Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Art Jakarta Gardens menyajikan karya sejumlah seniman dari Indonesia dan mancanegara.
Pameran diselenggarakan secara indoor dan outdoor di kompleks hutan kota Plataran, Senayan.
Ada karya Picasso dan Joan Miro.
TIDAK ada kabel listrik menjalar ruwet. Tidak terlihat perangkat audio mencolok yang sengaja disetel mengeluarkan bunyi. Di bagian belakang taman hutan kota Plataran, Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, kita melihat sebuah karya unik. Sebuah instalasi bermateri instrumen Jawa: tiga gong berbeda ukuran dipasang vertikal diapit dua bonang kecil. Gong itu berada di tengah. Di samping kanan terdapat enam bonang, di samping kiri enam bonang. Semua berukuran sedang. Tata desain dibuat sedemikian rupa sehingga instrumen dipayungi lapisan berwarna kebiruan yang menggelombang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada setiap bonang dipasang pemukul. Alat tabuh itu secara otomatis bergerak menabuh pencon (bagian menonjol) bonang. Sebuah stik robotik yang pukulannya menciptakan sebuah komposisi. Instalasi berjudul Gamelantron karya seniman konseptual New York, Amerika Serikat, Aaron Taylor Kuffner, ini sekilas mengingatkan pada karya instalasi gamelan kinetik Heri Dono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Heri Dono pernah menciptakan karya berupa gong-gong kecil yang berbunyi sendiri. Tapi berbeda. Pada karya Heri, yang keluar hanya bunyi nada tunggal, tidak membentuk komposisi. Sedangkan karya Kuffner cenderung ke arah atau memperhitungkan komposisi. Demikian juga bila karya itu kita bandingkan dengan karya kinetik Jompet Kuswidananto—tambur-tambur atau genderang serdadu keraton Yogyakarta yang berbunyi sendiri. Sama dengan karya Heri, bunyi yang keluar pada karya Jompet hanya tunggal.
Segera instalasi Kuffner menyadarkan kita bahwa karya ini mengombinasikan teknologi, seni patung, dan musik. Kuffner menyebut karyanya sebagai sonic sculpture music. Sudah puluhan variasi instalasi robotik gong, bonang, saron, dan instrumen gamelan lain yang berbunyi sendiri yang dibuat oleh Kuffner. Proyek ini ia mulai pada 2008. Tiap variasi instalasi menyajikan “komposisi-komposisi” sederhana berlainan. Yang disajikan di hutan kota Senayan ini hanyalah satu bagian dari seri Gamelantron buatannya.
Karya Abieb: Ballseye dalam pameran Art Jakarta Garden 2022 di Hutan Kota Plataran, Kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta, 7 April 2022/TEMPO/Hilman Fathurrahman W
ISA Art and Design Gallery yang menghadirkan karya Kuffner di Senayan. Menarik bahwa ISA Art Gallery membawa karya Kuffner dalam acara ini. Nama Kuffner tidak pernah disebut dalam khazanah musik kontemporer kita dan jarang dilibatkan dalam festival komponis. Padahal dia pernah menempuh studi karawitan di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Dalam Gamelan International Festival 2018 di Solo, Jawa Tengah, yang dikoordinasi oleh komponis (almarhum) Rahayu Supanggah dan dihadiri banyak tokoh gamelan eksperimental, seperti Aloysius Suwardi, Gde Yudane, National Concert Hall Gamelan of Ireland, Gamelan Sari Raras dari Amerika Serikat, dan Wesleyan Gamelan Ensemble, Kuffner juga tidak masuk daftar. Sesungguhnya karya-karyanya bisa menambah warna bila dipamerkan dalam festival tersebut.
ISA Art adalah satu dari 20 galeri yang berpartisipasi dalam Art Jakarta Gardens. Acara ini berbeda dengan Art Jakarta sebelumnya yang hanya berlokasi di gedung (terakhir kali pada 2019 diselenggarakan di Jakarta Convention Center). Kali ini acara diselenggarakan secara indoor dan outdoor. Dua tenda Hall A dan Hall B yang tidak terlalu besar dibangun di taman. Di situ 20 galeri membuka stan untuk memasarkan karya-karya yang kebanyakan seni lukis. Lalu selebihnya 20 galeri itu menampilkan patung-patung di area hutan kota. Pengunjung bisa rileks berjalan-jalan menikmati seni patung serta instalasi.
Sebagaimana art fair, berbagai macam selera lukisan selalu dapat ditemukan di sini. Tidak ada keseragaman antar-stan. Berjalan dari stan satu ke stan lain, kita bisa melihat campur-baur gaya. Satu galeri cenderung menjual karya lukisan modernisme, sementara galeri lain menawarkan pop art. Lalu galeri berikutnya menjual karya fotografi. Dua stan yang bersebelahan bisa menyajikan dua corak selera. Berbagai estetika yang hadir dalam acara semacam ini mengandaikan pangsa pasar masing-masing berkompetisi. Galeri Art Agenda, misalnya, menyajikan karya-karya lama Popo Iskandar, But Mochtar, Srihadi Soedarsono, dan Nashar. Salah satu karya Srihadi berjudul Composition with Three Figures yang dibuat pada 1962 ditekankan sebagai karya langka. Dalam katalog, pihak galeri membandingkan karya itu dengan karya-karya abstrak post-war 1960 Mark Rothko dan Robert Motherwell.
Adapun Hedonist Gallery tidak terduga memasarkan karya Picasso dan Joan Miró. Karya Picasso yang ditawarkan adalah sebuah silver plate bergambar. Antara 1950 dan 1960, Picasso banyak memproduksi gambar yang ditorehkan pada silver atau gold plate. Akan halnya karya Miró, yang dijual adalah sebuah drawing tinta di atas kertas dari 1972. Sketsa itu bagian dari drawing Miró dalam buku kumpulan puisi penyair Spanyol, Salvador Espriu. Hedonist Gallery adalah galeri asal Barcelona, Spanyol, yang berdiri pada 2014. Meningkatnya pemintaan di Asia membuat mereka memutuskan membuka pemasaran di Indonesia. Dalam situs galeri ini disebutkan mereka memiliki koleksi karya Lita Cabellut, Roy Lichtenstein, juga Marc Chagall. Mereka menekankan bahwa kini saatnya kolektor-kolektor Indonesia berinvestasi membeli lukisan maestro dunia melalui mereka. “Your best investment in Indonesia”.
Selera kedua galeri tersebut berbeda, misalnya, dengan Gajah Gallery asal Singapura, A+ Work of Art dari Kuala Lumpur, serta Museum of Toys. Yang dibawa Museum of Toys adalah karya bercorak fiksi boneka, animasi, dan kartun. Jelas sasaran galeri ini adalah kolektor milenial yang memiliki selera progresif. Beberapa galeri tampak mencoba memadukan perupa muda dan tua. Menarik bahwa di Hall B yang diisi ISA Art Gallery, Museum of Toys, Linda Gallery, D Gallerie, ROH, Gudang Gambar, dan Bale Project di bagian sebelum pintu keluar tersaji dalam layar-layar elektronik contoh koleksi seni non-fungible token (NFT). Lukisan-lukisan ini dikurasi Evan Tan, yang disebut-sebut sebagai salah satu kolektor terbesar lukisan di platform NFT. Agaknya panitia sadar pasar seni di NFT tidak bisa dihindari di masa depan dan akan hidup berdampingan dengan art fair mana pun.
“Suka tidak suka, market untuk NFT sudah jadi. Saya kira NFT tidak akan memakan pasar fisik lukisan. Pasar NFT kebanyakan kolektor berumur 18-30-an tahun. Sedangkan pasar lukisan fisik untuk kolektor berusia 45 tahun ke atas. Ke depan saya kira kedua pasar ini saling menguatkan. Pameran seperti art fair semacam ini bisa menjadi ajang pendidikan yang baik untuk kolektor-kolektor NFT dalam melihat berbagai kualitas karya,” kata Ali Kusno, pemilik Linda Gallery. Menurut dia, perkembangan pasar seni rupa di platform NFT makin menjanjikan. Ia sampai mengambil sekolah khusus untuk mendalami NFT di Oxford, London. “Ke depan bahkan lukisan-lukisan fisik perkembangannya akan dimasukkan NFT untuk dicatatkan di blockchain,” tuturnya.
Yang membuat berbeda memang patung di taman. Kompleks hutan kota Plataran cukup luas untuk menghadirkan puluhan bahkan mungkin seratusan patung. Selain karya Aaron Taylor Kuffner, di sana dipasang patung dan instalasi karya Afdhal, Abiebi, Adi Gunawan, Anggar Prasetyo, Nus Salono, Eddi Prabandono, Uji “Hahan” Handoko, Wiyoga Muhardanto, dan lain-lain. Hampir semua yang disajikan bukan patung konvensional. Karya Dolorosa Sinaga, Sitting on the Bench… Waiting, yang diletakkan di dekat pintu lobi restoran Plataran, agak lain dengan kecenderungan patung Dolorosa umumnya. Dihadirkan oleh galeri Façade X Kiniko Art, karya ini berupa patung fiberglass seseorang berkemeja biru, bertopi merah, dengan ukuran seperti manusia normal duduk di sebuah bangku kayu.
Pameran Art Jakarta Garden 2022 di Hutan Kota Plataran, Kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta, 7 April 2022/TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Akan halnya karya Roby Dwi Antono berjudul An Ardent Yearning, patung itu mengingatkan pada figur-figur ciptaan perupa terkenal Jepang, Yoshotomo Nara—gadis-gadis cilik dengan berbagai ekspresi emosi, sedih, atau geram. Sementara itu, karya Abiebi, Ballseye, melayangkan kita pada sosok film animasi keluarga, Bart Simpson. Yang juga menarik adalah karya Ashley Bickerton, Shark, figur pohon perunggu dengan cabang-cabang runcing seperti gigi hiu. Juga karya Iwan Suastika, The Undefeated Blackbird, serta karya Afdal, For You, yang materinya berupa lilitan kabel.
Orang kerap membandingkan biennale dengan art fair. Biennale, acara dua tahunan yang seluruh pemilihan karyanya dibingkai tema kuratorial tertentu, dipandang lebih “bernas” dibanding art fair yang karakternya cenderung seperti bazar. Tapi pengkategorian tersebut agaknya sudah usang. Sering kali art fair malah cenderung lebih dinamis dan progresif karena keberanian galeri-galeri membuka peluang pasar dengan menyajikan hal-hal terbaru dari para seniman. Di titik ini, sebuah art fair bisa menjadi terobosan.
Dengan penyelenggaraan Art Jakarta di sebuah hutan kota seperti di Senayan ini, kemungkinan-kemungkinan seperti itu terbuka lebar. Bahkan acara ini bisa menjadi acara lintas disiplin. Bayangkan bila di ruang terbuka itu ada sebuah program beberapa komponis merespons instalasi Gamelantron. Atau sejumlah koreografer ternama merespons patung kabel Afdal. Art Jakarta Gardens bukan hanya sebuah pesta seni rupa, tapi juga pesta seni pertunjukan
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo