Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serial Messiah yang dirilis Netflix awal tahun ini memancing kontroversi bahkan sejak trailer-nya diluncurkan ke publik. Umat beragama yang mempercayai kedatangan juru selamat di akhir zaman beranggapan serial ini menodai ajaran suci tiap agama. Namun fokus utama cerita sesungguhnya ada pada skenario bagaimana jika juru selamat yang diyakini itu turun pada era ketika viralitas media sosial dan berita palsu sedang deras-derasnya. Apakah umat manusia dapat langsung percaya?
***
DI hadapan memorial Abraham Lincoln yang duduk menjulang, lokasi yang sama dengan titik Martin Luther King Jr. menyampaikan pidato bersejarahnya tentang umat manusia diciptakan setara, seorang pria berambut gondrong dan berjanggut tipis melangkah ke arah kolam yang memantulkan Washington Monument. Dia tak berhenti di tepi kolam luas itu, tapi terus melangkah di atas permukaan air dengan mantap, hampir tak menimbulkan riak. Ratusan, jika bukan ribuan, warga Amerika Serikat yang mengikutinya mengabadikan momen itu dengan telepon seluler layar sentuh mereka dan segera menyebarkannya ke media sosial. Sepotong adegan dalam serial Messiah ini berisi unsur dasar plot cerita: kehadiran juru selamat dengan segala mukjizatnya dan latar waktu masa kini ketika kamera ponsel begitu kilat memviralkan sesuatu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ide utama Michael Petroni (The Book Thief), penggagas serial yang ditayangkan Netflix mulai 1 Januari lalu ini, berkutat pada pertanyaan “bagaimana jika?”. Bagaimana jika kedatangan sang juru selamat yang diyakini banyak agama di seluruh dunia akhirnya terjadi? Bagaimana jika kedatangan itu berlangsung di tengah era yang mengedepankan logika dan bukti nyata karena fabrikasi berita palsu melimpah di mana-mana? Bagaimana jika umat beragama yang mengimani dengan teguh kedatangan juru selamat pada akhir zaman melihat sendiri peristiwa itu di depan mata? Dalam wawancara dengan AFP, Petroni mengungkapkan bahwa tujuannya adalah memprovokasi penonton untuk menanyakan kepada diri sendiri pertanyaan-pertanyaan itu. Namun tentu saja tema yang bersentuhan langsung dengan ajaran inti agama-agama besar dunia itu tak begitu mudah diterima.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak pertama kali trailer Messiah dirilis pada awal Desember 2019, suara protes sudah terdengar di mana-mana. Seorang warga Amerika membuat petisi di situs Change.org untuk memboikot Netflix jika serial kontroversial itu ditayangkan. Sekitar 5.000 orang membubuhkan tanda tangan dalam petisi yang mendeskripsikan Messiah sebagai “jari tengah terhadap agama” dan “propaganda anti-Islam”. Komentar dalam petisi itu datang dari beragam penganut agama. Seseorang yang menyatakan dirinya penganut Kristen berkomentar, “Mereka tak akan melakukan hal ini kepada agama lain, mengapa melakukannya kepada kristiani?” Penanda tangan yang menyatakan dirinya seorang muslim menulis, “Cerita ini adalah ancaman atas keyakinanku dan menghina muslim di seluruh dunia, terutama Suriah dan Palestina.” Sementara itu, trailer yang ditayangkan di YouTube dan ditonton 3,8 juta kali menuai 51 ribu jempol ke bawah, lebih banyak daripada pemencet tombol “like” yang hanya 39 ribu pengguna. Komentar paling top di bawah tayangan dua menit itu berasal dari pengguna yang mengajak semua muslim berdoa agar dilindungi Allah dari iblis seperti yang ada dalam serial tersebut.
Jhon Ortiz dalam Messiah./netflix
Lembaga resmi turut gelisah terhadap ditayangkannya cuplikan Messiah. Dua hari sebelum debut Messiah, Royal Film Commission of Jordan meminta Netflix tak menayangkan serial itu di Yordania, yang mayoritas berpenduduk muslim. Dalam rilis di situs resmi mereka pada 30 Desember 2019, Direktur Utama Mohannad al-Bakri mengatakan paham bahwa cerita dan karakter dalam Messiah murni fiksi, tapi dia meyakini Messiah dapat mengundang interpretasi yang menodai kesucian agama dan bertentangan dengan hukum negara. Selain itu, meski menyatakan diri menjunjung tinggi kebebasan kreatif, komisi ini berniat meninjau ulang kebijakan mereka dalam perizinan pengambilan gambar di wilayah Yordania. Sebelumnya, sebagian proses syuting Messiah dilakukan di sana. “Kami akan memastikan konten dari setiap film yang diproduksi di sini tidak melanggar hukum negara,” demikian pernyataan Al-Bakri.
Alasan utama di balik kontroversi trailer itu adalah penamaan Al-Masih untuk karakter utama. Dapat dipahami bahwa nama Al-Masih yang digunakan dalam kisah ini adalah interpretasi dari judul Messiah itu sendiri. Al-Masih juga gelar untuk Isa, yang diyakini akan datang kembali ke dunia. Namun sejumlah orang yang berkeberatan terhadap serial ini berpandangan bahwa nama Al-Masih merujuk pada sosok yang sama sekali berbeda, yaitu Al-Masih ad-Dajjal atau juru selamat palsu. Istilah itu menyinggung dua pihak sekaligus karena anggapan bahwa serial ini anti-Kristus atau akan menampilkan kehadiran Dajjal, iblis akhir zaman dalam keyakinan Islam. Netflix membantah anggapan bahwa nama lengkap tokoh utama Messiah adalah Al-Masih ad-Dajjal. Tak ada kata “dajjal” terdengar dan, dalam beberapa adegan, karakter utama cukup dipanggil dengan sebutan Mr. Masih.
Mehdi Dehbi dalam Messiah./ netflix
Terdiri atas sepuluh episode, musim pertama Messiah sebenarnya tak sekali pun menyediakan jawaban apakah tokoh utama dalam serial itu, yang diperankan aktor Belgia, Mehdi Dehbi, benar seorang juru selamat. Yang utama disoroti adalah bagaimana reaksi macam-macam kelompok di zaman modern ini tatkala mendengar berita Second Coming itu. Duduk di kursi produser eksekutif adalah pasangan suami-istri Roma Dewney dan Mark Burnett, yang dikenal lewat proyek-proyek bertema Kristen, seperti The Bible dan Touched by an Angel. Namun cerita Messiah justru dimulai dari perspektif muslim.
Episode pertama yang berjudul He That Hath an Ear berawal di Damaskus yang sedang dikepung pasukan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Seorang pria berjubah kuning berceramah di depan kerumunan bahwa mereka tak perlu takut kepada serangan ISIS karena Tuhan akan mengalahkan musuh-musuh mereka. Tepat saat itu, badai pasir menghajar barikade pasukan ISIS di lingkar luar kota. Damaskus pun aman dari serbuan. Pria itu segera diterima penduduk Suriah sebagai Al-Masih sang juru selamat dan dengan cepat mendapatkan ribuan pengikut muslim. Salah satunya remaja Jibril Medina (Sayyid El Alami).
Farès Landoulsi dalam Messiah./ netflix
Di belahan lain dunia, seorang agen badan intelijen Amerika (CIA), Eva Geller (Michelle Monaghan), tak sedikit pun percaya bahwa dia yang dijanjikan telah datang kembali. Tindak-tanduk Al-Masih yang memimpin kelompok Palestina-Suriah menuju perbatasan Israel malah membuat Geller mencium adanya pola terorisme baru yang memanfaatkan keputusasaan penganut agama akan hadirnya juru selamat. CIA mengawasi lekat setiap gerakan Al-Masih agar tak berujung pada ancaman keamanan global. Kendati mengesankan kisah ini berskala dunia, sesungguhnya hanya kepentingan Amerika yang menjadi porsi utama. Cukup di bagian awal Al-Masih menghabiskan waktu di Timur Tengah. Mulai episode tiga sampai akhir, dia secara ajaib sudah berada di Texas dan membuat gonjang-ganjing Amerika Serikat.
Di Texas, Al-Masih mulai bersinggungan dengan umat Kristen. Di tengah kepungan puting beliung, dia menyelamatkan Rebecca Iguero (Stefania LaVie Owen), putri Pastor Felix (John Ortiz), pemimpin gereja Baptist. Aksi itu terekam kamera dan segera viral. Felix langsung menjadi pendukung setia dan pembela utama Al-Masih saat kehadirannya makin menarik perhatian publik Amerika.
Bagian paling menarik dari serial ini adalah ketika kita diusik untuk mempertanyakan apa yang akan membuat kita percaya bahwa benar juru selamat telah datang ke dunia. Sosok Al-Masih dibuat begitu ambigu sehingga selalu ada celah buat penonton, yang diwakili oleh karakter-karakter dalam cerita, untuk mengadu keyakinan. Penampilan Mehdi Dehbi sebagai Al-Masih makin memperkuat ambiguitas itu meski hanya lewat pergerakan otot wajah yang minim dan ekspresi terbatas.
Michelle Monaghan dalam Messiah./netflix
Al-Masih diperlihatkan memiliki sejumlah mukjizat. Dia dapat menghilang begitu saja dari sel tahanan. Tapi benarkah itu karena kemampuannya berpindah tempat ataukah dia mendapat bantuan rahasia dari seseorang karena kejadiannya tepat saat kamera pengawas padam? Lain waktu, dia menyembuhkan seorang anak kecil yang tertembak dengan mengeluarkan peluru dari tubuh anak itu. Tapi kemudian si anak menghilang dari cerita sehingga kita tak diberi kesempatan untuk memverifikasi kebenaran peristiwa itu. Bahkan, saat melihat Al-Masih berjalan di atas air, apakah kita dapat langsung percaya kepadanya? Atau otak kita justru secara otomatis akan mencari penjelasan masuk akal di balik segalanya? Mungkinkah Al-Masih hanya seorang pesulap yang selalu punya cara untuk mempertontonkan triknya? Serial ini memperlihatkan bahwa sejumlah orang tak butuh bukti apa-apa untuk mengimani Al-Masih, sebagian lainnya harus melihat mukjizat tak tersanggah baru mau percaya. Ada pula yang sama sekali menolak dan menganggap Al-Masih tak lebih dari aktor penipu.
Kreator Michael Petroni, dalam wawancara dengan AFP, mengatakan ia memang berharap ada banyak keributan mengenai serial ini yang berujung pada debat produktif. Saat mengajukan idenya kepada Netflix pada 2017, Petroni mengaku cemas, tapi dia meyakinkan bahwa ia, “Tak bermaksud menyinggung kelompok mana pun,” ucap Petroni, yang membangun replika khusus Dome of the Rock di Temple Mountain untuk keperluan pengambilan gambar. Karena itu, dia membiarkan ada banyak hal tak terjawab dalam ceritanya buat memberikan kesempatan kepada penonton untuk membangun interpretasi masing-masing.
Michael Petroni./imdb
Meski hendak memantik diskusi tentang kedatangan Messiah, ada banyak unsur dalam narasi Petroni yang masih mengekor pada stereotipe klise tentang Amerika dan Timur Tengah. Lihat bagaimana karakter Eva Geller sebagai agen CIA ditampilkan sebagai pekerja keras, mengutamakan moral, dan terus berbicara tentang kepentingan menyelamatkan dunia dari terorisme. Begitu juga kemunculan Presiden Amerika Serikat yang merasa menjadi juru selamat dunia dengan menempatkan pasukan bersenjata di mana-mana. Atau karakter agen rahasia Israel, Aviram Dahan (Tomer Sisley), yang tetap digambarkan penuh simpati bahkan setelah menyiksa seorang remaja Palestina dalam proses interogasinya.
Messiah
Serial ini juga terlalu banyak menghadirkan karakter sampingan dengan konflik masing-masing yang membuat plot utama tentang Al-Masih melebar ke mana-mana. Hampir tak ada karakter sampingan itu yang meninggalkan kesan mendalam. Ada juga ambisi untuk memasukkan diskusi tentang topik kontroversial dalam agama, seperti aborsi dan pelacuran, tapi tak menambah apa pun ke dalam cerita. Messiah dapat menjadi tontonan yang lebih memikat bila dikemas dalam film berdurasi dua jam saja.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo