahamaya melahirkan Bodhisattwa di Taman Lumbini dengan pemandangan yang indah dan suasana yang sejuk. Panel relief bagian ini juga menceritakan kedatangan petapa agung Asita di pendopo di luar istana untuk melihat bayi yang baru saja dilahirkan. Asita meramalkan bahwa kelak bayi tersebut akan menjadi Buddha.
Asita dalam relief itu digambarkan menangis yang menyebabkan raja menjadi cemas. Asita menjelaskan bahwa ia menangis karena usianya tidak cukup panjang untuk bisa mendengarkan ajaran Buddha. Adapun adegan di kanan panel diceritakan bahwa beberapa brahmana meramalkan dua jalur kehidupan Bodhisattwa, yaitu ia dapat menjadi Raja Semesta (Cakrawati) atau menjadi seorang Buddha jika meninggalkan keduniawian.
Babak ketiga adalah pertanda dan pelepasan keduniawian. Bagian ini diawali penggambaran tentang kehidupan mewah di istana yang disiapkan raja untuk membuat Bodhisattwa betah, tapi ia justru tidak menikmatinya. Cerita kemudian diakhiri dengan adegan para dewa yang berkumpul memuja dan memberikan penghormatan kepada Bodhisattwa yang memutuskan untuk menjadi seorang petapa.
Babak keempat dari cerita relief Lalitavistara adalah pertemuan dan perjumpaan. Ini menceritakan kisah pengelanaan Bodhisattva untuk melakukan pertapaan demi mencapai kebuddhaan. Dia bertemu petapa perempuan brahmani Sakya dan Padma. Di panel ini tampak adegan Raja Bimbisara menawarinya separuh kerajaan, tapi ia tolak. Raja kemudian meminta Bodhisattwa untuk kembali dan mengajar setelah mencapai pencerahan.
Babak terakhir adalah pencerahan dan pelajaran. Secara umum babak ini bercerita tentang kisah Bodhisattwa yang meraih kecerahan sempurna (kebuddhaan), mencapai mata surgawi, munculnya pengetahuan, dan hancurnya noda batin. Adegan diakhiri dengan pengalaman pembabaran atau pengajaran pertamanya Bodhisattwa kepada lima petapa di taman rusa di Isipatana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Babak terakhir dari cerita relief Lalitavistara, saat Budha mengajarakan dharma kepada manusia./Anandajoti/photodharm.net
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aris mengatakan para peneliti menduga relief cerita Lalitavistara itu dibuat oleh banyak orang. Alasannya, mereka melihat ada perbedaan kualitas pahatan dalam relief-relief itu. “Ada yang pembuatnya memang sudah mahir dan ada pula yang setengah mahir,” ujarnya, yang meneliti relief Lalitavistara bersama peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Tapi dia meyakini tiap panel itu diselesaikan oleh satu orang.
Lebih dari 100 panel di relief itu memiliki rangkaian cerita yang berhubungan dan berkaitan. Hal itu membuat peneliti yakin bahwa semua rangkaian cerita itu digagas oleh satu orang. “Tentunya adalah Sang Arsitek: Gunadharma,” ucap Aris. Proses kontrol dalam pemahatan dilakukan sehingga relief memiliki gaya yang sama meski dikerjakan oleh banyak orang.
Hari Setyawan, pengkaji Balai Konservasi Borobudur, mengatakan ciri langgam atau gaya pahatan relief Lalitavistara merupakan khas abad ke-8 sampai ke-10 Masehi. Segala elemen yang digambarkan dalam relief bersifat naturalis dan proporsional. Ia membandingkannya dengan candi di Jawa Timur yang naturalis tapi tidak proporsional karena penggambaran reliefnya seperti wayang kulit, tidak seperti manusia hidup. “Tapi kalau di Borobudur, persis penggambarannya seperti manusia pada umumnya,” tuturnya, Rabu, 4 November lalu.
Dengan melihat hasilnya, Hari menyebut bahwa pahatan di relief Lalitavistara dan relief cerita di Candi Borobudur lainnya: Karmawibhangga, Jataka, Avadana, dan Gandawyuha merupakan yang paling hebat pada masa itu. “Kita tak menjumpai relief dengan pahatan yang naturalis di candi mana pun di dunia kecuali di Candi Borobudur,” ucapnya. Bagi Hari, Borobudur juga merupakan bukti adaptasi budaya Jawa terhadap budaya luar. “Meskipun konsepnya dari India, kemudian dielaborasi oleh arsitek atau masyarakat kita, jadilah bentuk candi yang beda dengan yang ada di India,” ujar Hari yang juga terlibat dalam penelitian itu.
Aris pun menambahkan, relief Borobudur juga menunjukkan bahwa masyarakat Nusantara bersifat terbuka terhadap pengaruh dari luar. Walaupun demikian, mereka masih tetap mempertahankan karakter asli, seperti relief Borobudur yang menyematkan penggambaran kondisi lokal, salah satunya melalui masuknya ragam satwa Nusantara. “Masyarakat kita (saat itu) berkarakter seperti spons yang mudah menyerap,” tuturnya.
Soal pahatan tubuh manusia dalam relief juga memberi gambaran postur khas orang Asia saat itu, khususnya masyarakat Nusantara. Karakter itu diperkuat dalam relief yang menggambarkan sebuah pasar. Dalam relief tersebut terdapat pahatan postur tubuh masyarakat dari ras lain sehingga bisa digunakan sebagai pembanding, seperti orang Arab dan Cina. “Relief tersebut sekaligus menggambarkan bahwa hubungan internasional sudah ada sejak masa lalu,” ujar Aris.
Pahatan dalam relief itu, kata Hari, tentu saja juga bisa dilihat dari sisi lingkungan. Apa yang ada di relief itu menggambarkan lingkungan pada masa lalu dan kita bisa jadikan acuan untuk melihat apakah transformasi lingkungannya saat ini positif atau negatif. “Ketika satwa di relief banyak dijumpai seperti gajah, sekarang tidak ada gajah. Pertanyaannya, apa yang terjadi pada lingkungan? Lingkungan rusak atau gajah habis karena diburu. Kan logikanya itu,” tuturnya.
Dari segi teknologi, relief dalam Borobudur itu juga bisa menjadi tolok ukur kemampuan orang Indonesia pada masa itu. “Dulu kita juga sudah mencapai puncak kejayaan kita,” ucap Hari. Dari penelitian LIPI itu diketahui bahwa para pemahat itu tahu detail flora dan fauna hingga tingkat spesies. “Ini luar biasa. Artinya apa? Manusia zaman dulu sudah sangat memahami karakter tiap spesies yang dia pahatkan,” ujar Hari.
ABDUL MANAN, SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), AHMAD RAFIQ (SOLO)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo