Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Krisis politik Timor Leste berawal dari kemenangan tipis partai Fretilin dalam pemilihan umum 2017.
Xanana Gusmão dan CNRT berambisi mewujudkan megaproyek Tasi Mane.
Fretilin memandang investasi Tasi Mane terlalu besar dan belum tentu menguntungkan.
ISTANA Kepresidenan Nicolau Lobato tampak tenang pada Jumat, 28 Februari lalu. Tak ada unjuk rasa di depan istana yang berada di Aitarak Laran, Dili, Timor Leste, itu seperti hari-hari sebelumnya. Ini terjadi setelah Perdana Menteri Taur Matan Ruak mengajukan surat pengunduran diri kepada Presiden Francisco Guterres, yang akrab disapa Lu Olo, pada Selasa, 25 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruak menyatakan akan terus menjalankan tugasnya seperti biasa sampai presiden menyetujui permintaan pengunduran dirinya. “Tetap bekerja. Siap! Kita juga tidak bisa meninggalkan negara kita tanpa arah seperti mobil tanpa sopir,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruak mundur setelah Parlemen Nasional menolak rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara 2020 yang diajukannya pada Desember tahun lalu. Menurut La’o Hamutuk, organisasi independen nonpemerintah Timor Leste yang memantau pembangunan negeri itu, 88 persen anggaran yang sebesar US$ 1.668 juta itu diambil dari Dana Perminyakan.
Dalam laporan yang diajukan ke Komisi Keuangan Parlemen Nasional, La’o Hamutuk mengingatkan pemerintah agar menggunakan Dana Perminyakan secara hati-hati dan ditujukan untuk sektor-sektor produktif yang akan menyokong rakyat pada masa depan. “Kementerian Keuangan telah mengatakan bahwa, jika tren anggaran 2020 ini dilanjutkan, Dana Perminyakan akan kosong dalam delapan tahun,” demikian pernyataan lembaga tersebut.
Ruak memimpin Aliansi Mayoritas Perubahan untuk Kemajuan (AMP)—koalisi partainya, Partai Pembebasan Populer (PLP); Kongres Nasional untuk Rekonstruksi Timor (CNRT) pimpinan Kay Rala Xanana Gusmão; dan Pemberdaya Persatuan Nasional Anak-anak Timor (KHUNTO), partai pemuda yang berafiliasi dengan kelompok-kelompok seni bela diri, khususnya Anak-anak Bijak Negeri (KORK). Namun koalisi ini bubar ketika rancangan anggaran negara diblokir oleh oposisi dan partai pemerintah, Front Revolusioner untuk Timor Timur Merdeka (Fretilin) pimpinan Mari Alkatiri.
Pangkal kekisruhan politik ini adalah hasil pemilihan umum legislatif pada Juli 2017 yang dimenangi Fretilin tapi tidak mutlak. Fretilin mendapat 23 kursi, CNRT 22, PLP 8, Partai Demokratik 7, dan KHUNTO 5. Fretilin dan CNRT adalah dua partai terbesar di negeri itu dan berakar dari kelompok gerilyawan pada masa perang Timor Leste untuk melepaskan diri dari Indonesia. Keduanya terus bersaing dalam perpolitikan negeri itu.
Fretilin lantas menggandeng Partai Demokratik untuk membentuk pemerintahan mayoritas sederhana dengan perdana menteri Mari Alkatiri. Adapun pemilihan presiden pada Mei tahun tersebut dimenangi Lu Olo dari Fretilin.
Tapi pemerintahan Alkatiri ini hanya bertahan sekitar delapan bulan. Perpolitikan mulai macet ketika legislator CNRT di parlemen menolak rancangan anggaran pemerintah. CNRT lantas menjalin koalisi AMP bersama PLP dan KHUNTO untuk membentuk pemerintahan baru. Namun Lu Olo memutuskan menggelar pemilihan umum.
Dalam pemilihan umum pada Mei 2018, AMP mendapat 34 kursi parlemen, Fretilin 23, dan Partai Demokratik 5. Adapun Forum Pembangunan Demokratik (FDD)—koalisi partai Frenti-Mudanca pimpinan Jose Luis Guterres, Uni Demokratik Timor (UDT), dan Partai Bersatu untuk Pembangunan dan Demokrasi(PUDD)—mengumpulkan tiga kursi.
Pendukung CNRT di kota Dili, Timor Leste, Juli 2017./ REUTERS/Lirio Da Fonseca
AMP kemudian membentuk pemerintahan baru dengan Taur Matan Ruak sebagai perdana menteri. Ketika kabinet baru hendak disahkan pada 22 Juni 2018, Presiden Lu Olo menolak melantik tujuh calon menteri dari CNRT dan dua dari KUNTHO karena mereka diduga terlibat korupsi. Dia mengutip laporan penyelidikan yudisial atas perilaku buruk atau “moral yang buruk” para calon.
Menurut seorang calon menteri dari CNRT, Lu Olo hanya mempolitisasi keadaan untuk menghambat pemerintahan yang dipimpin Ruak. “Setelah kami ditolak, Presiden CNRT langsung meminta kepada kejaksaan tinggi dan pengadilan tinggi untuk mengecek nama kami, apakah ada kasus korupsi atau tidak. Kedua institusi itu menjawab bahwa kami tidak ada kasus korupsi,” ucapnya kepada Tempo di Dili.
Xanana mengutip asas praduga tak bersalah dalam hukum. “Pasal 34 ayat 1 Konstitusi menyatakan setiap terdakwa tidak bersalah sampai penghakiman terakhir. Sistem kita ini pembagian kekuasaan. Presiden tidak boleh mencampuri kekuasaan orang lain,” ujar Xanana dalam acara Grande Intervista di sebuah stasiun televisi swasta pada 7 Februari lalu.
Penolakan presiden dari Fretilin ini memicu pertikaian politik berkepanjangan. Pemerintahan Ruak kemudian dijalankan para menteri dari partai-partai kecil anggota AMP, yakni PLP dan KHUNTO. CNRT sebagai partai terbesar dalam koalisi praktis tersingkir.
Sejak itu, para anggota parlemen dari CNRT membalas sikap Lu Olo dengan memblokir acara kunjungan kenegaraan Lu Olo. Fretilin membalasnya dengan menolak mengesahkan batas laut antara Timor Leste dan Australia serta menolak usul anggaran negara untuk pembangunan megaproyek Tasi Mane. Proyek ini berupa pembangunan jalan utama, bandar udara regional, dan pelabuhan laut di sekitar pabrik pemrosesan gas alam cair (LNG) di Beaco untuk pipa gas dari ladang minyak dan gas Greater Sunrise di Laut Timor. Tujuannya adalah memperoleh pendapatan dari ekspor LNG dan mengurangi pengangguran massal.
Xanana sangat berambisi terhadap megaproyek Tasi Mane. Ini bagian dari Rencana Pembangunan Strategis yang dia canangkan pada 2011. Pada 2018, dia memimpin delegasi perundingan dengan ConocoPhillips—perusahaan energi Amerika Serikat pengelola Greater Sunrise—dan perjanjian perbatasan dengan Australia.
Ladang Greater Sunrise, yang diperkirakan memiliki cadangan minyak dan gas senilai US$ 50 miliar, tepat berada di perbatasan Australia dan Timor Leste. ConocoPhillips sebenarnya berencana membangun pipa gas ke Darwin, kota terdekat di Australia. “Mereka mengatakan bahwa, jika ingin membangun pipa ke Timor Leste, silakan membeli saham kami. Maka kami membeli saham (ConocoPhillips). Jadi tak ada lagi diskusi soal ke mana pipa gas akan dibangun,” tutur Xanana seperti dikutip The Interpreter. Timor Leste akhirnya membeli 30 persen saham ConocoPhillips senilai US$ 384 juta. Langkah ini diikuti kesepakatan dengan Australia untuk mengubah garis perbatasan kedua negara di Laut Timor.
Dalam sebuah debat di televisi pada akhir 2019, Ketua Fraksi Fretilin di Parlemen Nasional, Aniceto Guterres, menilai proyek Tasi Mane sebagai mimpi besar dan ambisius, tapi belum ada kepastian akan membawa keuntungan kepada Timor Leste. Mayoritas investasi pemerintah kini ke Greater Sunrise, “Tapi kita belum tahu persis kapan ia mulai dieksplorasi dan berapa anggaran yang diperlukan untuk investasi ini. Kita juga belum tahu persis dana untuk membangun jaringan pipa ke Beaco,” katanya.
Aniceto mengutip sebuah studi dari Monash University pada 2017 tentang proyek Tasi Mane yang diperkirakan membutuhkan investasi US$ 11 miliar dan mendapat keuntungan US$ 92 miliar tapi hanya membuka 13 ribu lapangan kerja baru. Proyek itu kalah menguntungkan dibanding perkebunan kopi dengan nilai US$ 150 juta dan keuntungan US$ 7 miliar tapi bisa menghasilkan 77 ribu lapangan kerja baru.
Pada April 2019, China Civil Engineering Construction Corporation, perusahaan konstruksi Cina, memenangi proyek pembangunan pelabuhan di Beaco senilai US$ 943 juta. “Kami akan membangun pelabuhan di Beaco berdasarkan kontrak yang ditandatangani dengan raksasa minyak Timor Gap,” begitu pernyataan perusahaan tersebut. Timor Gap adalah perusahaan minyak milik negara Timor Leste.
Tanpa kucuran dana besar, proyek Tasi Mane tak mungkin terwujud. Politikus CNRT, terutama Xanana Gusmão, selalu menyatakan bahwa proyek ini akan membawa prospek yang baik kepada semua warga negara Timor Leste. Karena itu, Xanana selalu optimistis bahwa cepat atau lambat pipa gas Greater Sunrise akan ditarik ke Timor Leste.
RAIMUNDOS OKI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo