Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ENAM perempuan berselimut kain hitam berjajar bersama. Kain itu membungkus tubuh mereka dari pundak sampai sekitar lutut. Para perempuan itu tampaknya datang dari daerah perbukitan yang dingin karena demikian alami mereka menyelimutkan kain itu ke tubuh. Mereka bergerak berdekatan tanpa suara, membentuk garis-garis horizontal, kemudian diagonal. Lalu mereka membuat gerakan-gerakan bersahaja seperti merunduk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajah mereka dalam pertunjukan pada Kamis-Jumat, 6-7 Februari lalu, itu menatap ke arah penonton Teater Salihara, Jakarta Selatan, tanpa ekspresi. Tatkala mereka melepas selubung kain hitam itu, terlihatlah masing-masing membawa sebuah kendang kecil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada bagian tengah koreografi, mereka mempermainkan kendang itu. Seorang penari mendekapnya. Seorang yang lain memanggul, memeluk, menimangnya. Mereka melakukannya sembari melantunkan vokal bersama-sama. Kor mereka melemparkan kita ke sebuah rasa komunal tertentu. Mereka lalu juga melakukan gerakan berputar melingkar sembari mengayun-ayunkan atau menyunggi kendang. Kita menerka, pasti kendang itu mewakili sebuah simbolisme tertentu. Entah bayi, entah senjata, entah penggalan kepala musuh yang dilayang-layangkan.
Para perempuan itu datang dari Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Semuanya masih tampak remaja, tapi beberapa di antaranya berprofesi sebagai guru. Kendang yang mereka dekap itu dikenal bernama tihar di Belu. Problem-problem di perbatasan (border) Belu-Timor Leste agaknya menarik Eko Supriyanto untuk diangkat ke koreografi. Tapi ini bukan pertama kalinya kawasan Belu-Timor Leste membetot perhatian dunia seni kita. Riri Reza, misalnya, pernah membuat film berlatar Belu, yakni Atambua 39 Derajat Celsius.
TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Eko tertarik pada tari likurai, yang bisa disebut sebagai identitas bagi Belu ataupun Timor Leste. Tari likurai bahkan menjadi “tari nasional” di Timor Leste. Eko juga ingin memaknai dunia tenun Belu. Ada kaitan antara likurai dan tenun. Eko melihat dalam likurai dan tenun tersimpan memori kolektif atau ingatan arkais bersama kedua wilayah itu. Masyarakat Kabupaten Belu terdiri atas berbagai suku, antara lain Kemak, Bunaq, Dawan, Mambai, dan Tetum. “Bahasa Tetum sehari-hari digunakan mayoritas masyarakat Belu, juga di Timor Leste,” kata Eko. Karena adanya akar yang sama, meski sudah terpisah secara geopolitik, untuk keperluan adat, ibu-ibu di Belu masih suka tukar-menukar tenun dan tihar dengan keluarga mereka yang terpisah di Timor Leste. Tenun dan tihar adalah lambang suci persaudaraan.
Anak-anak perempuan di sebuah keluarga di Belu secara adat terbiasa menari likurai dan menenun. Karena itu, ketika pada 2017 terlibat dalam Festival Fulan Fehan yang diadakan di kaki Gunung Lakaan, Belu, Eko dengan mudah mengumpulkan sekitar 6.000 penari likurai. “Tari likurai sesunguhnya tari sambutan bagi pahlawan perang Belu. Penari pria yang membawa pedang hanya membuka jalan. Tari ini sebetulnya menggambarkan para perempuan yang menenteng kepala-kepala musuh yang terbunuh, dan menendang-nendangnya,” tutur Eko. Kita teringat bagaimana untuk karya Cry for Jailolo Eko juga bertolak dari eksplorasi dasar kuda-kuda tarian perang di Jailolo, Halmahera Barat, Maluku Utara.
Dari riset, Eko mendapatkan data tiap dusun di Belu memiliki gaya likurai berbeda. “Jenis likurai macam-macam. Bahkan pukulan kendangnya pun tak sama. Tiap dusun bisa memiliki variasi pukulan tihar sendiri,” ucap Eko, yang memerlukan waktu satu setengah tahun pergi-pulang ke Belu untuk survei. Eko mengamati sekurangnya enam dusun di Belu, yaitu Dirun, Raimanuk, Matabesi, Lamaknen, dan Bunak. “Dusun Dirun kuat literasi sastra lisannya; Dusun Raimanuk paling eksploratif warna kain tenunnya; Dusun Matabesi mencolok musik tiup bambunya; Dusun Bunak kuat adat ritualnya, seperti ritual memburu babi, memanggil hujan, menginjak padi,” ujar Eko.
Malam itu, dengan seluruh hasil risetnya, yang tentu secara data berlimpah dan dari segi ilmu sosial amat menarik didiskusikan, koreografi Eko bertumpu pada garis dan lingkaran. Posisi panggung likurai di rumah-rumah adat Belu selalu melingkar. Lingkaran adalah tanda kesakralan. Bagaimana enam penari likurai bisa menonjolkan sesuatu yang beyond likurai sehari-hari dan menyajikan daya pukau osmosis unsur tradisi dan kontemporer, itulah tantangannya. Bagian terbaik karya berjudul IbuIbu Belu: Bodies of Borders (dalam bayangan saya yang diambil Eko adalah betul-betul ibu-ibu tua Kabupaten Belu, bukan remaja) ini adalah saat keenam penari tersebut mendadak membunyikan tihar bersama-sama. Gerakan tangan mereka cepat dan serentak badan mereka mengentak, doyong ke kiri dan kanan bersama-sama sebagaimana liukan ular. Ini membuat kita membayangkan bagaimana bila 6.000 penari secara massal melakukan hal itu di ketinggian kaki Gunung Lakaan.
TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Yang jadi soal adalah bila koreografi ini dimaksudkan untuk merefleksikan trauma dan kepedihan yang terus membayang karena sejumlah masalah yang tak selesai-selesai di perbatasan—blocking serta interaksi dramaturgi yang saling mengisi antara gerak, tabuhan, dan kor tidak menuntun kita tahap demi tahap ke sebuah klimaks yang beralasan. Tenun yang menjadi simbol “rekonsiliasi” dan “ikatan darah” masih sekadar kostum. Pada bagian akhir, seorang penari dalam posisi seperti kayang ke belakang menepuk-nepuk keras dadanya sembari seolah-olah menangis. “Keluarga dia sesungguhnya sudah menetap di Timor Leste, tapi kemudian memilih balik ke Belu,” kata Eko. Menjelang ending, menggaung bunyi tihar dalam bentuk olahan musik elektronik; para penari dalam posisi tablo diam menatap kosong ke arah penonton. Suara-suara elektronik itu seolah-olah endapan ikatan-ikatan purbawi yang muncul, mengusik, dan menagih kesadaran kekinian mereka. Tapi semuanya masih terasa steril.
Sebagai sebuah fenomena, menarik melihat kerja-kerja koreografi kontemporer dengan titik tolak antropologi demikian muncul lagi. Sardono W. Kusumo pada 1970-an mengawalinya dengan membawa warga Desa Teges, Bali, untuk karyanya, Dongeng Dari Dirah. Ia kemudian berkolaborasi dengan warga suku Dayak Kenyah. Pada pertengahan Januari lalu, Garin Nugroho membawa paduan suara Mazmur Choral dari Kupang, yang pernah mendapat penghargaan dalam World Choir Games 2014 di Latvia, ke panggung dengan mengusung tema lamentasi. Kuratorial dan pasar festival tari di Eropa, Jepang, serta Australia yang membutuhkan pertunjukan kontemporer berbasis “etnografis” dengan isu aktual, seperti migrasi, pengungsi, diaspora, hibrida, serta benturan ras dan agama, mungkin mempengaruhi alasan pendekatan ini “marak” kembali.
Dalam mengolah isu-isu tersebut, Eko tergolong koreografer yang percaya bahwa kekuatan dan kekayaan tubuh etnografis dapat disajikan tanpa memoles panggung dengan banyak kosmetik set artistik atau visual multimedia berlebihan. Dan itu dibuktikan saat ia mengeksplorasi Jailolo. Dua karyanya, Cry for Jailolo, yang membawa remaja laki Jailolo, dan Bala-Bala, yang mengusung remaja perempuan Jailolo, adalah karya tanpa embel-embel tata visual apa pun, hanya bertumpu pada tubuh dan bunyi. Terutama Cry for Jailolo, karya yang bertumpu pada kekuatan otot kaki.
Di panggung, kita melihat bagaimana derap kaki para remaja Jailolo yang sederhana, intens, dan penuh stamina dalam penataan Eko bisa menjadi sesuatu yang “masa kini”. Dalam Cry for Jailolo, unsur ensambel (kesolidan dan kesatuan organik) antarpenari begitu menonjol. Itulah yang terasa kurang menggumpal dalam sajian IbuIbu Belu ini. Enam penari itu belum terasa menyatu sebagai sebuah ensambel yang apabila tercerai terasa menguarkan rasa ketercerabutan yang tragis. Apalagi bila karya ini dimaksudkan sebagai sebuah kontemplasi untuk “luka-luka” di perbatasan.
SENO JOKO SUYONO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo