Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketimpangan pendapatan setelah desentralisasi ekonomi sebenarnya telah diprediksi oleh para ekonom, walau sering disangkal oleh politikus. Perubahan mendasar dalam pembagian kewenangan dan urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (pemda) serta perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemda tidak serta-merta mampu menyelesaikan sumber ketimpangan pendapatan, yang lebih bersifat struktural. Ekonom menggunakan ukuran makro Rasio Gini atau Gini Index, yang membandingkan persentase penduduk yang menguasai sumber daya dengan persentase pendapatan yang diperolehnya. Rasio Gini kecil menunjukkan ketimpangan rendah dan, sebaliknya, Rasio Gini besar menunjukkan ketimpangan tinggi.
Artikel ini menganalisis ketimpangan pendapatan dan kesenjangan wilayah yang meningkat setelah dilakukannya otonomi daerah. Pemerintah Kabinet Kerja mengalami kesulitan mengoreksi fenomena sensitif itu sehingga perlu dirumuskan strategi alternatif yang lebih efektif ke depan.
Ketimpangan Pendapatan
Data terakhir Rasio Gini dari Badan Pusat Statistik menunjukkan angka 0,384 pada September 2018, menurun dibandingkan dengan 0,391 pada September 2017. Rasio Gini mencapai angka tertinggi 0,410 pada 2011, meningkat tajam dari 0,30 pada 2000 sebelum otonomi daerah. Ketimpangan pendapatan di daerah perkotaan pada September 2018 lebih tinggi dibanding daerah perdesaan (0,393 vs. 0.319) dan menurun dibanding September 2017 (0,404 vs. 0,320).
Berhubung ketimpangan diukur dari data pengeluaran, pada September 2018 persentase pengeluaran kelompok 40 persen terbawah penduduk adalah 17,47 persen dari produk domestik bruto, sedikit meningkat dari 17,22 persen pada September 2017. Kenaikan pengeluaran per kapita kelompok 40 persen terbawah dan 40 persen menengah agak lebih cepat dibanding kelompok kaya 20 persen teratas. Penurunan ketimpangan pada masa Kabinet Kerja terasa lamban walaupun telah digenjot dengan program Reforma Agraria, perbaikan administrasi pertanahan, serta pemberian sertifikat tanah kepada petani kecil dan masyarakat perdesaan.
Desentralisasi ekonomi atau otonomi daerah, yang dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan birokrasi kepada rakyat, ternyata belum mampu meningkatkan pemerataan pendapatan, bahkan sebaliknya. Cukup banyak studi yang mengungkap penyebab ketimpangan pendapatan di Indonesia walaupun dengan koefisien dan magnitude yang berbeda (Siddique dkk, 2008; Dyah, 2012; Indef, 2018, dll). Penyebab itu antara lain kebijakan dan program inklusi sosial yang tidak berjalan baik, program intervensi yang tidak efektif, kualitas infrastruktur fisik dan infrastruktur sosial, serta inefisiensi sistem logistik yang menyebabkan biaya tinggi dan lain-lain.
Pada kesempatan lain, penulis mengidentifikasi setidaknya terdapat empat determinan ketimpangan, yaitu: (1) karakter pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas karena kinerja sektor tradable, seperti pertanian dan industri manufaktur, yang tidak baik; (2) kepemilikan aset dan kapasitas produksi yang tidak merata, terlihat dari jumlah petani berlahan sempit yang meningkat; (3) akses faktor produksi dan sumber daya produktif yang terbatas karena buruknya infrastruktur di daerah perdesaan; (4) kebijakan subsidi yang tidak efektif dan tidak tepat sasaran, seperti subsidi pupuk dan subsidi pangan (Arifin, 2015).
Alih-alih mampu mengurangi ketimpangan pendapatan, tingkat kesenjangan antarwilayah justru makin mengkhawatirkan. Fenomena ketimpangan dan kesenjangan ini bukan perkara main-main, tapi merupakan persoalan serius yang perlu diselesaikan. Langkah yang harus dilakukan tidak harus dengan berita pencitraan dan penyangkalan (denial), tapi dengan peta jalan yang sistematis dan terukur melibatkan pengampu kepentingan (stakeholders) lain, akademikus, lembaga swadaya masyarakat, inisiatif yang melibatkan swasta, dan masyarakat luas.
Kesenjangan Wilayah
Ekonom juga mengembangkan Indeks Williamson (IW) untuk mengukur kesenjangan wilayah, yang didekati dari ketimpangan pendapatan per kapita suatu wilayah pada waktu tertentu. IW membandingkan produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita suatu daerah dengan PDRB per kapita rata-rata semua daerah. Mirip dengan Rasio Gini, angka IW kecil menunjukkan kesenjangan wilayah rendah dan IW besar menunjukkan kesenjangan wilayah tinggi.
Hasil kajian Indef (2018) menunjukkan, pada awal 1990-an, kesenjangan wilayah di Indonesia sempat menurun, terlihat dari angka IW 0,75 pada 1990 yang turun menjadi 0,69 pada 1995. Angka IW memburuk menjadi 0,91 pada 2000 atau setelah krisis ekonomi Asia dan terus memburuk sejak otonomi daerah sampai mencapai 0,99 atau nyaris senjang sempurna pada 2003. IW terus bertahan tinggi di kisaran 0,91-0,97 pada 2000-an dan pernah turun menjadi 0,91 pada 2015. Hasil studi Siddique dkk (2008) menyebutkan bahwa desentralisasi justru meningkatkan ketimpangan pengeluaran penduduk antarprovinsi. Dyah (2012) juga menyimpulkan bahwa banyak pemerintah daerah kurang memberikan perhatian terhadap program penurunan ketimpangan.
Banyak politikus mengira bahwa ketimpangan pendapatan dan kesenjangan wilayah disebabkan oleh rendahnya Dana Perimbangan dari pusat ke daerah, dalam bentuk Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, serta Dana Dekonsentrasi dan lainnya. Fakta dari Nota Keuangan serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara justru menunjukkan sebaliknya. Dana Perimbangan pada 2000 hanya Rp 30 triliun, kemudian naik menjadi Rp 111 triliun pada 2005, lalu naik menjadi Rp 287 triliun pada 2010. Politikus terus menuntut kenaikan Dana Perimbangan sampai Rp 583 triliun pada 2015 dan Rp 827 triliun (termasuk Dana Desa) pada APBN 2019.
Kualitas Penganggaran
Analisis lebih dalam terhadap fenomena meningkatnya Dana Perimbangan dan tingginya ketimpangan mulai menunjukkan titik terang, terutama setelah dibedakan menurut jenis Dana Perimbangan itu. Peningkatan Dana Alokasi Umum justru berkorelasi positif dengan ketimpangan karena lebih banyak dibelanjakan untuk gaji pegawai, pengeluaran rutin, bahkan pembelian kendaraan dinas dan fasilitas birokrasi lainnya. Peningkatan Dana Alokasi Khusus berkorelasi negatif dengan ketimpangan, maksudnya bahwa program-program khusus yang benar-benar dibutuhkan daerah mampu mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan. Analisis ekonometrika itu menunjukkan bahwa kemampuan penerimaan, yang ditunjukkan oleh penerimaan asli daerah yang besar, justru berkorelasi positif dengan ketimpangan. Namun kemampuan pengeluaran pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran untuk pelayanan publik dasar berkorelasi negatif dengan ketimpangan.
Lebih spesifik lagi, alokasi belanja pelayanan dasar pendidikan berkorelasi positif dengan ketimpangan. Hasil ini sebenarnya tidak terlalu mengejutkan mengingat kualitas penganggaran untuk pendidikan dasar masih banyak tertuju pada belanja rutin, peningkatan gaji guru, dan pembangunan infrastruktur sekolah, yang mungkin tidak efektif. Hasil penelitian Ree dkk (2017) dengan metode ekonomi eksperimen yang dimuat dalam jurnal bereputasi tinggi, Quarterly Journal of Economics, edisi November 2017 menghasilkan kesimpulan double for nothing. Kenaikan gaji guru dua kali lipat, termasuk melalui sertifikasi guru, memang mampu meningkatkan kepuasan guru akan penghasilannya, mengurangi kecenderungan guru untuk mencari pekerjaan sambilan, dan mengurangi keluhan guru tentang masalah keuangan rumah tangganya. Setelah berjalan dua-tiga tahun, kenaikan gaji guru tersebut tidak mampu memperbaiki prestasi siswa (student learning’s outcome) dan tidak mampu memperbaiki hasil ujian siswa. Dengan kata lain, kenaikan gaji guru semata bukan merupakan opsi kebijakan efektif untuk memperbaiki upaya peningkatan produktivitas guru yang menjadi aparatur sipil negara saat ini. Indonesia membutuhkan serangkaian program reformasi pendidikan dasar dan menengah yang mampu berkontribusi signifikan pada upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Terakhir, alokasi belanja kesehatan berkorelasi negatif dengan ketimpangan dapat ditafsirkan bahwa kualitas penganggaran sektor kesehatan yang lebih baik akan mampu meningkatkan akses masyarakat pada sumber daya dan kegiatan produktif. Penyakit degeneratif, seperti stroke, jantung, diabetes, dan darah tinggi, makin banyak terjadi, baik di perkotaan maupun perdesaan. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari persoalan akses pangan, kualitas gizi, pola asuh, dan pola hidup tidak sehat sejak usia dini.
Hasil Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan prevalensi obesitas pada orang dewasa (18 tahun ke atas) cukup tinggi, meningkat dari 15,4 persen pada 2013 menjadi 21,8 persen pada 2018. Prevalensi ini amat serius, mengarah penyakit degeneratif yang amat berbahaya dan membawa konsekuensi ekonomi yang lebih serius. Bahkan persoalan penyakit tidak menular dan amat degeneratif ini menjadi beban berat bagi sistem jaminan kesehatan nasional. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan mengalami defisit sampai Rp 16 triliun pada 2018, suatu peningkatan signifikan dari Rp 9 triliun pada 2017.
Sebagai penutup, ketimpangan pendapatan dan kesenjangan merupakan masalah struktural yang memerlukan upaya terukur untuk menanggulanginya. Intervensi program perlu spesifik lokasi, disesuaikan dengan kekhasan daerah. Namun strategi berikut ini layak dipertimbangkan.
Pertama, peningkatan kualitas dan politik penganggaran negara, baik di pusat maupun daerah. Langkah ini memerlukan integrasi perencanaan pembangunan, efisiensi alokasi anggaran, dan implementasi program atau anggaran yang telah dialokasikan tersebut.
Kedua, pelaksanaan strategi industrialisasi pedesaan yang efektif, integrasi pembangunan pertanian, industrialisasi dan peningkatan nilai tambah, serta pengembangan ekonomi kreatif.
Ketiga, pengembangan kemitraan usaha besar dan kecil, termasuk skema contract-farming dalam dunia pertanian yang bervisi saling menguntungkan. Langkah ini amat diperlukan untuk memperbesar akses pasar bagi segenap pelaku ekonomi di daerah perdesaan. Di sinilah diperlukan sinergi peningkatan kapasitas dan pengembangan sumber daya manusia perdesaan, pembenahan aransemen kelembagaan dan modal sosial (trust), serta pendampingan atau pemberdayaan masyarakat.
Keempat, penyempurnaan Reforma Agraria, yang meliputi reforma aset lahan dan reforma akses informasi pasar, perubahan teknologi, serta pembiayaan atau lembaga keuangan. Reforma Agraria merupakan fixed variable yang harus ada, sebagai representasi kehadiran negara untuk mengurangi ketimpangan pendapatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo