Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI tengah banjir yang merendam sebagian wilayah Jakarta pada akhir April lalu, Presiden Joko Widodo kembali mengangkat wacana pemindahan ibu kota negara. Alasannya, Jakarta sulit memikul beban sebagai pusat pemerintahan dan bisnis sekaligus.
Pertama kali dicetuskan Presiden Sukarno pada 1950-an, gagasan pemindahan ibu kota timbul-tenggelam pada setiap periode pemerintahan. Presiden Jokowi lalu menugasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mengkaji rencana tersebut sejak dua tahun lalu untuk mendapatkan hasil yang lebih konkret.
Bappenas menyuguhkan tiga pilihan. Pertama, ibu kota tetap di Jakarta tapi dibuat kawasan khusus pemerintahan yang berpusat di sekitar Istana Negara dan Monumen Nasional. Kedua, ibu kota dipindahkan ke wilayah terdekat, seperti Bogor, Depok, Tangerang, atau Bekasi. Ketiga, ibu kota dipindahkan ke luar Pulau Jawa. Dalam rapat terbatas pada Senin, 29 April lalu, Jokowi memilih opsi ketiga. “Kami ingin mengurangi kesenjangan Jawa dan luar Jawa,” kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam wawancara khusus dengan wartawan Tempo, Reza Maulana dan Angelina Anjar, di kantornya, Senin, 6 Mei lalu.
Bambang, 52 tahun, menepis kritik yang menyebutkan pemindahan ibu kota lebih banyak membawa mudarat ketimbang manfaat. Dia mencontohkan Brasilia—ibu kota Brasil yang dibangun dari nol pada 1960—yang mendorong pemerataan ekonomi dari wilayah pedalaman, jauh dari denyut ekonomi di Rio de Janeiro dan Sao Paulo di pesisir. “Kalau orang bilang Brasilia sepi, memang bukan tujuan Brasilia menggantikan Rio de Janeiro,” ujarnya.
Pakar ekonomi pembangunan dari Universitas Indonesia ini menggambarkan ibu kota baru Indonesia dengan populasi maksimal 1,5 juta akan seperti Washington, DC, yang tidak segemerlap New York di Amerika Serikat. Sejauh ini, pemerintah belum menentukan lokasi ibu kota baru itu. Jokowi berkeliling Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah untuk meninjau bakal lahan ibu kota pada Selasa-Rabu, 7-8 Mei lalu. Pada hari berikutnya, di Jakarta, Presiden mencanangkan Visi Indonesia 2045 atau Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2020-2045, yang juga kajian Bappenas. Kepada Tempo, Bambang memaparkan, jika berjalan mulus, rencana itu akan membawa Indonesia menjadi kekuatan ekonomi terbesar keempat pada 2045.
Mengapa pemerintah kembali mengangkat wacana pemindahan ibu kota?
Isu ini mulai tidak dibicarakan lagi ketika kampanye pemilihan umum karena kami tidak mau isu ini merepotkan pemerintah. Sekarang isu ini dihidupkan kembali karena Presiden punya visi jangka panjang bahwa suatu saat nanti ada kebutuhan memindahkan ibu kota. Presiden sangat paham bahwa tidak mungkin memindahkan ibu kota dalam waktu pendek. Karena itu, isu ini dibahas kembali, meskipun realisasinya mungkin masih lima atau sepuluh tahun lagi.
Jadi rencana ini datang dari Presiden Joko Widodo?
Ya. Presiden pernah menyampaikannya beberapa kali. Sejak dua tahun lalu, saya juga sudah menyampaikan studinya beberapa kali.
Apa pertimbangan pemerintah memindahkan ibu kota?
Satu, kami ingin mengurangi kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa. Kedua, kami ingin mengurangi beban Jakarta. Kami ingin mendorong Jakarta benar-benar menjadi pusat bisnis dan keuangan regional, bukan lagi nasional. Tiga, kami ingin memperbaiki sistem urbanisasi di Indonesia. Kita harus punya kota yang didesain secara benar dari nol. Pada umumnya, kota-kota di Indonesia berawal dari sebuah kampung atau kota kecil yang berkembang menjadi kota besar sehingga kita tidak pernah mendapatkan bentuk kota yang ideal. Kami juga ingin menegaskan fakta historis. Bagaimanapun, Jakarta dibangun VOC (Persekutuan Dagang Hindia Belanda) saat masih bernama Batavia. Kami ingin ibu kota didesain sendiri oleh orang Indonesia, tidak sekadar meneruskan hasil kolonialisme Belanda.
Seberapa mendesak pemindahan ibu kota dalam kondisi ekonomi sulit seperti sekarang?
Soal mendesak atau tidak, tergantung cara kita melihat. Kalau melihat secara jangka pendek, mungkin tidak mendesak. Nah, kami melihatnya secara jangka panjang. Beban Jakarta sudah begitu luar biasa. Yang paling berat adalah beban kemacetan dan banjir. Air bersih dan air limbah pun belum tertangani dengan baik. Untuk membereskan Jakarta menjadi sebuah kota yang lebih nyaman bagi pemerintahan, butuh biaya yang bisa-bisa lebih besar daripada membangun ibu kota baru. Gubernur DKI Jakarta saja mengajukan Rp 570 triliun.
(Maret lalu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengajukan permintaan anggaran Rp 571 triliun kepada pemerintah pusat untuk membangun sistem transportasi terintegrasi dan permukiman, menyediakan cakupan air bersih dan jaringan air limbah, serta mengendalikan banjir. Adapun untuk membangun ibu kota baru, Bappenas memperkirakan biayanya Rp 466 triliun.)
Mengapa anggaran pemindahan ibu kota tidak dialokasikan saja untuk membangun transportasi publik sehingga kemacetan Jakarta berkurang?
Kami akan tetap membangun sarana transportasi publik di Jakarta. Yang Rp 570 triliun tadi akan tetap kami bangun. Tapi saya bilang ke Gubernur DKI Jakarta, ini tidak hanya menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tapi juga badan usaha milik negara, swasta, ataupun skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU).
Atau anggaran tersebut dialihkan untuk membuka lapangan kerja di daerah sehingga urbanisasi di Jakarta berkurang?
Membangun ibu kota baru juga akan membuka lapangan kerja yang luar biasa, paling tidak dalam bidang konstruksi. Kami pun akan mengembangkan industrialisasi berbasis hilirisasi sumber daya alam di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Itu juga akan menyerap tenaga kerja. Artinya, ini kegiatan yang tidak mengganggu kegiatan lain. Ini kegiatan tambahan.
Dari tiga opsi pemindahan ibu kota, mengapa pemerintah memilih luar Jawa?
Karena kami ingin ada pengaruhnya bagi daerah lain. Contoh yang paling bagus adalah Brasilia, ibu kota Brasil. Banyak orang bilang Brasilia sepi. Orang tetap senang ke Rio de Janeiro. Memang bukan salah Brasilia dan memang bukan tujuan Brasilia menggantikan Rio de Janeiro. Rio de Janeiro dan Sao Paulo tetap menjadi kota terbesar. Bisnis, keuangan, dan ekonomi berada di sana. Brasilia hanya pusat pemerintahan. Tapi, karena ada Brasilia yang posisinya di tengah dan jauh dari pantai selatan, akhirnya ada kota dengan 2,5 juta penduduk di daerah yang tadinya tidak ada orangnya. Sekarang dia menjadi kota terbesar ketiga di Brasil setelah Rio de Janeiro dan Sao Paulo. Artinya ada dampak ekonomi, paling tidak bagi masyarakat di daerah itu.
Sejumlah pihak khawatir ibu kota yang baru ini akan sepi....
Ibu kota yang baru ini tidak didesain menjadi Jakarta kedua. Kota ini benar-benar hanya pusat pemerintahan. Jadi, kalau nanti berkembang, kota ini akan seperti Washington, DC, di Amerika Serikat atau Canberra di Australia. Memang sepi, tidak seperti New York atau Sydney. Ibu kota yang baru ini memang tidak didesain seramai Jakarta.
Naypyidaw, ibu kota baru Myanmar, mendapat sorotan negatif karena seperti kota mati. Tanggapan Anda?
Niatnya mau bikin rame atau pusat pemerintahan?
Artinya tidak ada dampak ekonominya....
Kan, tidak harus. Yang penting, pusat pemerintahan berjalan. Mungkin juga dampaknya belum terlihat sekarang.
Mengapa pemerintah tidak memilih membangun pusat pemerintahan yang relatif dekat dengan Jakarta, seperti Putrajaya di Malaysia?
Itu akan memperkuat kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa, khususnya Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) dengan daerah lain. Kami ingin ada penyebaran.
Jadi pembangunan ibu kota baru di luar Jawa untuk mengurangi kesenjangan ekonomi?
Itu salah satu caranya. Dalam lima tahun ke depan, di samping kota-kota metropolitan di Jawa, kami akan tetap mengembangkan kota metropolitan di luar Jawa, seperti Medan, Palembang, Banjarmasin, Denpasar, Makassar, Manado. Kami pun akan mengembangkan pusat kawasan industri dan ekonomi khusus. Jadi kami punya banyak cara untuk mengurangi kesenjangan.
Kota itu dirancang sebesar apa?
Versi yang paling besar, penduduknya tidak akan lebih dari 1,5 juta orang. Ada juga versi yang hanya 1 juta orang. Nah, untuk yang 1,5 juta orang, kalau jadinya sepuluh tahun lagi, dia tidak akan masuk sepuluh kota terbesar di Indonesia. Mungkin hanya masuk 20 besar. Tapi memang jangan sampai kota ini kelebihan populasi sehingga menjadi ramai dan macet. Letak kota ini juga tidak akan jauh dari kota yang fungsional. Jadi tidak usah bikin bandar udara atau pelabuhan lagi. Jalan pun, kalau bisa, memakai yang sudah ada.
Semua kantor pemerintahan akan pindah?
Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif pindah. TNI dan Polri pindah. Kedutaan dan perwakilan negara asing juga pindah. Tapi Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal tetap karena Jakarta didesain sebagai kota bisnis, keuangan, dan ekonomi.
Berapa banyak aparat yang diboyong?
Saat ini pegawai pemerintah pusat, termasuk legislatif dan yudikatif, berjumlah 195 ribu orang. Anggota TNI dan Polri 25 ribu orang. Nantinya jumlah itu tidak banyak berubah. Sementara itu, anggota keluarganya, dengan asumsi satu keluarga terdiri atas empat orang, berjumlah 880 ribu orang.
Dari mana anggaran pemindahan ibu kota ini?
Kami akan merinci mana yang harus memakai APBN, mana yang bisa melibatkan BUMN, mana yang murni dibiayai swasta, dan mana yang menggunakan skema KPBU. Intinya, dalam rapat terbatas lalu, Presiden menyampaikan agar pemakaian APBN diminimalkan.
Anggaran sebesar itu tidak akan membebani APBN?
Ini kan tidak langsung digelontorkan dalam satu tahun. Kalau sepuluh tahun, dalam setahun sebesar Rp 46,6 triliun, gede atau kecil? Ini pun baru perkiraan awal, masih bisa dikurangi. APBN kita Rp 2.500 triliun, lho.
Gedung-gedung pemerintah pusat di Jakarta akan diapakan?
Kami bisa membuat manajemen aset untuk aset-aset pemerintah di Jakarta. Aset itu bisa kami sewakan kepada swasta. Swasta membayarnya dengan membangun di ibu kota baru. Tapi aset tetap dimiliki pemerintah.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro (tengah) memberikan keterangan pers mengenai pembahasan rencana pemindahan ibu kota negara di Jakarta, Selasa, 30 April 2019. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Anda sempat mengatakan bahwa ibu kota bisa dipindah dalam waktu lima tahun....
Mungkin lima tahun itu tahap awal. Paling tidak sudah ada infrastruktur dasar dan sudah mulai beroperasi beberapa kegiatan di sana. Tapi idealnya memang sepuluh tahun. Seperti Sejong, Korea Selatan, yang baru akan pindah pada 2030, tapi beberapa kementerian sudah pindah ke sana.
Pemindahan akan dicicil?
Ya, pembangunannya pasti nyicil. Kami juga mengusulkan dibentuknya sebuah badan otoritas yang bertanggung jawab dari perencanaan, pembangunan, sampai pengelolaan awal supaya segala sesuatunya lebih terjaga. Salah satunya soal harga tanah, agar tidak menjadi luar biasa tinggi, sehingga ibu kota ini tetap inklusif, bisa ditinggali siapa pun. Jangan sampai ibu kota ini tidak ada yang bisa menempati karena harga tanahnya kemahalan dan tak terkendali, seperti Jakarta.
Dalam Visi Indonesia 2045, pemerintah masih akan berfokus pada infrastruktur. Apa alasannya?
Stok infrastruktur kita terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2015 hanya 43 persen. Padahal rata-rata stok infrastruktur negara-negara dunia terhadap PDB-nya sudah 70 persen. India 58 persen, Cina 76 persen, bahkan Afrika Selatan 87 persen. Belum lagi angka stok infrastruktur kita terus menurun. Artinya, kenaikan PDB tidak diimbangi dengan pembangunan infrastruktur. Kalau terjadi penurunan, mau tidak mau kita harus membangun secara besar-besaran. Pada 2010-2014, pembiayaan infrastruktur mencapai Rp 679 triliun. Pada 2015-2019, jumlahnya naik hampir tiga kali lipat mencapai Rp 1.620 triliun. Tapi itu hanya bisa mengangkat stok infrastruktur kita dari 35 persen menjadi 43 persen.
Pembangunan infrastruktur apa yang menjadi fokus?
Kita harus membangun tiga jenis: infrastruktur pelayanan dasar, yaitu permukiman, air, sanitasi, keselamatan transportasi, dan sebagainya, yang dibiayai APBN; infrastruktur penunjang ekonomi, khususnya pertanian, industri, dan pariwisata; serta infrastruktur perkotaan, seperti mass rapid transit, lintas rel terpadu, dan busway.
Bank Dunia menyebutkan porsi KPBU dalam pembangunan infrastruktur masih kecil. Pemerintah lebih banyak memberikan kepada BUMN. Tanggapan Anda?
Proyek infrastruktur dengan skema KPBU memang masih 10-15 persen. Itu pun termasuk jalan tol, yang sebenarnya tidak murni KPBU. Jadi kita harus mengakui selama ini pelabuhan dan bandara terbaik dipegang BUMN. Ke depan, kami berharap, kalaupun bandara sudah dibangun, pengembangannya masih bisa dikerjakan dengan skema KPBU, bekerja sama dengan swasta.
Mengapa pemerintah mengandalkan BUMN?
Ada sejarahnya kenapa the best asset dipegang BUMN. Awalnya swasta belum siap, baik dari sisi modal maupun sisi kemampuan menakar risiko. Bagi mereka, infrastruktur adalah bidang baru. Saat ini swasta sudah mulai bisa menakar risikonya, tapi masih ragu-ragu. Supaya mereka tidak ragu-ragu, pemerintah menawarkan skema KPBU. Bentuknya semua uang dan pekerjaan dari mereka, tapi mereka diberi kepastian, seperti konsesi dan tarif.
Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro
Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 3 Oktober 1966
Pendidikan: S-1 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1985-1990), S-2 Tata Transportasi dan Ekonomi Pembangunan University of Illinois, Amerika Serikat (1991-1993), S-3 Ilmu Regional dan Ekonomi Pembangunan University of Illinois (1993-1997)
Karier: Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (2016-sekarang), Menteri Keuangan (2014-2016), Wakil Menteri Keuangan (2013-2014), Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (2011-2013), Direktur Jenderal The Islamic Research and Training Institute Islamic Development Bank (2009-2011), Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (2005-2009)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo