Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran fotografi tunggal Paul Kadarisman.
Memotret benda-benda keseharian.
Obyek fotografi yang tetap estetik.
KOTAK kertas penganan itu berisi delapan kuotie. Kotak kertas putih camilan biasa seperti yang kita dapati saat membeli martabak atau lumpia. Tampak kuotie di dalamnya sudah dingin dan tersisa, sebagian sudah dilahap. Plastik-plastik bumbu bertebaran. Kantong saus tomatnya ada dua. Satu belum dibuka, satu sudah kosong, terlepas ikatannya. Di sebelah kotak terdapat remasan bon atau nota pembayaran, lalu tisu. Di sampingnya ada sebuah barang kecil, mungkin itu ReFa Carat, alat kosmetik berbentuk rol yang bisa membuat kulit muka atau tubuh lebih kencang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang menjadikan kotak itu menarik, di bagian dalam tutupnya yang terbuka diletakkan patung alit happy Buddha. Bisa jadi ukurannya sekitar 10 sentimeter. Buddha tertawa tersebut mungkin terbuat dari kuningan. Biksu gundul, gendut, dalam posisi bersila sembari tersenyum lebar merupakan simbol kebahagiaan. Ditempatkannya Buddha di kotak kuotie segera membuat kita bisa meraba “konteks” foto itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kuotie kita ketahui makanan kecil sejenis dimsum yang dipanggang. Isinya dalam resep asli adalah babi, tapi sekarang banyak yang berisi daging ayam dan sapi. Kuotie biasa menjadi santapan pembuka pada perayaan Imlek. Mencamil penganan ini pada saat Imlek konon mendatangkan rezeki. Adapun Buddha tertawa merupakan sosok Bodhisattwa Maitreya yang populer dalam tradisi Tionghoa. Menyimpan patungnya syahdan juga bisa membawa rezeki.
Fotografi still life bukan hanya soal keterampilan teknis menghidupkan benda mati menjadi sesuatu yang estetik melalui penataan komposisi dan pencahayaan kamera, tapi juga ide. Obyek-obyek mati apa yang dipilih fotografer dan bagaimana cara sang fotografer menatanya di meja sangat menentukan untuk menakar “kedalaman” sajiannya. Barang yang dihadirkan tentu tidak harus barang mewah atau bermerek. Cara menyusunnya bermacam-macam, bisa dengan menyandingkan benda-benda, menderetkannya, atau mengaturnya dengan desain dan pola tertentu. Di sini pemilihan dan perhitungan macam benda dan “kegokilan” imajinasi fotografer dalam menyusun benda-benda sangat menentukan apakah karya itu bisa sampai memiliki capaian “makna semiotik” atau karya yang polos menyajikan keindahan memotret belaka.
Still life karya Paul Kadarisman.
Itulah yang bisa diperbincangkan saat menyaksikan pameran tunggal Paul Kadarisman di Galeri Rubanah, Jakarta, yang dikuratori Grace Samboh. Sebanyak 14 foto still life ditampilkan oleh fotografer 49 tahun jebolan Institut Kesenian Jakarta ini. Foto-foto dengan berbagai ukuran disajikan, dengan ukuran terbesar 150 x 188 sentimeter. Dimunculkannya arca Buddha di antara obyek tidak hanya kita dapati dalam karya kuotie. Dalam karya lain juga terlihat arca kecil yang mungkin Dewi Kwan Im di antara botol-botol kosong di sebuah meja. Sebuah botol digunakan sebagai vas tumbuhan, dedaunannya menaungi arca tersebut. Di meja itu juga terdapat lampu studio yang kapnya dibalik, lalu buah berserakan. Karya ini terasa syahdu.
Kebanyakan benda yang dipilih dan ditata Paul, bila kita perhatikan, tergolong benda sehari-hari, bukan barang-barang baru yang kinclong. Beberapa di antaranya terkesan berkarat dan bahkan bekas. Mungkin ada barang personal milik Paul dari dunia fotografi, misalnya arsip Kodak krom, tas pinggang, reflektor, view finder, dan tape rekaman lawas. Ada pula yang berhubungan dengan dunia antik: uang-uang koin, lipatan uang kertas jadul, setrika kuno, cawan dan cepuk keramik, teko Cina klasik, dan buku-buku lawas. Juga aneka benda rumahan: gulungan perban besar, bohlam, sikat gigi, barang-barang dapur, organ pipa karet, pisau lipat, gelas plastik, dan lain-lain. Semua adalah “artefak” urban. Apa yang dikerjakan Paul seolah-olah sebuah “ekskavasi arkeologi” atas benda-benda lama sehari-hari miliknya dan di sekelilingnya yang mungkin sudah jarang dipakai.
Still life with no videotape karya Paul Kadarisman.
Cara Paul meletakkan benda-benda itu pun kadang nakal dan tak terduga. Dalam sebuah foto yang menampilkan berbagai buah serta tomat, kubis, selada, dan sayuran lain bak dagangan pasar, ia tiba-tiba menyelipkan earphone yang terlepas. Hal ini menimbulkan asosiasi tersendiri. Dalam foto lain ia menyejajarkan benda berwarna biru seperti pipa karet atau entah apa dengan secuil kerupuk kulit. Atau dalam seri Buddha-nya yang lain, ia meletakkan sebuah patung Buddha sangat kecil di atas tumpukan buku kuno. Kekontrasan benda-benda itu menimbulkan imajinasi tertentu (meski kadang susah).
Di titik ini, pendekatan still life Paul sangat berbeda dengan pendekatan fotografer still life pada umumnya. Kita tahu fotografi still life lebih banyak bertautan dengan dunia barang produk komersial. Fotografi produk berkembang pesat di dunia periklanan. Tugas profesi fotografer ini adalah membuat citra agar benda-benda yang dijual dan barang-barang baru keluaran pabrik mampu merangsang hasrat membeli publik. Citra-citra foto promosi di era ini demikian hebat sehingga menurut para sosiolog mampu menciptakan kebudayaan konsumerisme. Adapun benda-benda yang dipilih Paul adalah barang usang. Paul juga mungkin sering mengerjakan order foto produk komersial demikian. Namun, dengan karyanya ini, Paul seolah-olah “membangkang”.
Pameran foto Paul Kadarisman Kuotie-Dien di Rubanah, Jakarta, 4 Maret 2023. M Revaldi
Paul rapi dan teliti dalam menata obyek-obyeknya. Lihatlah karya Still life with Orange and Lime. Beraneka ragam benda dicampurbaurkan, disatukan oleh Paul hingga secara visual enak ditatap. Benda-benda menjadi solid. Satu kesatuan yang utuh. Sebuah keluarga benda. Padahal, bila kita perhatikan detail, barang-barang itu antara lain sikat, alat takar air, stopkontak, remote, juga senter kecil. Biografi atau riwayat fungsional benda-benda itu jelas berbeda. Bagi saya, karya ini sebuah kolase yang berhasil, tanpa perlu ditambahi jeruk nipis di atas tumpukan benda-benda itu sebagaimana menjadi judul.
Eksperimen Paul bukan tidak mungkin lebih liar jika dia berani lebih dalam menelusuri aneka barang rongsokan, bahkan barang jalanan. Saya jadi ingat sebuah performance di Teater Utan Kayu, Jakarta, lebih dari sepuluh tahun lalu. Seorang perupa dari Filipina menyusuri kawasan Utan Kayu dan memungut apa saja, termasuk bangkai tikus, yang kemudian disusunnya menjadi sebuah instalasi kecil.
Tentu Paul tidak perlu seradikal itu. Tapi kerja “jukstaposisinya” atas benda-benda lama urban sehari-hari mengandaikan kerja seorang pemulung—atau peramu. Bricolage kata ahli filsafat, meminjam istilah antropolog strukturalis Claude Lévi-Strauss, adalah kerja mengumpulkan bahan-bahan lama di sekitar kita yang berbeda-beda, lalu mengutak-atik, menyusunnya, sehingga lahir pemaknaan baru. Di sini kerja fotografi still life atas barang-barang yang tak dipakai lagi bukan hanya seperti mengeluarkan barang-barang sisa dari gudang lalu memajang-majangnya, melainkan berusaha agar benda-benda lama itu bisa “berbicara lain”.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo