Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Hibriditas

Bahasa Indonesia tak punya pangkal yang jelas, tak punya asal-usul yang pasti—dan saya bersyukur karena itu.

26 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa Indonesia tak punya pangkal yang jelas, tak punya asal-usul yang pasti—dan saya bersyukur karena itu. Kita mungkin tak perlu, dan tak akan pernah, tahu kapan bahasa itu lahir. Mungkin ia dilahirkan berkali-kali. Yang pasti bukan 28 Oktober 1928.

Ada sepotong pantun:

Dunia ini pang mantaganta

Ibarat Noraka pakkasiatta

Hidup tersiksa ri tomo butta

Terombang-ambing ri jene matta

 

Dunia tempat kita ada

Serasa ibarat neraka

Hidup yang di dunia ini tersiksa

Terombang-ambing berair mata

 

Bait murung itu separuhnya dalam bahasa Makassar, ditulis mungkin pada 1920-an, oleh Ang Ban Tjiong, penyair yang meninggal pada usia muda di tahun 1938. Ia dikenal sebagai penulis pantun “Melayu-Makassar”. Karyanya dimasukkan ke kategori “budaya Tionghoa”, tapi kita tahu, kategori tak pernah -memadai. Bahasa yang dipakai Ang Ban Tjiong menunjukkan ciri utama apa yang kemudian diberi nama “bahasa Indonesia”: hibriditas.

Ketika masih bernama bahasa “Melayu”, ia tak berasal di sebuah negeri. Dalam sebuah buku yang terbit pada abad ke-17, orang Jerman yang bekerja untuk VOC dan menjelajah ke pelbagai bagian Asia Timur, Johan Nieuhoff, menulis bahwa ia menemukan sebuah bahasa di Malaka; bahasa itu “tersusun dari kata yang terbaik dan terpilih dari banyak bahasa”.

Tentu saja ia salah. Yang membentuk bahasa itu bukan “kata yang terbaik dan terpilih” dari bahasa-bahasa lain. Tak ada ukuran yang jelas dan konsisten untuk menentukan “yang terbaik”. Bahasa terbentuk tanpa kriteria; ia tumbuh melalui ujaran yang paling efektif. Tapi Nieuhoff juga benar. Ia telah melihat: yang kemudian disebut “bahasa Indonesia“ terbangun dari banyak penjuru. Sampai hari ini.

Bahasa Melayu itu kukuh dan juga lemah, tulis Henk Meier, ilmuwan Belanda yang menelaah sastra dan bahasa di dua sisi Nusantara sejak Sejarah Melayu sampai dengan Pramoedya Ananta Toer. Bahasa itu “kukuh dalam kesanggupannya menarik minat yang aktif dari mereka yang juga menggunakan ‘bahasa’ lain”. Tapi juga “lemah”. Saya kutip Meier dari “Stammer and the creaking door” dalam Clearing a Space yang disusun Keith Foulcher dan Tony Day: bahasa ini lemah karena ia “kurang memiliki titik berat yang dapat menjadi satu standar dan satu kanun”.

Dengan kata lain, dalam sejarah sosial-politik bahasa ini, kita tak menemukan pusat yang bisa memberinya satu acuan. Tak ada sebuah istana, misalnya, di mana berlaku ketentuan cara bertutur yang memperlihatkan tinggi-rendahnya kelas seseorang, di mana “bahasa menunjukkan bangsa”. Tak ada lapisan pakar, akademikus, dan pujangga yang memberi tata dan arah, meskipun pernah dicoba ditegakkan.

Dalam bahasa Indonesia, Revolusi 1945 telah mengguncang tata dan arah—menghantam hierarki. Di Malaysia, misalnya, seorang menteri di depan Sultan akan menyebut diri “patik”—bahasa merendah tanda beradab—sedangkan dalam bahasa Indonesia dengan tanpa terkejut kita temukan Chairil Anwar menulis, pasca-Agustus 1945:

 

Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji

Aku sudah cukup lama dengar bicaramu,

dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu

 

Chairil bukan orang pertama yang memanggil sang pemimpin “bung”. Kata ini menandai getar kemerdekaan: revolusi adalah événement ketika subyek lahir bak sebuah letupan. Sebuah dunia yang egaliter pun terbangun. “Aku”, “kau”, “bung”….

Kata “bung” berkembang dari broer, bahasa Belanda untuk “saudara”, yang jadi sengau sebagaimana diucapkan dalam dialek Ambon di Jakarta. Ia diadopsi dalam kebebasan ketika sebuah identitas tak mau menutup diri: sebuah proses hibrida.

Chairil Anwar menegaskan ini. Dalam sajak “Buat Gadis Rasid”, misalnya:

 

Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati

Terbang

mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat

– the only possible non-stop flight

 

Ketika sang penyair tak canggung menyelipkan kiasan Inggris di sajaknya, ia membangun hibriditas dengan leluasa.

Dalam arti tertentu, hibriditas memang menandai pembebasan dari wacana yang membatasi dan menegaskan identitas sosial dan hierarkinya—sebuah narasi penjajahan. Seperti disimpulkan Homi Bhabha dari pengalaman kolonialisme di India: kekuatan hibriditas membuat mereka yang terjajah sanggup menantang perbatasan wacana, “the boundaries of discourse”. Wacana penjajahan telah membatasi “aku” dan “yang lain”, memisahkan “Ambon” dan “bukan-Ambon”, politik divide et impera yang membagi-bagi kita agar mudah dikuasai.

Syahdan: 28 Oktober 1928, sejumlah pemuda dengan gagah memilih bahasa Indonesia—nama baru yang melintas batas untuk bahasa “Melayu”—sebagai bahasa persatuan. Di saat itu, mereka tunjukkan kekuatan hibriditas.

Syahdan: Maret 1932, di Kutaraja, orang berhimpun memprotes keputusan pemerintah Hindia Belanda yang menetapkan agar sekolah menggunakan bahasa daerah, bukan bahasa Indonesia; juga di Padang dan di Surakarta.

Kita sering melupakan itu.

GOENAWAN MOHAMAD

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus