Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN jitu Roubini menunjuk meletusnya gelembung pasar properti Amerika sebagai biang kerok jauh hari sebelum krisis terjadi. Tahun lalu, Roubini kembali menyampaikan prediksi yang bisa membikin gemetar investor bernyali tipis.
Dalam tulisannya di Financial Times, September 2018, Roubini menilai ekonomi Amerika Serikat akan segera terbelit krisis, pertumbuhannya merosot. Ekonomi yang kian lesu bakal menyulitkan Presiden Donald Trump saat menghadapi pemilihan presiden pada 2020. Jalan keluarnya, Trump harus menggunakan isu luar negeri dan memicu konflik dengan berbagai negara untuk mendapatkan dukungan rakyat Amerika.
Setelah meletuskan perang dagang dengan Cina, Roubini menduga, Trump akan memilih Iran sebagai target konfrontasi berikutnya. Dengan Iran, urusan Amerika tentu bukan lagi perang ekonomi, melainkan sudah menyangkut konflik militer. Serangan terhadap beberapa kapal tanker di Teluk Oman sejak 6 Mei lalu seolah-olah menjadi sinyal bahwa prediksi mutakhir Dr Doom ini bakal terwujud pula. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo sudah menuding Iran sebagai dalang serangan. Iran tegas membantah tuduhan itu.
Harga minyak di pasar internasional langsung naik lantaran serangan itu, meski belum berkelanjutan. Namun ketegangan yang terus meningkat sudah pasti akan meningkatkan ongkos angkut dan premi asuransi. Harga minyak yang terdorong ke atas tentu merupakan kabar buruk bagi Indonesia, yang masih terbebani defisit neraca transaksi berjalan karena impor minyak yang sangat besar, berkisar 1 juta barel per hari. Makin tinggi harga minyak, makin berat beban defisit bagi negeri ini.
Sejauh ini, neraca pembayaran Indonesia masih tertolong aliran dana investasi portofolio yang masih stabil bertahan. Sejak awal 2019, misalnya, dana asing yang parkir di surat berharga terbitan pemerintah RI masih stabil, ada penambahan Rp 57 triliun. Investor asing pun membawa Rp 54,8 triliun ke pasar saham selama periode yang sama.
Ramalan lain Roubini tentang mulai lesunya ekonomi untuk sementara juga membawa sentimen positif bagi rupiah. Data terakhir menunjukkan, ekonomi Amerika Serikat memang sudah mulai lemas. Penambahan serapan tenaga kerja melamban. Dampak perang dagang dengan Cina sepertinya justru akan memukul balik ekonomi Amerika. Gaya Trump yang begitu agresif memainkan tarif bea masuk sebagai alat penekan mitra-mitra dagang utama Negeri Abang Sam memang efektif. Ibaratnya, itu senjata nuklir yang ampuh. Namun dampaknya tak terkendali dan akhirnya juga menghantam balik ekonomi Amerika sendiri.
Kini pasar sudah mulai yakin The Federal Reserve akan membalik arah pergerakan suku bunga. Alih-alih sekadar menahan bunga sebagaimana arah kebijakannya selama ini, The Fed harus menurunkan bunga rujukannya agar ekonomi tidak makin terbenam resesi. Tak cuma sekali, ekonom Deutsche Bank menduga penurunan itu bahkan bisa tiga kali hingga akhir tahun ini.
Bunga The Fed yang makin rendah merupakan insentif bagus bagi ekonomi. Tak hanya positif bagi ekonomi Amerika, kecilnya tingkat bunga akan membawa limpahan dana mengalir ke pasar negara berkembang. Indonesia pun sudah pasti turut menerima cipratan rezeki itu. Nilai rupiah selama sepekan terakhir sudah mencerminkan tren itu, pelan-pelan menguat menjadi sekitar 14.325 per dolar Amerika Serikat, Jumat, 14 Juni lalu. Ini jauh lebih baik daripada kurs pertengahan Mei yang sempat menyundul Rp 14.525.
Persoalannya, eskalasi ketegangan di Timur Tengah dengan mudah dapat membalik tren positif ini. Jika aliran minyak dari Selat Hormuz mampet, yang volumenya sekitar 16,8 juta barel per hari, sehingga harga minyak melejit karenanya, Indonesia bisa berlepotan terkena getahnya.
Sinyal Pasar/Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo