Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Masjid-masjid Tak Lazim Emil

Masjid 99 Kubah Asmaul Husna di Makassar digarap dengan desain lain daripada yang lain. Mengundang kontroversi karena ada yang menganggapnya tak ramah lingkungan.

15 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANGUNAN yang seolah-olah melayang di pesisir Selat Makassar, Sulawesi Selatan, ini mudah saja merenggut perhatian. Megah, dengan susunan kubah berbentuk bawang yang kelirnya jingga mentereng. Tumpukan “bawang mungil” itu mengerucut dengan sebuah kubah separuh bulatan atau melon dome di bagian pucuknya. Sekilas mirip gereja-gereja Kristen Ortodoks bercorak meriah di Rusia sana.

Ini Masjid 99 Kubah Asmaul Husna. Nama itu mengacu pada 99 kubah yang melingkar sebagai fasad bangunan. Jum-lah-nya sesuai dengan asmaul husna, atau gelar-gelar indah untuk Tuhan dalam Islam. Masjid ini berada di area Center Point of Indonesia (CPI), Makassar. Kawasan CPI berdiri di atas tanah reklamasi yang berhadapan dengan Pantai Losari. “Kami ingin masjid ini masuk sepuluh terbaik di Indonesia dan salah satu yang terunik sejagat,” kata Kepala Dinas Sumber Daya Air, Cipta Karya, dan Tata Ruang Provinsi Sulawesi Selatan Andi Darmawan Bintang saat ditemui di kantornya.

Mimpi itu semula tumbuh di kepala bekas Gubernur Sulawesi Selatan, Syah-rul Yasin Limpo. Pada 2014, Syahrul ber-angan-angan mendirikan masjid ikonik di tepi Pantai Losari. Ide itu terus dibahas sampai akhirnya resmi menjadi proyek pemerintah pada 2016. Adapun pem-bangunannya dimulai setahun kemudian. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil—ketika itu masih menjabat Wali Kota Bandung—yang dipasrahi menggarap konsep arsitek-turnya.

Andi menjelaskan, Masjid 99 Kubah di-bangun di atas lahan seluas 2 hektare milik pemerintah Sulawesi Selatan. Luas bangunannya 17 x 45 meter dengan tinggi hampir 90 meter atau menyerupai ketinggian Masjid Istiqlal di Jakarta. Sisa lahan dijadikan beranda, yang berjulukan “Pelataran Suci”. Di situlah, tepatnya di sebelah kanan masjid, terdapat Air Mancur Waisabbe Tomalebbi. “Ini air mancur ter-besar di luar Pulau Jawa,” ucap Andi. Air mancur itu memakan kaveling 6 x 80 meter.

Ridwan Kamil, yang biasa disapa Emil, menjelaskan bahwa Masjid 99 Kubah punya modal kuat untuk menjadi ikon tempat ibadah di Sulawesi Selatan ataupun di Indonesia. Salah satu alasannya adalah masjid ini berdiri di pinggir laut sehingga pantulannya di air tampak dramatis dan fotogenik, apalagi jika mendapat paparan cahaya matahari saat terbit atau kala senja. Emil juga merancang masjid terapung di Gedebage, Bandung. Dikepung danau luas pengendali banjir, masjid bernama Al-Jabbar ini juga punya refleksi yang cantik di air.

Masjid-masjid Tak Lazim Emil/TEMPO/Prima Mulia

MASJID 99 Kubah adalah satu dari sekitar 20 rumah ibadah Islam rancangan Ridwan Kamil di dalam dan di luar negeri, di antaranya Masjid Al Safar di jalan tol Cipularang kilometer 8; Masjid Al Irsyad di Padalarang; Masjid Merapi; Masjid Raya Al-Azhar di Summarecon Bekasi; masjid di Kepolisian Daerah Jawa Barat; masjid raya di Sevilla, Spanyol; dan masjid di Gaza, Palestina. “Saya sekarang tidak men-desain masjid lagi, tapi wasiat almarhum ayah melarang saya berhenti merancang masjid,” ujar Emil-—panggilan Ridwan Kamil.

Kebanyakan konsep bangunan masjid yang didesain Emil itu memang jauh dari konvensional. Emil menjelaskan, dia se-ngaja ingin menuangkan imajinasinya dan tak terpatok pakem. Pembangunan Masjid Merapi di Desa Kepuharjo, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya, memanfaatkan batako berbahan abu letusan Gunung Merapi sebagai material. Adapun Masjid Raya Al-Azhar dirancang tanpa jendela tapi memiliki banyak lubang ventilasi di tubuh bangunan yang berbentuk balok.

Masjid Al Irsyad di Padalarang, yang diresmikan pada 2010, lain lagi. Masjid berdesain futuristis ini meraih sejumlah penghargaan internasional. Bentuknya memang unik, mirip Ka’bah tanpa kubah. Adapun ventilasi di dinding masjid disusun dengan pola yang bila dipandang dari kejauhan membentuk bacaan syahadat.

Bangunan masjid yang tak lazim bisa dijumpai pula di Masjid Al Safar. Masjid ini berbentuk seperti bangau origami dengan lekukan dan ruang berbentuk segitiga. Emil menerangkan, desain masjid ini hasil risetnya atas teori folding architecture atau lipatan. Saking nyeleneh-nya, bentuk Masjid Al Safar memancing kehebohan di media sosial. Apalagi ada yang menuding bangunan itu sebagai simbol Illuminati dan saat bersembahyang di sana bak tengah menyembah bentuk segitiga bermata satu.

Namun tudingan itu dibantah Emil. Ia menyebutkan estetika Islam sangat kuat untuk urusan geometri. Karena itu, saat mendesain masjid, ia ingin menghasilkan gaya baru dengan geometri berbeda. Ia tak hanya hendak merespons geografi, tapi juga iklim, luas area, serta budaya setempat. “Namun interpretasi dalam arsitektur tak bisa dihindari, dan itu datang dari pengalaman si penafsir,” tuturnya.

Begitu pula soal bentuk dan keberadaan kubah. Emil menilainya bukan hal pokok yang wajib ada pada sebuah bangunan masjid. Ia menjelaskan, sebelum Islam hadir, kuil Pantheon di Roma lebih dulu memakai kubah. Begitu pun bentuk menara yang biasa mendampingi masjid di Nusantara, yang dulu dipakai sebagai kuil tempat sembahyang kaum Majusi yang menyembah api. “Saya ingin mengedukasi bahwa urusan kubah adalah pilihan,” kata Emil.

Karena itulah, saat hendak mengadopsi bentuk kubah di masjid Makassar, Emil merancang model lain. Ia mengungkapkan, fasad kubah berundak adalah satu dari beberapa konsep yang disodorkannya kepada Syahrul Yasin Limpo. Ide lain yang ia usulkan adalah desain dengan unsur lokal kuat, misalnya berbentuk kapal atau layar. Namun Syahrul belakangan sepakat dengan sketsa 99 kubah. Selain unik, ada pene-litian yang menyebutkan bahwa bentuk kubah bisa menghasilkan akustik yang baik tanpa sokongan sistem suara elektronik.

Jejak Emil dalam arsitektur masjid ini juga terlihat dari ketiadaan pilar yang umumnya ada di masjid-masjid besar Nusantara. Masjid Al Irsyad di Padalarang juga tak ditopang pilar. Pilihan itu sekaligus membuat area masjid yang terdiri atas dua lantai ini terasa lebih lapang. Begitu pun halamannya yang tampak lowong. Emil ingin pelataran berhias taman itu bisa menampung sekitar 10 ribu anggota jemaah seperti masjid-masjid di Turki. “Harapannya, Masjid 99 Kubah ini tak hanya menjadi obyek wisata religi, tapi juga tamasya arsitektur dan menjadi kebanggaan warga,” ucapnya.

Sementara Emil urun konsep, urus-an detail digarap biro arsitektur yang didiri-kannya, Urbane Indonesia. Termasuk soal pemilihan warna masjid yang didominasi jingga dan warna terang lain. Arsitek dari Urbane Indonesia, Reza Nurtjahja, men-jelaskan bahwa Syahrul-lah yang memilih warna tersebut. Kantornya semula me-nawarkan dominasi warna putih yang netral. “Warna oranye yang mencolok itu menggambarkan semangat juang orang Makassar,” kata Reza, yang memimpin tim konseptor Masjid 99 Kubah.

Adapun unsur lokal diterjemahkan arsitek Makassar, Musyrid Mustafa, dengan ornamen tulisan dan kaligrafi di kulit kubah. Ada juga stilasi geometris yang memperkuat perlekatan budaya Makassar di masjid ini. Fasad masjid yang eksentrik disokong konsep bangunan yang ramah lingkungan. Salah satunya dengan meniadakan AC atau penyejuk udara. Sebagai ganti, digunakanlah ubin marmer asal Maros, Sulawesi Selatan, yang membuat ruangan adem alami. Begitu pula pencahayaannya, yang memaksimalkan sinar matahari saat pagi hingga sore.

Kecantikan Masjid 99 Kubah tak lepas dari kontroversi. Direktur Eksekutif Waha-na Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan, Muhammad Al Amin, menyoroti keberadaan masjid tersebut di atas tanah reklamasi Center Point of Indonesia. Menurut dia, 70 persen lahan Masjid 99 Kubah adalah tanah reklamasi CPI, sementara sisanya tanah timbul. Pembangunannya menjadi bagian dari megaproyek reklamasi pesisir Makassar seluas 4.000 hektare. Walhi pun sudah melakukan investigasi dan menemukan dampak buruk reklamasi. Di antaranya keruhnya air laut, abrasi pulau-pulau kecil di sekitar area reklamasi, serta jatuhnya pendapatan nelayan yang makin sulit mendapat ikan.

Kualitas tanah reklamasi itu juga dikhawatirkan Al Amin berdampak pada bangunan Masjid 99 Kubah. Sebab, kon-tur tanah reklamasi cenderung ringkih sehingga berbahaya bila mesti menampung bangunan besar. Ia pun waswas limbah cair dari masjid bakal mengotori laut di sekitarnya jika tak dikelola dengan baik. “Kami tidak menolak berdirinya masjid, tapi mengkritik pembangunannya yang tak ramah lingkungan dan berpotensi merugikan orang banyak,” ujarnya.

Pembangunan masjid ini masih ber-langsung dan ditargetkan rampung tahun depan. Menurut Andi Darmawan, sejauh ini prosesnya sudah mencapai 70 persen dan menelan biaya Rp 136 miliar. Duit itu bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2018. Sampai bisa siap pakai, Andi memperkirakan, Masjid 99 Kubah membutuhkan asupan sekitar Rp 60 miliar lagi.

Mulya Sarmono (Makassar), Anwar Siswadi (Bandung), Isma Savitri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus