Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Unjuk rasa dan pemboikotan produk Prancis pecah di berbagai negara.
Semua berawal dari komentar Macron dan ditimpali kecaman Erdogan.
Macron menegaskan perlawanannya terhadap ekstremis yang menggunakan kekerasan atas nama Islam.
RANGKAIAN unjuk rasa memprotes Presiden Prancis Emannuel Macron meletup di Jakarta dan sejumlah kota di Indonesia dalam dua pekan terakhir. Selain teriakan kecaman, massa menginjak foto-foto Presiden Prancis Emmanuel Macron. Polisi membangun barikade beton dan kawat berduri untuk melindungi area di sekitar Kedutaan Besar Prancis dari kepungan ribuan peserta aksi yang memadati simpang Sarinah, Jakarta Pusat, pada Senin, 2 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka memprotes Macron, yang dianggap telah menghina Islam dan membela publikasi kartun Nabi Muhammad di majalah satire Charlie Hebdo. Protes juga menyebar di sejumlah negara yang mayoritas penduduknya muslim. Warga kawasan Timur Tengah memboikot produk Prancis dan mengeluarkannya dari toko-toko. Massa yang turun ke jalanan di Dhaka, Bangladesh, menyebut Macron pemimpin penyembah setan. Di Bagdad, Irak, gambar figur yang menyerupai Macron dan bendera Prancis dibakar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gelombang unjuk rasa ini terutama dipicu oleh komentar Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, yang memang kerap berselisih paham dengan Macron. Erdogan menuduh Macron telah membangkitkan Islamofobia di Barat dan menyerukan kepada masyarakat muslim di seluruh dunia agar memboikot produk Prancis. “Masalah apa yang dimiliki Macron dengan umat muslim dan Islam? Macron butuh perawatan mental,” kata Erdogan, seperti dilaporkan Deutsche Welle.
Dalam wawancara dengan Al Jazeera, Macron mengakui memahami ketersinggungan umat Islam atas kartun Nabi. Tapi, menurut dia, hal itu tidak bisa menjadi pembenaran atas tindakan kekerasan, termasuk pembunuhan Samuel Paty. Paty, kata Macron, hanya berusaha mempertahankan kebebasan berpendapat di Prancis. “Termasuk kebebasan menulis, berpikir, dan menggambar.”
Pernyataan Macron yang juga memantik protes adalah ketika dia menyebut Islam sebagai agama yang tengah mengalami krisis. Tapi dia membantah telah menyerang Islam. Prancis, menurut dia, tidak memiliki masalah dengan agama yang dianut oleh jutaan warga negaranya. Macron justru menyasar pelaku terorisme yang mendorong gerakan radikal terus berkembang. “Para ekstremis keji inilah yang merusak agama karena melakukan kekerasan atas nama Islam,” kata Macron.
Duta Besar Prancis Olivier Chambard mengatakan Macron akan terus membela kebebasan dan mendukung laïcité, konsep sekularisme di Prancis yang memisahkan urusan agama dari negara. Pemerintah Prancis juga tidak berhak menyensor media massa dan akan melindungi kebebasan berekspresi selama tidak mendorong kebencian, kekerasan, atau mempromosikan terorisme. “Membela kebebasan berekspresi di Prancis tidak berarti semuanya diperbolehkan: hukum hadir untuk melindungi semua warga negara,” kata Chambard dalam pernyataan tertulis kepada Tempo, Senin, 2 November lalu.
Menurut Chambard, banyak media salah menyatakan Presiden Prancis mendukung kartun Nabi. Macron, kata dia, hanya menjalankan konstitusi yang melindungi hak asasi manusia, yang meliputi kebebasan berekspresi dan berpendapat. Chambard menyebut Charlie Hebdo sebagai media satire yang sering menerbitkan karikatur provokatif tentang agama Kristen, Yahudi, dan Islam. Gara-gara itu pula majalah itu berkali-kali dituntut ke pengadilan oleh organisasi yang merasa dilecehkan dan, “Divonis bersalah sembilan kali dalam 48 perkara yang pernah disidangkan,” ujarnya.
Chambard menilai serangan anti-Prancis ini ditunggangi oleh kelompok minoritas radikal. Di Prancis, istilah “Islamisme radikal” adalah radikalisme, yaitu ekstremis yang membajak agama dan melakukan tindakan kekerasan dalam Islam. Chambard menyebut serangan terorisme atas nama Islam itu adalah penyakit bagi umat Islam di seluruh dunia. “Beberapa media menerjemahkan perlawanan yang diserukan Presiden Macron melawan terorisme sebagai bentuk permusuhan terhadap Islam,” tuturnya. Padahal, “Justru, sebaliknya, Prancis memiliki jutaan warga musim yang ingin hidup damai.”
GABRIEL WAHYU TITIYOGA, SUKMA LOPIES (EURONEWS, AP, REUTERS, AL JAZEERA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo