Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Sharjah Biennial dan Utopia Pusat Baru Seni Dunia

Perkembangan Biennial Sharjah dan upaya memunculkan pusat seni dunia seni baru di kawasan Timur Tengah.

2 April 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sharjah Biennial tengah berlangsung.

  • Ruang temu baru untuk seniman dan akademikus di Timur Tengah.

  • Selain di Sharjah, diselenggarakan di empat kota lain.

DARI narasi tentang peminggiran kelompok etnis asli di kawasan Kazakstan dan situasinya selepas era Uni Soviet hingga anak-anak muda di Brasil yang menggunakan capoeira sebagai bentuk resistansi. Itulah perhelatan Sharjah Biennial 15 tahun yang kini menjadi salah satu wahana terbesar dalam mengangkat wacana dekolonisasi. Sharjah Biennial sedikit-banyak telah mengubah arah geopolitik seni dan membawa wacana seni non-Barat sebagai bagian penting dalam konstelasi seni dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menampilkan kurang-lebih 300 karya dari 160 seniman, Sharjah Biennial 15 kini tampaknya telah menjadi setara dengan Venice Biennale yang merupakan pelopor pameran seni (modern) internasional. Di tengah pembangunan infrastruktur seni yang masif di kawasan Uni Emirat Arab, museum-museum kelas dunia yang supermegah di Abu Dhabi atau pusat-pusat seni komersial di Dubai, Sharjah menempatkan dirinya sebagai lokus di mana solidaritas selatan dan konteks pascakolonial menjadi spirit dari ruang-ruang produksi pengetahuan. Selama dua puluh tahun terakhir, Sharjah Biennial telah mendorong pertemuan seniman, kurator, akademikus, penulis, aktivis dan sebagainya untuk bersama-sama membayangkan dunia yang lebih setara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sharjah Biennial 15 bertajuk “Thinking Historically in the Present” dengan bingkai kuratorial yang disusun oleh mendiang kurator kenamaan Okwui Enwezor. Selepas kepergian Enwezor, kerja kuratorial dilanjutkan oleh Direktur Sharjah Art Foundation Hoor Al Qasimi. Hoor mengembangkan pemikiran Enwezor dan memberikan subyektivitas yang berbasis pada pembacaannya atas urgensi-urgensi baru dalam dua tahun terakhir. Hasilnya memang mengagumkan. Tak hanya membawa karya-karya dari seniman bintang dari wilayah Asia, Afrika, Amerika Selatan, atau kawasan Oseania, Sharjah Biennial 15 juga mendorong seniman-seniman muda dari belahan bumi selatan membangun percakapan tentang dunia hari ini: dari perlawanan terhadap kapitalisme dan industri ekstraktif sampai perjuangan menegakkan kesetaraan gender. 

Karya Almagul Menlibayeva, Tongue and Hungef: Stalin’s Silk Road. Alia Swastika

Sharjah terdiri atas beberapa kota kecil yang berada di antara gurun dan kawasan pengolahan minyak, dan Sharjah Biennial 15 diselenggarakan di empat kota lain di luar pusat Kota Sharjah, yaitu Al Hamriyah, Khor Fakkan, Kalba Ice Factory, dan Al Dhaid. Ada 15 ruangan yang digunakan untuk penyelenggaraan pameran. Perjalanan melintasi satu ruangan ke ruangan lain juga menjadi pengalaman menarik di mana lanskap gurun pasir dan unta-unta yang melintas menjadi pemandangan sehari-hari yang terasa menjadi akrab. 

Kawasan cagar budaya Sharjah dalam 30 tahun ini dikembangkan menjadi kompleks kesenian yang aktif sepanjang waktu. Karya-karya seniman terbaik dunia terus-menerus disajikan hingga menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Di kawasan Calligraphy Square, misalnya, karya Isaac Julien dengan segera menarik perhatian penonton karena pilihan-pilihan artistiknya yang cukup membuat kita tertegun dan terpesona. Once Again… (Statues Never Die) buatan 2022 menampilkan instalasi video lima saluran hitam-putih yang menampilkan percakapan antara kolektor kulit putih Alfred Barnes dan pemimpin budaya queer kulit hitam, Alain Locke, yang banyak terlibat dalam renaisans Harlem yang menjadi pusat budaya kulit hitam di New York, Amerika Serikat. Percakapan mereka bukan hanya tentang karya, institusi, dan sejarah seni, tapi juga sampai homoseksualitas. Menampilkan karya semacam ini dalam konteks Sharjah yang dikenal cukup konservatif memerlukan keteguhan dan keberanian kuratorial. 

Dari gerakan dekolonisasi seni, kita kemudian bisa beranjak melihat persoalan hidupan masyarakat asli berbagai wilayah dunia yang terancam. Seniman Afrika Selatan, Pamela Phatsimo Sunstrum, menampilkan serangkaian karya dengan medium pencil dan cat minyak di atas kayu yang mengolah kembali potret-potret fotografis abad ke-19 yang dianggap mendorong munculnya narasi-narasi kolonial, dan akibatnya menghilangkan pengetahuan lokal. Karya-karya Pamela menampilkan genealogi pengalaman masyarakat di Afrika, Asia Tenggara, dan Amerika Serikat, terutama berkaitan dengan subyek dan kehadiran perempuan. 

Akan halnya karya Almagul Menlibayeva, seniman Kazakstan, ia banyak mengangkat persoalan peminggiran suku asli di negara-negara bekas kekuasaan Uni Soviet. Meskipun ruangan tidak terlalu besar, Almagul berhasil mengatur lima saluran video dalam instalasi multimedia Tongue and Hunger: Stalin’s Silk Road (2023). Karya ini mengambil inspirasi dari kehidupan bibi sang seniman yang bertahan dalam sistem Uni Soviet sepanjang masa kerja paksa. Ia harus kehilangan kedua anaknya tanpa diketahui nasib mereka hingga kini. Karya Almagul ini secara kuat menunjukkan bagaimana kehidupan masyarakat asli Kazakstan berkaitan dengan budaya perpindahan, mitos dan cerita lokal, serta pengetahuan kosmologis yang berhubungan konstruksi sosial-politik. 

Kosmologi juga menjadi salah satu bagian yang menarik dalam karya Carolina Caycedo yang melingkupi instalasi, video, fotografi, arsip, dan sebagainya. Karya-karya Caycedo mengkonstruksi sejarah ingatan atas lingkungan dan pengetahuan kosmologis masyarakat adat di kawasan Amerika Selatan. Di halaman tengah Calligraphy Square, Caycedo meletakkan 160 replika aludeles, sebuah perangkat dari kawasan tambang di Spanyol, yang memberikan kesan gigantik. Dalam videonya, Caycedo menampilkan gambaran pengetahuan mengenai alam dan kosmologi yang dekat dengan tubuh perempuan: bagaimana tubuh perempuan memberikan energi kepada alam dan membangun siklus kehidupan yang komunal.

Sementara itu, Hajra Waheed, seniman berbasis di Kanada dan berlatar belakang India, membangun instalasi ruang dengan suara di mana ia mengkomposisi tujuh lagu yang terhubung dengan gerakan protes di berbagai tempat berhubungan dengan gerakan sosial dan perjuangan antikolonial. Karya Hajra berfokus pada bagaimana perempuan memimpin gerakan protes dan menjadikan “suara” (yang muncul sebagai gumaman) sebagai metafora untuk keberdayaan bunyi. Karya yang puitik tapi juga mengandung energi yang sedemikian besar ini pada akhirnya mendapatkan salah satu penghargaan karya terbaik Sharjah Biennial 15.

Karya Carolina Caycedo di halaman tengah Calligraphy Square, dalam Sharjah Biennial 15, Dubai, Uni Emirat Arab. Alia Swastika

Karya seniman India, Varunika Saraf, menampilkan gambar perlawanan-perlawanan masyarakat akar bawah India yang berlangsung intensif. Karya We, The People (2018 – 2022) mengkombinasikan arsip, fotografi, dan peta sebaran perlawanan rakyat selama perjalanan sejarah India, dari resistansi terhadap konflik agama, peminggiran minoritas, hingga kekerasan seksual. Dengan teknik sulam tangan, Varunika mengangkat momen pergerakan yang politis dan memberikan narasi subyektif dan personal yang sangat kuat. Dalam karya Varunika, ada 76 karya sulam tangan yang juga menunjukkan kekuatan materialitas dan keterampilan tangan perempuan. 

Karya Bouchra Khalili (Maroko) juga mengangkat persoalan politis yang kritis dengan menampilkan video instalasi The Circle (2023) yang memberikan narasi menarik tentang pergerakan Arab Workers’ Movement yang melakukan protes besar-besaran berkaitan dengan kehidupan imigran di Prancis pada 1970-an. Melalui serangkaian penyelidikan terhadap arsip dan rekaman video, Bouchra membangun narasi yang cukup provokatif tentang kehidupan dan posisi politik pekerja migran Arab di negara-negara Barat. Karya Bouchra Khalili juga mendapatkan penghargaan sebagai salah satu karya terbaik Sharjah Biennial 15. 

Dalam Sharjah Biennial 15 beberapa seniman Indonesia yang berpartisipasi adalah Elia Nurvista, Heri Dono, Maharani Mancanagara, dan Semsar Siahaan. Elia Nurvista membawa karya instalasi yang terdiri atas video, obyek keramik, fotografi yang dicetak di atas kain, serta patung totem dari Kalimantan yang membicarakan industri minyak sawit dan politik tanam monokultur yang mengubah lanskap serta ekosistem makhluk hidup di kawasan hutan Kalimantan dan Sumatera. Maharani Mancanagara salah satunya menampilkan kembali proyek Susur Leluri yang mengambil bentuk fabel sebagai cara untuk membincangkan peristiwa 1965 dan bagaimana keluarga korban hingga kini masih berupaya menelusuri jejak yang (di)hilang(kan).

Tak bisa dimungkiri, Sharjah Art Foundation mempunyai sumber daya yang sangat besar untuk mewujudkan mimpi-mimpi dekolonisasi yang bagi sebagian besar negara Asia, Afrika, dan Amerika Selatan merupakan kemewahan. Setelah puluhan tahun kita dikonstruksi untuk melihat Venice Biennale sebagai pusat, Sharjah Biennale kini menjadi titik utopia baru tentang dunia yang lebih setara dan berfokus pada global selatan. Dalam pengantar kuratorialnya, Hoor sendiri menyebutkan pentingnya sejarah Konferensi Asia-Afrika dan konteks Gerakan Non-Blok sebagai pijakan bagi perspektif transnasionalnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus