Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Kelenteng dan Toleransi

Kelenteng berdiri di banyak sudut Kota Singkawang. Tak semata menjadi tempat ibadah, juga berperan besar dalam laju hidup warganya.

 

16 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hampir di tiap sudut kota Singkawang terdapat kelenteng

  • Ada yang dibangun karena kesamaan wilayah, marga, maupun donasi perantau

  • Singkawang menjadi kota paling toleran pada 2021

KATA “seribu” yang disematkan sebagai julukan kota-kota di Indonesia sekilas tampak hiperbolis. Ada Lombok (Nusa Tenggara Timur) yang berjulukan Kota Seribu Masjid. Sementara itu, Banjarmasin juga menyandang predikat sebagai Kota Seribu Masjid, Jepara Kota Seribu Pesantren, dan Singkawang adalah Kota Seribu Kelenteng. Kelenteng sendiri adalah sebutan untuk tempat ibadah yang berarsitektur Cina. Kenyataannya, jumlah kelenteng di Kota Singkawang tak mencapai ribuan, walau bisa dibilang banyak dan jumlahnya melebihi tempat peribadatan agama lain di sana.

Data di situs Badan Pusat Statistik Kota Singkawang 2019 menyebutkan jumlah vihara di bagian utara Kalimantan Barat ini sebanyak 60. Adapun jumlah cetya (tempat peribadatan orang Buddha dengan sarana lebih sederhana dibanding vihara) mencapai 789. Jumlah itu paling banyak di Singkawang Selatan, dengan 296 cetya dan dan 31 vihara. Sementara itu, pada tahun pencatatan yang sama, jumlah gereja Katolik ada 24, gereja Protestan 84, dan masjid 124.

Ikhsan Tanggong dalam bukunya, Agama dan Kebudayaan orang Hakka di Singkawang, menyebutkan banyaknya kelenteng dan yayasan sosial kematian serta banyaknya orang berkunjung ke makam leluhur pada hari-hari tertentu dapat diduga sebagai praktik pemujaan leluhur yang masih banyak dilakukan warga peranakan Cina, khususnya orang Hakka di wilayah ini. Kelenteng itu ada yang dibangun oleh kelompok marga atau atas dasar kesamaan marga ataupun tempat tinggal.

Dari banyaknya tempat peribadatan di sana, salah satu yang tersohor adalah Vihara Tri Dharma Bumi Raya alias Pekong Tua yang umurnya sudah lebih dari dua abad. Vihara itu bersebelahan dengan Masjid Raya Singkawang di Jalan Kelurahan Melayu, Singkawang Barat. Keberadaan dua tempat ibadah tua ini sejurus dengan riset Setara Institute. Oleh Setara, Singkawang dua kali dinobatkan sebagai kota paling toleran di Indonesia, yakni pada 2018 dan 2021.

Dosen Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada yang menggarap film dokumenter Multikulturalisme Singkawang, Dr Rizal Mustansyir, menyebutkan kota ini menjadi paling toleran karena melewati proses panjang. Ia teringat masa kecilnya di Singkawang yang beberapa kali menghadapi periode menegangkan. “Imbas dari konflik Pasukan Gerilya Rakyat Serawak, dulu saat saya masih di sekolah dasar, tiap berangkat ke sekolah pasti ada jenazah yang lewat,” ujarnya, Jumat, 15 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Vihara Tri Dharma Bumi Raya, yang terletak di pusat kota Singkawang, Kalimantan Barat/Yuliana Wisudyaningsih

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya pun, pada periode 1942-1945, terjadi peristiwa pembantaian di Mandor, Kabupaten Landak, oleh tentara Jepang, terhadap orang-orang di kawasan itu. Baik warga suku Dayak, Melayu, maupun Cina (suku bangsa Hakka) di sana sama-sama menjadi korban. Diperkirakan lebih dari 21 ribu orang tewas dalam tragedi itu. “Generasi terbaik habis dalam tragedi ini. Perjalanan ke generasi berikutnya pun tak mudah,” tutur Rizal yang kelahiran Singkawang, 1954.

Namun, dalam keseharian, Rizal menyimpan kenangan akan situasi sarat toleransi antar-etnis dan agama. Sehari-hari, menurut Rizal, warga di Singkawang terbiasa memakai bahasa “gado-gado” Melayu-Mandarin saat berbicara. Di salah satu mata pelajaran sekolahnya dulu pun siswa keturunan Cina biasa menyanyikan lagu-lagu berbahasa Mandarin, yang tak diprotes oleh guru ataupun siswa lain, walau kebanyakan dari mereka tak paham maknanya.

Pun banyaknya kelenteng yang ada di Kota Singkawang menjadi hal biasa di sana. Rizal menyebutkan kelenteng ada di hampir setiap sudut kota karena banyak perantau yang menyumbangkan duitnya untuk membangun tempat ibadah. “Ini jadi semacam hokinya (peruntungan),” ucap Rizal. Begitu pun keberadaan tempat ibadah orang Buddha dan agama lain yang bersebelahan. Saat perayaan Cap Go Meh (15 hari setelah tahun baru Cina) pun toleransi ini berlaku. “Saat azan zuhur kanaval dihentikan dulu,” katanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus