Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Proposal Perdamaian Pemicu Perpecahan

Proposal perdamaian Presiden Amerika Serikat Donald Trump lebih menguntungkan Israel dan merugikan Palestina. Dikecam Uni Eropa dan Liga Arab. 

8 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Proposal perdamaian Donald Trump lebih menguntungkan Israel dan merugikan Palestina.

  • Palestina menolak proposal itu serta memutuskan hubungan dengan Amerika Serikat dan Israel.

  • Protes dan kerusuhan menentang proposal pecah di mana-mana.

PULUHAN orang memenuhi ruangan utama Kedutaan Besar Palestina di Jakarta, Rabu, 5 Februari lalu. Massa dari komunitas Al-Aqsa ini membawa poster berisi dukungan bagi Palestina dan penolakan terhadap “proposal perdamaian” Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang diberi nama “Kesepakatan Abad Ini”. Poster mereka bertulisan “Tolak Kesepakatan Abad Ini” dan “Yerusalem adalah ibu kota Palestina’.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Proposal yang disampaikan Trump kepada publik pada Selasa, 28 Januari lalu, itu dinilai sangat menguntungkan Israel dan merugikan Palestina. “Kesepakatan abad ini Trump hanya proposal pemerintahan apartheid yang melegitimasi proyek penjajahan Israel di Tepi Barat,” kata Wakil Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Taher Hamad, di Jakarta, Rabu, 5 Februari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kerusuhan pun pecah di wilayah Palestina dan Israel. Hingga Kamis, 6 Februari lalu, tiga orang Palestina terbunuh dalam bentrokan dengan tentara Israel di wilayah yang diduduki Israel di Tepi Barat. Dua belas tentara Israel cedera di Yerusalem karena diseruduk mobil Palestina. Seorang polisi dan tentara Israel terluka akibat tembakan di Yerusalem dan Tepi Barat.

Proposal yang disiapkan sejak tiga tahun lalu itu menjauh dari kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah selama ini. Pemerintah Amerika sebelumnya mengusung solusi dua negara sebagai penyelesaian politik paling praktis untuk konflik Israel dan Palestina. Mereka membayangkan sebuah negara Israel bisa berdampingan dengan negara baru Palestina berdasarkan perbatasan sebelum Perang Enam Hari pada 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina.

Perubahan sikap Amerika ini bermula saat Trump menghuni Gedung Putih pada 2017. Setahun setelah berkuasa, Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan Kedutaan Besar Amerika dari Tel Aviv ke Yerusalem pada Mei 2018. Langkah ini membuat pemimpin Palestina memutus hubungan diplomatik dengan Washington.

Perubahan penting lain disampaikan Menteri Luar Negeri Amerika Mike Pompeo pada November 2019. Ia menyatakan tak lagi menyebut permukiman Israel di Tepi Barat ilegal menurut hukum internasional. Pengumuman itu mengirim pesan kepada Israel untuk terus membangun permukiman di wilayah Palestina, yang justru kian menyulitkan perundingan perdamaian di antara keduanya.

Trump menutup misi Palestina di Washington, DC, pada September 2018 dan menghentikan bantuan bagi para pengungsi Palestina sejak Februari 2019. Menurut The Guardian, selama tiga tahun pemerintahannya, kebijakan Timur Tengah Trump secara konsisten pro-Israel dan membuat Palestina tak melihat Amerika sebagai mediator yang netral seperti dalam pemerintahan sebelumnya.

Sikap yang sangat bias kepentingan Israel itu, menurut Al Jazeera, juga ditunjukkan Trump dari komposisi tim penyusun proposal perdamaian tersebut. Tim itu terdiri atas Jared Kushner, menantu Trump dan penasihat politik Timur Tengah; David Friedman, Duta Besar Amerika di Israel; dan Jason Greenblatt, penasihat Timur Tengah.

Salah satunya orang Yahudi Ortodoks yang tidak memiliki pengalaman politik atau diplomatik sebelumnya, tapi memiliki koneksi ke Israel. Friedman dan Kushner, melalui badan amal keluarga, telah bertahun-tahun menyumbang ke permukiman Bet I di Ramallah. Adapun Greenblatt belajar di sebuah yeshiva—sekolah Yahudi yang khusus mempelajari teks agama tradisional—pada 1980-an di dekat Yerusalem.

Jared Kushner dalam acara World Economic Forum 2020, Davos, Swiss, 21 Januari 2020./ REUTERS/Jonathan Ernst

Proposal yang disusun ketiganya itulah yang disampaikan Trump dengan didampingi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Washington, DC, 28 Januari lalu. Tak ada perwakilan Palestina dalam pengumuman itu karena Amerika sama sekali tak mendengarkan masukan negeri tersebut. Negara lain yang menghadirinya adalah Oman, Bahrain, dan Uni Emirat Arab.

Trump menyebut proposal ini sebagai proses yang panjang dan sangat sulit. Ia membanggakan dirinya sebagai Presiden Amerika yang membuat terobosan. “Semua pemerintahan sebelumnya, sejak Presiden Lyndon Johnson, telah mencoba dan gagal total. Tapi saya tidak terpilih untuk melakukan hal-hal kecil atau menghindar dari masalah besar,” ujarnya.

Proposal itu setidaknya memuat empat hal yang selama ini menjadi isu krusial dalam perundingan damai Israel-Palestina: status Kota Yerusalem, hak kembali bagi pengungsi Palestina, perumusan ulang perbatasan Israel dan calon negara Palestina, serta pertahanan calon negara baru.

Israel akan mendapat seluruh Kota Yerusalem, sementara Palestina masa depan memperoleh daerah di sekitar Yerusalem timur jauh. Israel selama ini menyebut Yerusalem sebagai ibu kotanya, meski hanya sedikit negara yang mengakui. Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 478 mengutuk keputusan Israel mencaplok Yerusalem Timur sebagai pelanggaran hukum internasional.

Usul Trump ini tentu saja bertentangan dengan aspirasi Palestina selama ini, yang menginginkan Yerusalem Timur sebagai calon ibu kotanya pada masa mendatang. Untuk calon ibu kota masa depan Palestina, Benjamin Netanyahu mengatakan, Abu Dis, daerah di pinggiran Kota Yerusalem, bisa dipakai.

Proposal itu juga menegaskan sikap Amerika mengenai tidak adanya hak kembali bagi orang Palestina ke daerah yang kini dikuasai Israel. Usul ini secara eksplisit menyatakan tidak akan ada “hak kembali” bagi jutaan warga Palestina yang dipaksa keluar dari rumah leluhur mereka selama perang pembentukan negara Israel pada 1948.

Perang itu membuat 700 ribu warga Palestina keluar dari rumah mereka dan menciptakan krisis pengungsi yang masih belum terselesaikan hingga kini. Warga Palestina menyebut penggusuran massal ini sebagai Nakba (bahasa Arab untuk “malapetaka”) dan warisannya tetap menjadi salah satu masalah yang paling sulit diselesaikan dalam negosiasi perdamaian kedua negara.

Saat ini terdapat lebih dari 7 juta pengungsi Palestina, yang didefinisikan sebagai orang-orang telantar. Tuntutan inti Palestina dalam negosiasi damai adalah keadilan bagi para pengungsi, yaitu dengan memberi mereka hak kembali ke rumah-rumah yang dulu ditinggalkan.

Menurut Vox, Israel tidak dapat menerima tuntutan itu karena khawatir terhadap identitas Yahudi atau demokrasi negaranya. Menambahkan 7 juta orang Arab ke populasi Israel akan membuat orang Yahudi menjadi minoritas. Total populasi Israel kini sekitar 8 juta orang, termasuk 1,5 juta orang Arab.

Proposal Amerika ini juga mengakui daerah yang diduduki para pemukim Yahudi sebagai wilayah Israel. Ini secara efektif memberi Israel lebih banyak tanah di Tepi Barat, yang sekarang dikuasai Palestina. Sebagai imbalan atas berkurangnya sekitar 30 persen wilayah Palestina di Tepi Barat, proposal itu memberikan dua wilayah di Gurun Negev.

Menurut hukum internasional, permukiman-permukiman di wilayah Palestina yang diduduki Israel saat ini ilegal dan tidak dianggap sebagai bagian dari Israel. Menurut Taher Hamad, hingga kini ada setidaknya 136 kantong permukiman Yahudi, yang dihuni sekitar 720 ribu orang, di Tepi Barat.

Proposal itu juga menyerukan bahwa negara Palestina masa depan pada dasarnya tidak akan bisa mengamankan diri sendiri. “Negara Palestina tidak akan memiliki hak membuat perjanjian militer, intelijen, atau keamanan dengan negara atau organisasi apa pun yang mempengaruhi keamanan negara Israel,” demikian isi proposal itu.

Dengan kata lain, negara Palestina tidak akan mampu menciptakan angkatan bersenjata sendiri. Mereka tidak dapat melindungi diri sendiri atau melawan pihak lain, termasuk calon negara tetangganya: Israel.

Untuk mendapatkan “kemerdekaan”, menurut dokumen itu, ada serangkaian syarat yang harus dipenuhi Palestina. Salah satunya menyingkirkan Hamas, kelompok bersenjata yang selama ini menguasai Jalur Gaza.

Donald Trump memasukkan komponen ekonomi dalam rencana perdamaian ini. Amerika menyebutnya sebagai “visi untuk memberdayakan rakyat Palestina”. Amerika menjanjikan investasi lebih dari US$ 50 miliar dan 1 juta pekerjaan baru dalam sepuluh tahun.

Para pengkritik menyebut proposal ini seperti “brosur real estate” dan sulit dijalankan. Seperti ditulis Vox, “Sulit membayangkan siapa pun akan berinvestasi miliaran dolar dalam proyek infrastruktur dan transportasi besar untuk Palestina di Tepi Barat dan Gaza, sementara pemerintah Israel terus mencaplok lebih banyak wilayahnya dan secara teratur mengebomnya.”

Uni Eropa mengkritik proposal ini karena mengancam perdamaian di Timur Tengah dan menyatakan keprihatinannya lantaran membuat Israel mencaplok lebih banyak tanah Palestina. Meski menuju pembentukan negara Palestina, rencana itu jauh dari permintaan minimum.

Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Josep Borrell, menggarisbawahi komitmennya terhadap solusi dua negara yang berbasis pada perbatasan sebelum perang 1967. “Untuk membangun perdamaian yang adil dan abadi, masalah status final yang belum terselesaikan harus diputuskan melalui negosiasi langsung kedua pihak,” tuturnya. Negosiasi mencakup soal perbatasan, status Yerusalem, masalah keamanan, dan hak kembali untuk pengungsi.

Menteri-menteri luar negeri Liga Arab juga menyatakan proposal Trump ini tidak memenuhi aspirasi minimum Palestina. Meski menjadi sekutu Amerika, mereka menegaskan soal hak Palestina menciptakan negara berdasarkan perbatasan wilayah sebelum direbut Israel melalui perang 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

Presiden Palestina Mahmud Abbas menunjukkan penolakannya dengan memutus semua hubungan dengan Amerika dan Israel, termasuk kerja sama keamanan, pada Sabtu, 1 Februari lalu. “Kami telah memberi tahu pihak Israel bahwa tidak akan ada hubungan sama sekali dengan mereka dan Amerika Serikat, termasuk hubungan keamanan,” ucapnya.

Guy Ziv, pakar Israel di American University, Washington, DC, ragu akan niat baik Amerika menciptakan perdamaian di Timur Tengah melalui proposal ini. “Jika rencana ini benar-benar ditujukan untuk memecah kebuntuan diplomatik, Palestina akan dimintai konsultasi dalam perumusan rencana itu,” katanya. Adapun Hanan Ashrawi, anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), kepada radio NPR, Rabu, 29 Januari lalu, menyebut usul Trump itu sebagai “resep untuk kelanjutan pendudukan dan konflik”.

Mahmud Abbas menyatakan menolak mendiskusikan proposal perdamaian itu dengan Trump melalui telepon. Ia juga tak mau menerima kiriman salinan proposal untuk dipelajari. Pemimpin PLO ini tidak ingin Trump mengatakan dia telah diajak berkonsultasi. “Saya tidak ingin dicatat dalam sejarah bahwa saya menjual Yerusalem,” ujarnya.

Abdul Manan (Al Jazeera, The Guardian, Reuters, Vox, Times of Israel)

Silang Sengketa Israel-Palestina

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus