Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ISA Demlakhi tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Bocah 14 tahun itu tampak murung sepanjang pemakaman ibunya. Ia begitu terpukul karena sebelumnya sang ayah juga meninggal akibat konflik dan perang di Suriah. Dari permakaman, seorang pemuda, Hisham, mengantarkan Isa ke panti asuhan di Sanliurfa, kota di tenggara Turki. Dalam perjalanan, sesekali Hisham mencoba menghibur Isa. ”Kematian itu wajar bagi orang Suriah,” kata Hisham.
Di panti asuhan itu, Isa bergabung dengan sejumlah anak yang juga menjadi korban perang di Suriah. Ia kemudian berteman dengan Ahmad Husrom, 11 tahun, dan Motaz Faez Basha, 10 tahun. Meski kepribadian dan temperamen mereka berbeda, ketiganya memiliki tujuan yang sama, yakni keluar dari panti asuhan dan memulai hidup baru di tempat lain. Mereka pun kerap membolos sekolah dan memilih berjualan tisu agar mendapatkan uang sebagai bekal memulai hidup baru.
Cerita tentang ketiga anak Suriah itu menjadi narasi utama dalam film Never -Leave Me yang diputar di Djakarta Theater XXI, Rabu dua pekan lalu. Film yang dirilis pada 2017 tersebut merupakan pembuka Madani Film Festival, yang berlangsung pada 17-21 Oktober 2018. Berdurasi 96 menit, Never Leave Me menyuguhkan alur cerita yang diambil dari pengalaman getir Isa, Ahmad, dan Motaz setelah mereka kehilangan orang tua masing-masing akibat konflik dan perang di Suriah. ”Film ini berdasarkan kisah nyata mereka,” ujar sutradara film itu, Aida Begic.
Isa, Ahmad, dan Motaz berperan sebagai diri mereka sendiri sekaligus tokoh utama dalam film itu. Aida berhasil mengarahkan ketiganya untuk menampilkan berbagai adegan yang menyentuh. Misalnya ketika Ahmad sempat menghilang dari panti asuhan. Begitu kembali ke panti, Ahmad mengaku pergi bertemu dengan ayahnya. Padahal ayahnya menghilang akibat perang di Suriah. Adegan itu menggambarkan harapan Ahmad yang tak pernah padam untuk menemukan ayah yang telah lama tak dijumpainya.
Never Leave Me -IMDB
Ada juga adegan Motaz yang berambisi mengikuti ajang pencarian bakat menyanyi untuk anak-anak di Adana, kota di tenggara Turki. Motaz menganggap keikutsertaannya dalam pencarian bakat merupakan cara yang paling ampuh agar sang ibu, yang menikah lagi dan meninggalkan Motaz di panti asuhan, menjemputnya dari panti.
Adegan itu menjadi sangat emosional ketika Motaz tak kuasa menahan tangis saat tampil di panggung. Secara keseluruhan, boleh dibilang Never Leave Me berhasil membawakan tragedi kemanusiaan akibat perang. Karena itu, wajar jika film berbahasa Arab dan Turki tersebut mendapat sejumlah apresiasi, antara lain Nominee Audience Award dalam Edinburg International Film Festival 2018 dan nominasi Best Foreign Language Film pada Academy Awards ke-91 tahun depan.
Selain menayangkan Never Leave Me, Madani Film Festival menampilkan sejumlah film lain yang mengangkat tema kehidupan masyarakat muslim. Film produksi luar negeri yang diputar antara lain My Sweet Pepper Land (Prancis, Jerman, dan Irak/2013), Fatima (Prancis dan Kanada/2015), Giraffada (Palestina, Italia, Jerman, dan Prancis/2013), serta Timbuktu (Prancis dan Mauritania/2014).
Melalui film-film itu, Madani Film Festival berupaya menghadirkan Islam yang ada di berbagai belahan dunia. Wujud Islam itu tergambar lewat harapan, ketakutan, dan aspirasi masyarakat muslim di sejumlah negara. ”Festival ini digelar untuk merayakan keberagaman kehidupan muslim di seluruh dunia,” ucap Putut Widjanarko, salah seorang anggota dewan festival itu.
PRIHANDOKO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo