Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pelukis kontemporer Zico Albaiquni memamerkan belasan lukisan terbarunya di Space 8, Jakarta
Dikuratori Dr Sadiah Boonstra, pameran ini merangkum tubuh kekaryaan Zico dalam menyoal kolonialitas
Pameran ini berusaha menawarkan posisi ambang untuk membongkar struktur kolonialitas
PELUKIS kontemporer Zico Albaiquni, yang lahir pada 1987, menampilkan belasan lukisan terbarunya dalam sebuah pameran tunggal di Space 8, Ashta District 8, SCBD, Jakarta Selatan, yang diselenggarakan oleh Yavuz Gallery. Dikuratori oleh Doktor Sadiah Boonstra, pameran berjudul “Tilem. Disruptive Liminalities” yang berlangsung pada 30 Maret-8 Mei 2022 ini merangkum secara menyeluruh dan lengkap kekaryaan Zico mutakhir dalam menyoal kolonialitas. Jeprut, sebuah gerakan pertunjukan seni yang menggejala di Bandung pada akhir 1980-an, menginspirasi Zico menemukan bahasa ungkap seni lukisnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jeprut secara harfiah berarti “tiba-tiba pecah”. Jeprut secara konotatif bermakna “gila”, “aneh”, atau “sinting”. Seniman-seniman jeprut yang saat itu terdiri atas mahasiswa Institut Teknologi Bandung sering melakukan happening secara tiba-tiba, seenaknya, ganjil, dan mengganggu situasi tertentu yang sedang berlangsung. Jeprut saat itu mewujud sebagai disrupsi yang mengagetkan demi membongkar ketenangan dan ketertiban umum pada masa depolitisasi seni Orde Baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zico lantas menerjemahkan disrupsi pada semacam “kolase-kolase apropriasi” dalam lukisan-lukisannya. Beraneka citraan dari lukisan Eropa, pameran kolonial, dan foto arsip sejarah dikolase sedemikian rupa dengan citraan-citraan karya seni masa kini sehingga pemirsa dapat merasakan suasana “ambang” yang terbangun dari sejumlah peristiwa yang tak terhubung satu sama lain. Kolase-kolase apropriasi Zico menunjukkan kritik atas linearitas perjalanan sejarah seni rupa Barat yang diklaim selalu progresif mencerminkan kecanggihan akal budi manusia dalam bidang humaniora.
"Melawan Arus: You have that privilege and we have to deal with this shit", di Galeri Yavuz Space 8, ASTHA District 8 SCBD, Jakarta, 15 April 2022/TEMPO/ Faisal Ramadhan
Lukisan-lukisan Zico ingin menunjukkan anomali dan kontradiksi dalam setiap runutan peristiwa tonggak yang terkonstruksi oleh sejarah seni dan sejarah sosial dominan. Contoh anomali yang paling nyata dalam sejarah tak lain adalah pameran kolonial. Pada abad ke-19, negara-negara penjajah sering mengadakan eksposisi kolonial bersama. Dalam acara ekspo tersebut, negara penjajah bersaing memamerkan capaian sains dan humaniora di koloni-koloni mereka. Pameran kolonial semacam itu pada dasarnya mengotak-ngotakkan secara kaku bentuk-bentuk kebudayaan di koloni.
Kebudayaan-kebudayaan koloni yang sesungguhnya dinamis dan cair dianggap beku dan tidak selayaknya berubah oleh produksi pengetahuan orientalis. Hal ini lantas diwarisi oleh para elite dan cendekiawan dari negara-negara bekas jajahan dalam persaingan untuk mengklaim kepemilikan dan keaslian mutlak atas produk-produk budaya tertentu ataupun sebaliknya, menyangkal sumber produk budaya tertentu itu. Dalam pameran kolonial sesungguhnya terkandung rasisme, perdagangan manusia, perbudakan, kerja paksa, perampokan, pencaplokan lahan, dan pengisapan lingkungan. Produksi pengetahuan yang didasari motif persaingan imperial pada prinsipnya justru mengangkangi otonomi pengetahuan itu sendiri.
Lukisan berjudul The Struggles in Exotic karya Zico merefleksikan hal itu. Lukisan ini menampilkan reproduksi foto pameran kolonial pada 1883 di anjungan milik pemerintah kolonial Belanda di Amsterdam. Reproduksi foto ini kemudian oleh Zico didisrupsi dengan sejumlah citra lukisan kontemporer karya Agus Suwage dan I G.A.K. Murniasih di National Gallery of Australia, pertunjukan kelompok Ke’ruh (Diyanto, Isa Perkasa, dan Tisna Sanjaya) di Singapore Art Museum, serta karya Matamoe oleh Paul Gauguin. Dengan kolase ini, Zico ingin menunjukkan kontradiksi dalam diskursus sejarah seni rupa Barat. Oleh narasi sejarah seni rupa Barat, adaptasi produk-produk budaya primitif di Timur oleh pelukis-pelukis Eropa seperti Paul Gauguin dan Picasso dianggap sebagai inovasi. Padahal sesungguhnya itu bisa disebut sebagai sebentuk kolonialitas.
Lukisan Melawan Arus: You have that privilege, and we have to deal with this shit menjukstaposisikan tiga rujukan, yakni sebuah reproduksi karya video-performance dari seniman Anggawedhaswara berjudul What Your Art (Water) for? (2010), lukisan The Brockman family at Beachborough Temple Pond with Temple in the Distance (1776) karya Edward Hatley, dan reproduksi sebuah peristiwa pengeboman di Jalur Gaza, Palestina.
Penyandingan lukisan The Brockman family at Beachborough Temple Pond with Temple in the Distance dan What Your Art (Water) for? dengan pertunjukan Anggawedhaswara menyusuri Sungai Citarum paling menarik perhatian. Penyandingan ini secara menarik dan ganjil menyuarakan penolakan terhadap posisi seni yang netral dan hanya berkutat pada keindahan. Lukisan Hatley didisrupsi oleh reproduksi pertunjukan Anggawedhaswara menyusuri sungai yang disebut-sebut sebagai salah satu sungai paling tercemar di dunia itu. Melawan arus Citarum, Anggawedhaswara menanyai orang-orang yang ia temui dalam penyusuran itu tentang peran seni.
Dalam praktiknya, kenetralan seni justru membela kepentingan-kepentingan tertentu. Ihwal Citarum, misalnya, terdapat dalam sebuah lukisan karya Antoine Auguste Joseph Payen yang berjudul The River Citarum, Priangan (West Java), with figures on a tree trunk-raft (1880) koleksi National Gallery Singapore. Oleh pemerintah kolonial Belanda, Payen ditugasi merekam sebanyak dan sepersis mungkin pemandangan serta spesimen yang dibutuhkan saat menyertai proyek ekspedisi sains perdana di Hindia Belanda. Debut proyek sains itu dilakukan di bumi Parahyangan dan antara lain menyusuri Sungai Citarum. Proyek sains itu kemudian tidak memberikan manfaat bagi penduduk koloni sekalipun lukisan Payen tersebut berhasil menggambarkan permainya hulu Citarum yang berbatu-batu. Produksi ilmu pengetahuan oleh pemerintah kolonial menjadi ajang persaingan imperial dan eksploitasi. Kegagalan elite lokal membersihkan Citarum hingga sekarang bisa dihubungkan dengan langgengnya kolonialitas.
Bagaimanapun, mengkritik kolonialitas lebih mudah dibanding melepaskan diri dari kolonialitas yang telah lama bersemayam dalam diri kita. Kolonialitas ternyata berkelindan dengan beragam kepentingan yang lebih rumit dan bertopeng dengan banyak atas nama: “nasionalisme”, “ketertiban umum”, “pembangunan infrastruktur”, “pertumbuhan ekonomi”, “menyerap tenaga kerja”, “pemberdayaan masyarakat”, dan sebagainya.
Pameris Zico Albaquni (kiri) dan Kurator pameran Sadiah Boonstra (kanan) pada pameran bertajuk TILEM DISRUPTIVE LIMINALITES di Galeri Yavuz Space 8, ASTHA District 8 SCBD, Jakarta, 15 April 2022/TEMPO/ Faisal Ramadhan
Pameran Tilem berhasil menunjukkan betapa digdayanya kolonialitas meskipun kolonialisme telah berakhir. Maka penting juga untuk mencermati gejala-gejala kolonialitas dalam praktik-praktik seni, terutama yang menggunakan arsip-arsip sejarah yang disimpan oleh institusi arsip yang mapan. Pembacaan yang kritis atas sejarah dan pembandingan dengan situasi-situasi nyata hari ini diperlukan agar para seniman tidak terjebak dalam siklus produksi pengetahuan orientalis.
Sebab, dalam banyak karya, kacamata kritis justru sering absen, digantikan oleh perayaan-perayaan belaka atas berlimpahnya arsip. Arsip-arsip sejarah bisa memicu antusiasme yang berlebihan karena mereka tampak sebagai benda-benda yang asing yang menenggelamkan kita dalam upaya tak berkesudahan untuk mencari tahu. Selain dapat memerangkap seniman dalam eksekusi dan presentasi karya yang serba permukaan, situasi ini bisa mencegah kekritisan mereka untuk menengarai untuk apa pada awalnya arsip-arsip itu disimpan dan dirawat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo