Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

CINTA SEGITIGA YANG TAK PERNAH SELESAI

Masih saja soal si Doel di antara Zaenab dan Sarah. Tampaknya tak ada yang mau beralih dari plot ini, meski kisah Si Doel jauh lebih kaya.

15 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mungin si Doel kini benar-benar “meninggalkan jaman-nya”, bukan “ketinggalan jaman” seperti bunyi lirik ciptaan Syu-mantiasa. Dalam film sekuel berjudul Si Doel the Movie 2 yang tayang sejak Le-baran 2019 ini, tema film keluarga kesayang-an tersebut masih saja berkutat pada cinta segitiga yang sudah berusia seperempat abad. Doel, Sarah, dan Zaenab, bolak-balik dari zaman masih kuliah dan langsing—serial Si Doel Anak Sekolahan (1994-2006)—hingga sekarang setelah menjadi orang tua dari remaja 14 tahun, ternyata memasuki arena milenial baper (terbawa perasaan). Tidak ada yang bisa “move on”.

Sekadar ingatan masa lalu: Si Doel Anak Sekolahan versi televisi pada beberapa mu-sim tayang awal masih mendapat percikan tafsir sutradara Sjuman Djaya, yang meng-arah-kan Si Doel Anak Betawi (1972). Pada Sjuman selalu saja ada persoalan sosial dan politik yang menjadi latar belakang tokohnya. Sosok Doel dan si Babe ciptaan Aman Datuk Madjoindo (novelis asal Suma-tera Barat pencipta Si Doel Anak Dja-karta) diperkaya dengan persoalan era kolonial-isme. Hasilnya, Si Doel Anak Betawi menjadi salah satu film legendaris pada masanya.

Sjuman tak berhenti di sana. Dia mem-bayangkan si Doel dewasa (diperankan Benjamin S.) jatuh cinta kepada gadis kota, Kristin (Christine Hakim), dalam Si Doel Anak Modern (1976). Dalam film yang mem-bawa Sjuman menjadi Sutradara Terbaik dan Penulis Skenario Terbaik Festival Film Indonesia 1977 itu, sang sutradara tak lupa menampilkan kritik sosial terhadap pan-dangan “modern” yang selalu diartikan materi, bukan pemikiran dan sikap.

Dalam tafsir Rano Karno, Si Doel Anak Sekolahan versi sinetron sebetulnya sem-pat terciprat hal-hal sosial yang serius tapi disampaikan dengan jenaka, seperti bagai-mana nasib tanah masyarakat Beta-wi yang sudah digerus pembangunan serta bagaimana Doel dan keluarganya men-cari kuburan nenek moyang yang telah di-sulap menjadi lapangan golf hingga jadi-lah mereka berdoa di tengah lapangan karena si Babe nyapnyap. Saya mengulang-ulang cerita masa kejayaan Si Doel ini ka-rena masih ingin percaya Rano Karno sebetul-nya sangat paham dan sangat mampu men-jadi sutradara komedi yang bagus.

Tapi Rano Karno dan seluruh tim pro-dusernya memilih tema “baper” tadi. Pada musim tayang terakhir versi sinetron, me-mang soal cinta segitiga inilah yang menjadi tema utama. Dalam film Si Doel the Movie tahun lalu dan sekuelnya, cinta segitiga ini tidak beres-beres. Si Doel ternyata punya anak berusia 14 tahun dari Sarah, dan si anak menyusul ke Jakarta bersama ibunya.

CINTA SEGITIGA YANG TAK PERNAH SELESAI/Neue Visionen Filmverleih

SI DOEL THE MOVIE 2

Sutradara : Rano Karno

Skenario : Rano Karno, berdasarkan tokoh ciptaan Aman Datuk Madjoindo

Pemain : Rano Karno, Cornelia Agatha, Maudy Koesnaedi, Mandra, Suti Karno, Aminah Cendrakasih

Produksi : Falcon Pictures dan Karnos Film

 


 

Pertemuan Sarah dan Zaenab menjadi pun-cak dari segala puncak kedewasaan (kira-kira dialognya: “Lu aje ame die, gue ikhlas, kok”). Malah, putra si Doel yang juga bernama si Dul (Rey Bong) meminta ibunya, Sarah, kembali bersatu dengan bapaknya. Zaenab (Maudy Koesnaedi), yang muntah-muntah sepanjang film, galau dan mengalah terus. Dan, oh, jangan lupa, Maknyak dan Atun berkeras: “Awas lu kalau poligami!”, yang membuat saya ber-pikir, “bukankah sebetulnya si Doel sudah rada-rada poligami?” karena Sarah belum res-mi bercerai dengan si Doel dan Zaenab dikawini (siri).

Baiklah, itu memang soal teknis. Dan saya juga harus adil bahwa kini dinamika antara tokoh Doel, Mandra, dan Atun jauh lebih menarik dibanding dalam film  Si Doel pertama, yang sepanjang film jumlah kata yang diucapkan si Doel tak lebih dari sepuluh dan dia galau terus. Tapi adakah yang sudi mencolek Rano Karno untuk mem-bisikkan bahwa soal cinta segitiga ini sudah kedaluwarsa?

Jadi, untuk film berikut (yep, masih ada sambungannya), kalau si Doel tidak juga bisa memutuskan, atau kalau Sarah ter-nya-ta masih terombang-ambing dan Zaenab masih juga galau, saya kira memang sudah waktunya ada produser yang membuat remake Si Doel Anak Betawi agar  generasi sekarang mengetahui sosok si Doel kanak-kanak sesungguhnya seorang anak Betawi yang cergas dan jenaka. Selain itu, untuk mengingat bahwa kita pernah memiliki sutradara jenius seperti Sjuman Djaya.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus