Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Stuart Hall adalah salah satu tokoh pemikir kajian budaya (cultural studies). Pemikirannya banyak menginspirasi dan terkadang mengkritik Partai Buruh di Inggris. Koran bergengsi The Guardian edisi 10 Februari 2014 menurunkan artikel bertajuk “’Godfather of multiculturalism’ Stuart Hall dies aged 82”. Berita itu menyebut Hall sebagai sosiolog yang memiliki pengaruh besar terhadap perdebatan masalah akademis, politik, dan kebudayaan di Inggris dalam enam dekade terakhir.
Hall menulis ratusan esai dan komentar yang mutunya tak kalah oleh buku mana pun. Esai-esai yang ia tulis mengajukan sejumlah gagasan yang cukup baru—menunjukkan ada banyak sekali minat yang hendak dibahasnya—dan berbeda dari para pemikir lain yang mengumpulkan gagasannya dalam sebuah buku utuh. Pemikiran Hall yang parsial—tersebar di berbagai tempat—itu mencakup diskusi mendalam dari masalah ideologi, ras, media, audiens, kebudayaan populer, hingga kebijakan kebudayaan.
Buku ini mengumpulkan kembali tulisan-tulisan penting Hall yang terentang mulai 1970-an hingga dekade pertama abad ke-21. Esai-esai terpilih yang dikumpulkan dalam volume pertama buku yang diberi tajuk Foundations of Cultural Studies itu berfokus pada paruh pertama karier Hall. Esai-esai itu di antaranya “Cultural Studies- and Its Theoretical Legacies”, “Rethinking Base and Superstructure”, “Encoding and Decoding in the Television Discourse”, dan “Culture, Media and Ideological Effect”. Juga pengantar dari buku klasik Policing the Crisis: Mugging, the State, and Law and Order (Critical Social Studies), yang aslinya terbit pada 1978.
Adapun volume 2, seperti judulnya, Identity and Diaspora, memuat esai-esai Hall yang terkait dengan problem identitas dan diaspora, antara lain “Gramsci’s Relevance for the Study of Race and Ethnicity”, “Old and New Identities, Old and New -Ethnicities”, “The West and the Rest: Discourse and Power”, dan “Thinking the Diaspora: Home-Thoughts from Abroad”.
Hall lahir di Kingston, Jamaika, pada 3 Februari 1932. Anak bungsu dari tiga bersaudara ini lahir dari keluarga kelas menengah. Keluarganya memiliki sejarah panjang pertemuan antarkultur dan antarkelas sosial sehingga sejak awal Hall tumbuh dalam sebuah keluarga yang tidak beridentitas tunggal. Dalam tubuh Hall ada darah Portugis, India, Afrika, dan Yahudi.
Pada 1951, ia pergi ke Bristol, Inggris, untuk studi sebelum menetap di Oxford untuk kuliah di University of Oxford. Di Oxford pula Hall berkenalan dengan teman-teman yang berpengaruh besar pada pemikiran dan karier akademisnya, seperti Raymond Williams, Raphael Samuel, Richard Hoggart, dan Charles Taylor. Bersama E.P. Thompson dan Raymond Williams, ia mendirikan New Left Review. Karena tulisannya tentang kebudayaan populer pada 1964, Hall diundang bergabung oleh Richard Hoggart, Direktur Birmingham Center for Contemporary Cultural Studies (BCCCS).
BCCCS merupakan pusat kajian kebudayaan pertama di Inggris yang didirikan Hoggart pada 1964 di University of Birmingham. Hall menjadi pemimpin di lembaga itu selama 14 tahun. Pada 1979, ia pindah ke Open University di London dan bekerja sebagai guru besar di sana hingga 1997. Pemikiran Hall banyak menginspirasi baik para intelektual maupun para aktivis. Belakangan, ia mengaku ada tiga tokoh penting yang mempengaruhi pemikirannya, yakni Michel Foucault, Antonio Gramsci, dan Louis Althusser.
Setelah menyelesaikan studi di Oxford, Hall memutuskan tidak pulang ke Jamaika, tapi menceburkan diri dalam pergerakan politik di Inggris, yang kemudian memunculkan kelompok radikal dan kelompok politik sayap kiri. Bersama sejumlah rekannya yang sama-sama berkulit hitam, Hall terlibat aktif dalam berbagai diskusi di kelompok buruh dan kelompok komunis, walaupun ia tak pernah tercatat sebagai anggota partai buruh ataupun partai komunis.
Menerbitkan kembali kumpulan tulisan Hall ini adalah bagian dari upaya merawat warisan pemikirannya yang telah dikutip di mana-mana serta telah menginspirasi dan mencerahkan banyak pembaca. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa ia adalah salah satu tokoh pemikir penting Inggris. Pada tahun-tahun terakhir hidupnya, Hall menderita sakit berkepanjangan yang membuatnya terus absen dalam pertemuan publik hingga ia menutup mata untuk selamanya pada 9 Februari 2014. Hall memang meninggalkan dunia, tapi warisan pemikirannya akan terus dibicarakan.
IGNATIUS HARYANTO, PENGAJAR DI UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo