Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Kolaborasi Negara Melawan Korupsi Global

Praktik korupsi yang menggurita tidak cukup diurusi oleh masing-masing negara, tapi perlu kolaborasi lintas negara. Buku yang menawarkan pendekatan baru dalam isu korupsi.

15 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERBONGKARNYA dokumen keuangan firma hukum Mossack Fonseca yang dikenal dengan skandal Panama Papers pada 2015 dan dokumen keuangan firma hukum Appleby yang dikenal dengan Paradise Papers pada 2017 membuat publik terperangah. Publik bertanya-tanya: apakah aset yang bersemayam di “surga bebas pajak” itu adalah hasil megakorupsi berskala global? Apakah kongkalikong elite global dengan perusahaan multinasional sekadar menyembunyikan praktik kotor dari penegak hukum perpajakan atau jauh lebih dahsyat?

Kesadaran khalayak tentang gurita korupsi global yang melibatkan pemain besar, seperti pejabat publik dan para pebisnis kakap, menemukan momentum eskalasi sejak pengakuan John Perkins dalam bukunya, Confessions of an Economic Hit Man (2004). Perkins adalah agen firma konsultasi Chas T. Main Inc di Boston, Amerika Serikat, yang tugasnya meyakinkan pemimpin di negara-negara berkembang agar menerima pinjaman lunak untuk dana pembangunan. “Alih-alih memberdayakan kaum miskin, malah memperkaya elite lokal dan segelintir keluarga tajir.

Praktik korupsi yang menggurita ternyata tidak cukup diurusi oleh masing-masing negara, tapi perlu kolaborasi lintas negara. Pada titik ini, buku yang ditulis Elitza Katzarova ini mendapatkan momentum. Pengajar dan peneliti tamu pada International Relations di Braunschweig University of Technology, Jerman, ini memiliki minat penelitian dalam bidang korupsi dan global corporate governance. Buku The Social Construction of Global Corruption: From Utopia to Neoliberalism ini diangkat dari disertasi doktoralnya di University of Trento, Italia, pada 2015.

Katzarova banyak membahas peran Amerika Serikat dan undang-undang antikorupsinya (Foreign Corrupt Practices Act) serta internasionalisasi dari undang-undang tersebut. Dia bersikap kritis terhadap agenda anti-penyuapan Amerika tersebut karena korupsi justru beroperasi pada skala yang lebih luas dari sekadar menyuap pejabat perizinan. Selain itu, ia menyoroti tren pengukuran korupsi lewat Indeks Persepsi Korupsi dan Barometer Korupsi Global, yang dipopulerkan Transparency International sejak 2004, ternyata baru menyiangi permukaan korupsi berskala global.

Ada tiga hal pokok yang ditunjukkan buku ini. Pertama, persoalan korupsi sebagai masalah global tidak terlepas dari pertarungan kekuasaan dan adu kuat soal definisi atau pemaknaan korupsi. Bagaimana korupsi dinegosiasikan dan dikonstruksi secara sosial dan bagaimana struktur tata kelola pemerintahan berskala global untuk mengatasi hal ini muncul dari proses tersebut.

Kedua, buku ini menawarkan pendekatan baru dalam isu korupsi dengan cara memeriksa dua arah yang berbeda untuk mengatur dan membincangkan korupsi yang dikembangkan di lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Katzarova menyebut pendekatan pertama sebagai jalan kecil, menyoroti penyuapan sebagai bentuk utama dari korupsi dengan solusi berupa pengetatan aturan. Pendekatan kedua, jalan besar, yakni mengurai struktur ekonomi global dengan membatasi pergerakan perusahaan transnasional melalui aturan lintas negara.

Ketiga, memberi pemahaman baru bagi banyak negara yang mengalami kebingungan berhadapan dengan dua jalan dalam mengelola ekonomi global. Di satu arah, negara makin kuat mengintervensi pasar global untuk menjaga kepentingan publik dari korupsi korporasi transnasional. Sementara itu, di arah yang lain, ada penguatan deregulasi dan privatisasi yang membatasi campur tangan negara dalam kinerja pasar global.

Buku ini bukan tanpa kelemahan argumen. Karena berfokus pada pertarungan kekuasaan dan pemaknaan korupsi pada level internasional, Katzarova menisbikan praktik korupsi di ranah layanan publik pada cakupan negara. Padahal Barney Warf dalam Global Corruption from a Geographic Perspective (2019) menyebutkan, “Tingkat parahnya korupsi terkait erat dengan kekayaan nasional. Makin makmur negara, makin rendah tingkat korupsinya.” Negara-negara Skandinavia, seperti Denmark, Swedia, Finlandia, dan Norwegia, memiliki tingkat korupsi paling rendah karena berhasil menjalankan fungsi birokrasi pemerintahan secara efektif.

HENDAR PUTRANTO, PENELITI ISU ANTIKORUPSI DAN PENGAJAR DI FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus