Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JOKO Pinurbo (Sukabumi, 11 Mei 1962-Yogyakarta, 27 April 2024) adalah salah seorang penyair yang paling populer dalam perpuisian kita hari ini. Kematiannya pada 27 April 2024 menjadi peristiwa yang sangat menyedihkan dan membuat kita amat kehilangan. Banyak orang membangkitkan kembali ingatan mereka tentang penyair yang kerap disapa Jokpin itu. Ada yang mengunggah foto bersama sang mendiang di media sosial, ada pula yang mengutip puisinya yang bernilai khusus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tulisan ini adalah pembacaan kembali atas kompleksnya perpuisian Joko Pinurbo. Jika menelusuri puisi-puisinya yang ia tulis dalam rentang lebih dari 40 tahun, kita akan mendapatkan satu fakta menarik mengenai penyair muda yang hidup dalam sebuah khazanah perpuisian nasional, yakni tentang bagaimana dia menyerap dan mengolah pengaruh para penyair pendahulunya hingga akhirnya menemukan pengucapannya yang khas dan beroleh posisi yang penting serta bisa disejajarkan dengan para pendahulu yang telah menjadi modelnya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Joko Pinurbo pada mulanya menulis puisi dan cerita pendek, kemudian esai dan novel—cerpen dan novelnya, boleh dibilang, kurang berhasil. Pengalamannya mempelajari bahasa Indonesia secara akademis di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, turut mematangkan pilihannya sebagai penulis. Sebab, dari situlah dia beroleh peluang bermain-main sekaligus memperkarakan bahasa Indonesia sebagai bahasa puisinya.
Sedangkan pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Seminari Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, memberikan pengaruh penting pada pilihan tema puisi-puisinya yang kebanyakan adalah penulisan kembali fragmen-fragmen Alkitab.
Lahir dan berkembang dalam tradisi puisi berbahasa Indonesia, dia terdorong untuk menjelajahi hampir semua puisi karya penyair terpenting sebelumnya. Dan ia mengakomodasi secara kreatif perpuisian sezaman.
Baca Juga:
Jika model puisi lirik yang terpenting berinduk kepada Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, dan Goenawan Mohamad, kepada merekalah Joko Pinurbo muda mengarahkan pencariannya. Namun, dalam konteks ini, pengaruh yang paling terasa adalah langgam persajakan Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad.
Tengoklah bagaimana Joko Pinurbo mengolah langgam puisi lirik dan puisi naratif secara bersamaan. Pada puisi lirik, permainan metafora berlangsung serentak dengan penataan bunyi, pemenggalan larik, dan yang penting adalah jukstaposisi, disonansi, dan kekosongan.
Namun ia tidak terlalu sering membangun kekosongan di antara puisinya. Ia lebih menghendaki satu narasi yang mengalir dan melahirkan “cerita” yang semaksimal mungkin selesai. Itulah kenapa ia lebih banyak mengembangkan langgam puisi naratif Sapardi Djoko Damono ketimbang puisi lirik yang mengandalkan jukstaposisi dan kekosongan sebagaimana karya Goenawan Mohamad.
Penyair Joko Pinurbo membacakan karya pusinya di Teater Salihara, Jakarta, Agustus 2010. Dok. Tempo/Aditia Noviansyah
Puisi-puisi Joko Pinurbo yang terbaik, misalnya “Celana 1” (1996), hadir dalam bahasa Indonesia yang padat, jernih, dan sederhana serta mengadopsi kelisanan secukupnya. Watak naratifnya kuat, meski penataan larik yang penuh patahan selalu mengingatkan kita pada model puisi lirik. Dalam puisi ini dia sudah mulai memasukkan anasir humor dan parodi yang kelak menjadi ciri utama puisi-puisinya, tanpa menghilangkan aspek penting lain, yakni perenungan.
Pada puisinya yang lain, misalnya “Kepada Cium” (2006), kita menemukan kecenderungan puisi lirik yang menunda hasrat bercerita sebagaimana pada puisi-puisi naratifnya yang lain. Puisi ini tersusun oleh repetisi “seperti” yang membuat perumpamaan berulang dan memperdalam maksud penyairnya:
“Seperti anak rusa yang menemukan sarang air/di celah batu karang tersembunyi,/seperti doa lidah membersihkan sisa nyeri/pada luka lambung yang tak terobati.”
Langgam puisi model begini terbilang tidak terlalu banyak dalam kompleks perpuisian Joko Pinurbo. Sebab, ia kemudian memantapkan pilihan pada langgam puisi naratif yang sudah dibangun pada seri “Celana”. Bahkan kumpulan puisinya, Pacarkecilku (2002), didominasi puisi-puisi berlanggam naratif—yang di masa lalu mencapai bentuk terbaiknya pada sajak-sajak balada Rendra.
Sejatinya puisi naratif Joko Pinurbo mencoba bercerita tentang banyak hal dan tidak jarang terbilang remeh-temeh: tukang becak, guru sejarah, ranjang, tubuh, telepon seluler, kamar mandi—umumnya, bukan tentang orang-orang besar atau orang kecil yang dipahlawankan sebagaimana karya Rendra.
Dengan hasrat bercerita seperti ini kita menemukan bangunan puisi Joko Pinurbo melalui larik-larik—atau kalimat dalam prosa—yang berkaitan satu sama lain, menyiratkan adanya “alur” dan momen yang menandai akhir “cerita” itu. Tanda petik ini saya gunakan untuk menegaskan bahwa meskipun puisi naratif punya kecenderungan bercerita—itulah kenapa ia dibedakan dari puisi lirik—ia bukanlah prosa, juga bukan “puisi-prosa”.
Baca Juga:
Watak naratif puisi-puisinya tetaplah dibatasi oleh penataan larik-lariknya yang segera mendorong kita ke penyimpulan bahwa puisinya adalah puisi lirik juga. Dalam artian larik-lariknya dipotong dengan kesadaran tertentu, juga dikelompokkan dalam bait tertentu, yang hubungannya dengan bait-bait lain ditentukan oleh seberapa jauh “alur” puisi itu bergerak.
Kadar kepuisiannya juga ditentukan oleh semacam penyimpulan—yang dalam cerita humor disebut punch line—yang membuat orang tertawa atau, sebaliknya, berpikir keras soal apa maksud penyair dengan semua ini.
Penggunaan punch line membuat puisi-puisi Joko Pinurbo terasa menyegarkan. Sebab, jika saja dibiarkan watak naratif puisinya bergerak dan berakhir tanpa “larik yang menyentak”, sesungguhnya puisi-puisinya akan terasa biasa-biasa saja atau sama saja dengan puisi-puisi naratif lain di Indonesia.
Dibayang-bayangi absurditas, langgam puisi naratif Joko Pinurbo juga tidak sepenuhnya bisa diterka jalan nasibnya. Pengisahan puisi memang terasa selesai, tapi persoalan baru muncul. Itulah kenapa larik-larik serupa punch line tersebut berfungsi memberikan kejutan atau simpulan.
Namun bukan sekali-dua kali narasi yang telah bergerak lancar dalam dua-tiga bait sebelumnya tiba-tiba berbelok ke situasi absurd yang tidak tertanggungkan. Misalnya, dalam puisi “Penumpang Terakhir”, seorang tukang becak yang digantikan tugasnya oleh si subyek lirik penumpang tiba-tiba mati di atas becaknya sendiri. Tujuan ziarah si penumpang menjadi tidak bisa lagi dipastikan.
Atau penyair memang hendak memberi pembaca pengalaman puitik yang sama sekali lain, sebuah tikungan tajam yang akan mengantarkan pembaca kepada yang tidak terduga, bahkan absurd secara keseluruhan. Seorang tukang becak bernama Suradal dalam puisi “Malam Suradal” (2006) yang sial karena tidak mendapat penumpang kemudian memutuskan pulang dalam keadaan lapar. Tapi di tengah jalan ia dicegat oleh orang yang keheranan dan bertanya, “Suradal, mayat siapa yang kaubawa?”
Tentu saja Suradal tidak membawa mayat di becaknya. Tapi ia segera membalasnya dengan jawaban yang tidak kalah ajaib: “Ini mayat malam, Tuan. Saya akan menguburnya di sana, di ladang hujan di belakang rumah saya.”
Permainan dengan yang absurd dalam puisi-puisi Joko Pinurbo boleh dibilang masif. Tapi absurditas itu tidak berjalan sendirian. Pada mulanya ia didorong oleh tenaga humor dan parodi yang pada puncak kehadirannya menjelmakan kenyataan absurd.
Humor dalam hal ini mungkin akan mengingatkan kita pada langgam puisi mbeling di awal 1970-an dengan tokoh utama Remy Sylado, tapi puisi-puisi bernada humor Joko Pinurbo berbeda. Ia mengundang senyum, tapi tidak rewel sebagaimana puisi mbeling yang punya hasrat memprotes ini dan itu.
Atau humor di sini bisa dilihat sebagai efek samping saja. Sebab, yang hendak dicapai adalah situasi lain, yakni perenungan tersebut. Dengan begitu, sebenarnya puisi-puisi Joko Pinurbo berwatak sangat serius. Soal yang hendak direnungkan pun kadang-kadang sangat berat: ketuhanan, waktu, iman, hingga situasi bangsa dan penderitaan manusia secara keseluruhan.
Dengan kata lain, puisi-puisi Joko Pinurbo hendak mencapai pengucapan filosofis tentang semua itu melalui cara-cara yang paling ia kuasai. Misalnya dengan merasukkan humor.
Apakah renungan itu mencapai sasaran bukan soal penyair lagi—sebab, toh, kini ia telah bersemayam dalam keabadian—dan bukan pula porsi esai ini untuk menjelaskannya. Lain kali, mungkin.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Zen Hae adalah penyair dan kritikus sastra. Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Pada Sebuah Tikungan: Joko Pinurbo".