Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Empu Perempuan, Aeng Tong-Tong, dan Kamasan

Ika Arista dan Mangku Muriati menggelar pemeran di Biasa Art Space, Ubud, Bali. Kurator Alia Swastika menunjukkan bagaimana mereka bertahan menciptakan karya dalam ranah tradisi yang biasanya didominasi pria.

30 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Mangku Muriati dan Ika Arista menggelar pemeran di Biasa Art Space, Ubud, Bali.

  • Bertema “pepunden”, yang dalam bahasa Jawa Kuno berarti sesuatu yang sakral.

  • Menghadirkan dua tradisi dari dua generasi.

BEBERAPA keris tertata rapi di ruang pameran Biasa Art Space, Jalan Raya Sanggingan, Ubud, Bali. Di ruang pameran itu juga terdapat empat sketsa keris yang mencuri perhatian karena digambar pada kertas putih dengan ukuran yang lumayan besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun siapa sangka, keris-keris itu dibuat oleh seorang empu perempuan. Ia adalah Ika Arista. Dalam pameran tersebut, perempuan kelahiran Desa Aeng Tong-Tong, Sumenep, Jawa Timur, pada 1990 ini memajang sepuluh keris.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lahir dari keluarga pembuat keris, Ika merasa tertarik pada benda yang dianggap sebagian masyarakat sebagai pusaka itu sejak duduk di kelas V sekolah dasar. Tempat kelahiran Ika memang dikenal sebagai pusat kerajinan keris khas Madura. “Awalnya melihat Bapak membuat keris, hingga akhirnya tertarik,” katanya kepada Tempo melalui pesan WhatsApp, Senin, 25 April lalu.

Selain itu, kakeknya memiliki spesialisasi membuat warangka atau selubung keris. Alasan inilah yang membuatnya mantap melanjutkan tradisi keluarga sebagai perajin. “Keris kan tradisi lampau. Saya jadi bangga saat ini bisa ikut mempertahankannya,” ujarnya.

Perempuan yang menamatkan pendidikan sarjana di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia Sumenep ini berharap pandangan masyarakat secara umum terhadap keris bisa berubah. Ia berharap keris lebih dihargai karena merupakan produk budaya asli Indonesia. “Tidak lagi ditempatkan pada stigma udik, kuno, atau mistis,” ucap Ika.

Keris-keris karya Ika tak hanya berbahan besi dan kayu. Ika, yang telah mengikuti beberapa pameran—terakhir kali di Jogja National Museum pada 2021—sudah bermain dengan elemen lain, seperti emas. Hal itu tampak pada keris yang dipamerkan di Biasa Art Space. Namanya keris Naga Siluman Kinatah Emas dengan warangka Gayaman Yogyakarta. Pada bagian pangkal keris ada bagian berbahan emas berbentuk kepala naga bermahkota.

Bhineka Tunggal Ika karya Mangku Muriati di Biasa Art Galeri, Ubud, 23 April 2022. TEMPO/Made Argawa

Ika menjelaskan, setiap karyanya selalu memiliki cerita. Misalnya, dalam keris Junjungan Derajat dengan warangka Jeren Sumenep, Ika mengangkat Serat Trunojoyo. Trunojoyo adalah bangsawan Madura yang pernah memberontak terhadap pemerintah Amangkurat I dan Amangkurat II dari Mataram. Pemberontakan Trunojoyo itu dilatarbelakangi sikap Amangkurat I yang memerintah dengan keras dan bersekutu dengan kongsi dagang Hindia Belanda (VOC) sepeninggal Sultan Agung.

“Trunojoyo diceritakan sebagai pengkhianat dan dinistakan. Tapi, sebagai orang Madura, saya justru mendapat cerita dan narasi dari cerita tutur bahwa dia adalah pahlawan yang membebaskan Madura dari cengkeraman Mataram yang bersekutu dengan VOC,” tuturnya. 

Dalam keris bernama Malate Tompang, Ika merepresentasikan kisah tentang Potrekuning, putri bangsawan Sumenep yang menjadi leluhur penguasa Madura Timur pada abad ke-15. Potrekuning adalah perempuan pemberani yang menolak permintaan ayahnya untuk menikah karena ia masih ingin hidup bebas. Ia justru meminta izin ayahnya untuk mempelajari agama dan spiritualitas.

Ika mengatakan keris Malate Tompang selalu ia bawa ke mana-mana. Namun dalam pameran di Biasa Art Space ini keris itu hanya ditampilkan sketsanya. Keris Malate Tompang, kata Ika, berukuran sama dengan tusuk konde. Ia mengambil semangat Potrekuning yang merupakan anak bangsawan dan penerus orang tua. “Agar bisa difungsikan sebagai konde. Diletakkan di kepala sebagai lambang kekuasaan,” ujarnya.

Selain menyajikan keris karya Ika Arista, pameran berjudul “Pepunden, On Women Power and Traditions” yang berlangsung pada 13 April-30 Mei 2022 itu menampilkan lukisan-lukisan karya Mangku Muriati. Ada 17 lukisan gaya Kamasan karya pelukis perempuan asal Banjar Siku, Desa Kamasan, Kabupaten Klungkung, Bali, itu yang ditampilkan di Biasa Art Space.

Boleh dibilang pelukis perempuan dengan gaya Kamasan masih minim. Mangku Muriati, yang lahir pada 26 Juli 1966, mulai melukis pada 2000. Pada masa awal melukis, Mangku Muriati mendapat apresiasi dari Institut Kesenian Jakarta pada 2009. Selain itu, pada 2019 ia mendapat penghargaan dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Kini beberapa karyanya telah dikoleksi Sydney Museum di Australia dan Ibsen Museum di Denmark.  

Selain menjadi pelukis, Mangku Muriati adalah pemimpin kegiatan adat di salah satu pura tempatnya tinggal atau biasa disebut pemangku. Kurator pameran di Biasa Art Space, Alia Swastika, menilai perempuan tidak mudah menjalani pekerjaan sebagai pemangku. “Pemangku dominan dikerjakan pria. Tradisi Bali itu patriarki, jarang perempuan bisa menjadi pemimpin,” ucapnya.

Proses kreatif dan sejalannya Mangku Muriati dengan pelayanan bagi umat Hindu di lingkungan tempat tinggalnya membuat Alia terkesan hingga mengajaknya berpameran di Biasa Art Space. “Pameran ini sengaja menyejajarkan seniman Bali dan seniman dari luar Bali. Tapi pada balutan isu perempuan yang berjuang bertahan pada tradisi maskulin,” kata Alia. 

Menurut Alia, Mangku Muriati juga berusaha mengangkat tema yang liyan dalam karya-karyanya. Selama ini gaya Kamasan dominan menampilkan sosok dewa, dewi, atau tokoh pewayangan. Namun pelukis yang menempuh pendidikan seni lukis di Institut Seni Indonesia Denpasar ini juga bermain dengan sosok lain. 

Misalnya, dalam lukisan Bhineka Tunggal Ika, Mangku Muriati membuat 24 tokoh yang mewakili pemuda dan pemudi. Di tengah-tengah mereka berkibar bendera merah-putih pada sebuah tiang. Di atas tiang tergambar burung garuda. Pada bagian samping dituliskan ikrar Sumpah Pemuda. “Ini menjadi semacam anomali,” ujar Alia. Mangku Muriati juga memiliki lukisan dengan tema wanita karier. Tema itu juga jauh dari konsep Kamasan tradisional, “Tapi dalam pameran kali ini tidak kami keluarkan.”  

Seorang pengunjung meilhat koleksi pameran Ika Arista dan Mangku Muriati di Biasa Art Space, Ubud, Bali. 23 April 2022. TEMPO/Made Argawan

Kecuali dua lukisan tersebut, karya Mangku Muriati masih kental dengan gaya Kamasan. Dari 17 karya lukisan, 16 masih menampilkan gaya Kamasan yang menggambarkan cerita pewayangan atau Tantri. Dalam lukisan berukuran 64 x 44 sentimeter yang dibuat pada 2016 pada kanvas dengan warna natural, misalnya, dia mengambil cerita Mahabharata yang mengangkat kisah kelahiran istri Pandawa, Drupadi. Lalu ada tiga seri lukisan dengan judul Sang Kaca berukuran 50 x 42 sentimeter yang menceritakan Gatotkaca, anak Bima dalam kisah Mahabharata.  

Di tempat asal Mangku Muriati di Kabupaten Klungkung, lukisan wayang Kamasan dapat dijumpai di obyek wisata Kerta Gosa. Pada bagian plafon bangunan utamanya terpajang lukisan gaya Kamasan yang menampilkan kisah-kisah legendaris, seperti perjalanan Bima ke surga dan kisah Ni Diah Tantri yang diambil dari wayang Tantri, wayang tradisional Bali.

Menurut Alia, judul pameran di Biasa Art Space ini, “Pepunden”, bisa berarti jimat. Pepunden adalah kosakata yang diambil dari khazanah Jawa Kuno yang merupakan simbol sesuatu yang sakral. Kadang istilah ini mengundang anggapan terhadap kekuatan magis atas benda yang disakralkan, atau disejajarkan dengan gagasan tentang jimat, misalnya. “Dalam pameran ini, pepunden menjadi ruang untuk membicarakan kekuatan perempuan, dan bagaimana tradisi memberikan kemungkinan bagi para perempuan ini untuk beradaptasi dengan situasi baru dan menjadikan praktik mereka sebagai sesuatu yang lebih relevan dengan masa kini,” katanya.  

Namun dalam pameran ini Alia tidak menginginkan kesan magis yang menonjol. Ia ingin menonjolkan kekuatannya. Hal itu tergambar pada keris yang direpresentasikan sebagai sebuah kekuatan. Begitu pun pada lukisan Kamasan, yang merupakan tradisi turun-temurun. “Ada nilai dan kekuatan,” tuturnya.

Adapun ihwal figur seniman yang merupakan perempuan, Alia menjelaskan bahwa melihat sosok perempuan yang berjuang di ranah budaya patriarki selalu menarik. “Pembuat keris pada umumnya pria, pelukis Kamasan juga begitu,” ucapnya.

MADE ARGAWA (UBUD)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus