Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Khozy Rizal: Aku Ingin Penonton Menertawakan Diri Sendiri

Sutradara Khozy Rizal membuat film Basri and Salma in A Never-ending Comedy untuk mengeksplorasi pengalaman pribadi.

4 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Basri and Salma in A Never-ending Comedy masuk kompetisi utama Festival Film Cannes.

  • Satu-satunya film pendek dari Asia yang masuk kompetisi utama festival film bergengsi itu.

  • Ceritanya biasa, tapi memuat unsur-unsur yang tidak biasa.

TIGA orang itu terlihat selalu bersama di keramaian Cannes, Prancis selatan, pada pertengahan Mei lalu. Mereka adalah pembuat film pendek Basri and Salma in A Never-ending Comedy: sutradara Khozy Rizal serta dua pemeran utama, Arham Rizky Saputra–yang sering kali mengenakan sarung–dan Rezky Chiki. Sesekali produser John Badalu bersama mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pembuat film asal Makassar, Sulawesi Selatan, itu membuat sejarah. Film mereka memasuki kompetisi utama Festival Film Cannes. Menurut Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim, Basri and Salma merupakan film pertama Indonesia yang masuk kompetisi utama acara tahunan bergengsi itu. “Tahun ini bahkan satu-satunya film Asia yang masuk untuk film pendek,” kata Nadiem, yang hadir di Cannes, 18 Mei lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Khozy, John, Arham, dan Rezky menerima Tempo di Palais des Festivals et des Congrès, Cannes, area festival yang ramai, pada 20 Mei. Film mereka ditayangkan di teater gedung itu pada 26 Mei, sehari sebelum festival ditutup. Meski tidak memenangi kompetisi, karya mereka cukup mendapat perhatian.

Tempo menambahkan wawancara melalui telepon pada Jumat, 2 Juni 2023. Berikut petikan wawancaranya. Jawaban diberikan oleh Khozy (K) dan John Badalu (J).

Film pendek "Basri and Salma in a Never-Ending Comedy" karya sutradara Khozy Rizal. Dok. Hore Pictures

Bagaimana Anda mengawali pembuatan film pendek Basri and Salma ini?

K: Inspirasi pertama kalinya dari odong-odong. Di Makassar, banyak banget odong-odong lalu-lalang di jalan. Waktu pulang ke Malino dari Makassar, saya melihat odong-odong dan berpikir, "Wah cakep juga, nih, kalau aku bikin film." Lampunya kan warna-warni. Apalagi kalau malam hari, cakep banget. Tapi memang awalnya masih belum tahu mau bikin film apa.

Setting-nya dulu yang kepikiran, ya?

K: Iya. Gila, odong-odong itu cinematic banget. Terus, aduh mau bikin film apa, ya? Masih bingung apa yang kuat kaitannya dengan odong-odong? Oh, mungkin kita omongin tentang anak-anak. Aku pun punya banyak banget pertanyaan tentang anak-anak. Tentang kehadiran mereka di dunia, di Indonesia, dan segala macam. Oke, kayaknya aku mau bahas tentang anak-anak, deh. Akhirnya waktu itu bikin skenario bab 1 sama Kak John Badalu.

Apa komentar John?

K: Dia baca, lalu bilang, "Ini jelek banget." Kata dia, “Sudahlah, mending enggak usah dibikin karena walaupun kau mau bikin film tentang anak-anak, tapi approach-nya bukan tentang anak-anak.” Memang bab 1 lebih gimana susahnya Si Basri membuat anak gitu. Menurut Kak John, ceritanya tidak segar dan sudah banyak film yang mengangkat soal ini.

Kesel dong?

K: Aku pikir bahas apalagi, ya? Take yang segar, tuh, kayak apa gitu? Eh, mungkin kalau kita ambil fokusnya agak beda, mungkin lebih seru kali, ya? Aku revisi-revisi, dan akhirnya John bilang, “OK, let’s go, let’s do this.”

Apa yang membedakan ide awal dengan setelah diskusi itu?

K: Awalnya kan lebih tentang Basri yang impoten. Dia pengin punya anak. Dan cerita seperti itu sudah sering banget. Lebih berfokus ke Basri. Salma-nya enggak terlalu fokus ke situ. Jadi, bagaimana agar cerita bisa berfokus ke dua perspektif karakter ini. Oke, kita ubah, melipir sedikit ke perspektif istrinya dan bukan soal susahnya Basri sembuh dari impoten. Film akhirnya melibatkan dua karakter, membahas problematika mereka berdua berkaitan dengan isu anak.

Kenapa awalnya Anda enggak yakin dengan ide Basri and Salma?

J: Sebagai produser, dan kebetulan juga programmer festival, aku banyak nonton film. Jadi, ya, kalau ceritanya biasa-biasa saja, wah, ngapain dibikin. Sudah banyak juga tema seperti itu. Dan kalau aku mau produseri suatu proyek, itu aku juga lumayan terlibat di script. Jadi, misalkan kasih masukan, enggak langsung telan bulat-bulat saja. Jadi, kalau ada filmmaker yang datang, aku ada ide ini, yuk bikin, aku enggak akan langsung terima biasanya. Ada proses mengembangkannya bersama-sama. Terlibat di dalam, terlibat dari sisi kreatif dan akhirnya memberikan masukan-masukan karakternya mungkin dibuat begini, jadi agak sedikit beda, sudut pandangnya dibuat sedikit beda. Menurutku, setiap film itu harus ada pengalaman pribadi dari pembuat filmnya, dari sutradaranya. Agar biar lebih kuat karena dia mendalami isu itu. Sutradaranya kan dia yang menulis. Jadi, kalau dia tidak menguasai, kalau dia tidak pernah mengalami, nanti kelihatan gitu di filmnya.


Memang apa sih yang dilihat?

J: Dari draf 1, aku lihat ceritanya sangat umum, yaitu tentang pasangan yang belum punya anak. Dipaparkan terlalu jelas, yaitu impoten. Bagiku, wah, enggak ada yang baru. Aku, tuh, suka film yang membuat orang jadi bertanya-tanya.

Dia juga lebih memfokuskan ke percakapan di meja makan yang panjang banget. Kan dia mau bikin film pendek 15 menit, tapi percakapannya saja sendiri bisa tujuh menit. Membosankan kalau sebuah adegan hanya di meja makan ngobrol. Kameranya di situ aja, enggak bergerak ke lokasi lain. Itu treatment untuk film panjang.

Sutradara Khozy Rizal dalam proses syuting film pendek “Basri & Salma in a Never-Ending Comedy”. Instagram/ @khozyrizal


Beda pendekatannya, ya?

J: Film itu bahasa visual, bukan verbal. Jadi, segala-galanya kalau bisa jangan dijelaskan dengan ngomong, melainkan dengan visual. Jadi, ada gestur gitu. Aku banyak mengurangi hal itu di draf pertama. Tapi dia malah bilang, "Aku enggak mau. Aku mau dialognya banyak. Keluargaku itu ribut.”


Oh, jadi latar belakangnya keluarga Anda?

K: Ya, itu juga jadi salah satu inspirasi. Family gathering itu sangat menyusahkan kadang-kadang. Saya pengin menunjukkan banyak lapisan soal kekerasan dalam rumah tangga, lalu kontras keluarga yang di luar baik tapi di dalam sangat kotor, lalu tentang anak lagi. Jadi, adegan pas makan panjang banget karena pengin membahas banyak hal.

Tapi John enggak suka terlalu maksain masuk muatan-muatan.


J: Menurutku, untuk film pendek, percakapan jangan mengulang-ulang. Aku juga memikirkan secara teknis, kalau banyak ngomong, translate dan subtitle-nya juga repot.


Sampai berapa lama yakin ini skenario yang bagus?

K: Setelah dibantai John, tiga bulan aku enggak nulis. Ini tahun 2021. Aku kerja, lalu sering ke acara keluarga. Di sana malah banyak banget menemukan lapisan. Dialog di meja makan, tuh, gila. Aku dari keluarga muslim konservatif. Tapi di meja makan ngomongnya jorok banget. Ngomongin tentang seks, bahkan ukuran kelamin. Oh, my God, ini kontras banget. Cewek-cowok sama. Emak gue juga ngobrol gitu. Inilah orang Indonesia. Sudah mulai religius, tapi sebenarnya di dalam sangat terbuka. Inilah yang aku eksplorasi untuk film.


J: Jadi, ini ada pengalaman pribadi. Yang di skrip awal, dia tidak pernah mengalami, tidak ada kejadian. Begitu masuk pengalaman pribadi, jadi lebih kuat.


Bagaimana cara menemukan pemain yang tepat?

K: Ah, agak unik sebenarnya, terutama si Chiki–pemeran Salma. Dia kan bekerja di skena musik dan juga penerjemah juru bahasa isyarat. Kami sama-sama follow di Instagram waktu itu. Lalu aku sering melihat Instagram story dia. Dia sering nyerocos tentang menjadi perempuan Makassar, di umur 30-an tahun, belum menikah, dan tidak berjilbab. Saya pikir, "Ini, mah, Salma banget". Akhirnya aku sapa, "Halo, Chiki. Gue mau casting lu buat film Basri and Salma." Dia awalnya enggak pede karena belum pernah main film.

Saya bilang, "Sudahlah, datang saja casting. Elu enggak usah acting, tapi jadi diri sendiri aja." Dia datang pada hari terakhir. Kami berdua senang banget karena dia natural banget.


(Chiki menimpali: Salma itu bahasanya memang bahasa saya. Latar tempat tinggalnya itu juga tempat tinggal saya waktu kecil. Jadi, tidak terlalu sulit untuk meraba lingkungannya. Dan itu juga terjadi di lingkunganku, bahkan lebih buruk.)


K: Nah kalau Arham–pemeran Basri–memang dedicated actor juga. Dia suka ikut casting di Makassar. Kadang dapat peran kecil di series. Sering kali dia ditolak dan hampir menyerah. Dia hampir mau balik kampung. Tapi dia iseng ikut casting Basri and Salma, dan kemudian syok banget dapat peran utama.


Apa yang ingin diterima penonton setelah menonton Basri and Salma?

K: Kalau aku mungkin lebih ingin orang bisa ketawa-tawa, menertawakan diri sendiri. “Gila, ya, kita sering banget merasa superior dengan pilihan kita dan memaksakan orang menjadi seperti kita juga." Tapi buat apa, sih? Ini bukan film yang serius-serius banget. Goals-nya lebih meredam superioritas orang-orang untuk harus mengikuti ekspektasi masyarakat.

Sutradara film pendek “Basri & Salma in a Never-Ending Comedy”, Khozy Rizal, dalam rangkaian Festival Film Cannes di Cannes, Perancis, 26 Mei 2023. Dok. Festival Cannes


Ini topik sederhana, tapi dari awal sudah yakin mau masuk ke festival?

J: Memang ceritanya biasa, tapi kami memasukkan unsur-unsur yang tidak biasa. Jalannya enggak begini aja menuju klimaks, tapi ada guncangan-guncangan lain yang alurnya tidak biasa.

Kalau ada yang pitch cerita cewek dan cowok saling jatuh cinta dan keluarga mereka melarang, itu kan biasa dan sering banget. Tapi kalau mereka harus berjuang atau berakhir dengan kematian keduanya, mungkin lebih menarik. Orang biasanya suka happy ending. Di-twist-twist sedikit atau bikin ending yang sulit diprediksi.

Setelah dari Cannes, bisa nonton filmnya di mana?

J: Nah, distribusi film ada jalurnya. Biasanya kalau film masuk ke festival itu tidak akan cepat masuk di streaming atau platform online. Akan muter dulu ke festival, ke pemutaran-pemutaran offline, baru ke streaming. Dan karena kebetulan film kami masuk di Cannes, kami punya sales agent yang bertugas sebagai representasi film ini. Dia berusaha membuat strategi memasukkan ke festival-festival film di dunia. Dia juga mewakili kami kalau film kami mau dibeli oleh negara lain.


Bagaimana perjalanan kemari?

J: Biasa, ya, submit secara official. Memang sebaiknya begitu, terutama festival besar. Walaupun aku kenal programmer di Cannes, bisa saja e-mail pribadi, tapi pasti nanti programmer-nya bilang, “Sudah online registration? Submit secara official, supaya kami juga lebih gampang trace-nya kalau programmer lain yang nonton filmnya.

Cannes itu mahal untuk submit, tapi kami sudah menyisihkan uang untuk beberapa festival yang kami tampil. Kami sudah mengalokasikan bujet. Ini juga yang biasa tidak terpikirkan oleh sutradara atau produser film pendek, yang begitu habis produksi, habis uangnya.


Seberapa mahal?

A: Kalau di Cannes itu kan ada tiga section: Directors Fortnight, Official Selection, dan Critics’ Week. Setahuku, Official Selection gratis. Kalau dua lainnya, bayar 20 euro atau Rp 500 ribu.


Apakah pengumuman bahwa Basri and Salma masuk kompetisi utama diterima lewat website?

J: Kami diberi tahu sebelum pengumuman karena sistemnya adalah setiap film yang mereka undang akan menerima e-mail “Halo, film kamu masuk seleksi, mau terima atau enggak?”. Harus ada consent. Mereka perlu konfirmasi dari kami. Mereka kan perlu materi kayak foto dan lainnya, baru mereka bisa announce ke publik.

Siapa yang menerima pengumuman?

John: Dua-duanya ditelepon. Pakai nomor tidak dikenal. Pokoknya nomor Prancis, tapi kayak, ah, siapa, ya? Tapi ya sudah angkat saja.

Sutradara film pendek “Basri & Salma in a Never-Ending Comedy”, Khozy Rizal (kiri), pemeran Basri, Arham Rizky Saputra, Produser John Badalu, dan pemeran Salma, Rezky Chiki di Cannes, Perancis, 19 Mei 2023. TEMPO/ Budi Setyarso


Apa ngomongnya?

J: Cuma, “Halo, kami dari Cannes. Kami suka banget filmnya. Kami mau mengundang. E-mail menyusul, ya.”


K: Gua juga ditelepon lagi bawa sepeda motor. Siapa sih ini, krang-kring krang-kring. Lha, nomor Prancis. Ini siapa? “Halo, kami dari Cannes. Kami suka banget filmnya. Kami undang kamu, ya.”


Menurut analisis sendiri, yang membuat lolos seleksi itu, apakah visual, ceritanya, atau apa?

K: Sempat dapat remarks juga dari Cannes. Kalau Basri dan Salma, filmnya itu sangat colourful. Tapi isu yang ditawarkan dalam film sangat berat. Jadi, sangat kontras dengan visualnya.


J: Pas lihat hasil akhir filmnya, sudahlah kami coba ke festival paling besar. Jujur, film Khozy sebelumnya, Lika Liku Laki, kebetulan bukan aku yang produseri. Dia mau masukin ke festival besar, aku bilang, "Kayaknya enggak cocok. Kurang kuat."

Berapa hari pengerjaannya?

K: Syuting empat hari, tapi proses pra-produksinya lumayan intens, dua bulan kalau enggak salah.

J: Semua dikerjakan di Makassar, krunya (orang) Makassar, semuanya Makassar.

Bagaimana proses editingnya?

K: Aku ngedit sendiri, tapi untuk post-production, colour grading, dan segalanya di White Lab Studio di Bangkok. Kami dapat bantuan juga dari Singapore International Film Festival, production grand, dan bantuan untuk melakukan post-production di Bangkok.


Market film pendek itu bagaimana?

J: Ke macam-macam, tapi kebanyakan ke TV dan online streaming. Kalau film pendek enggak pernah untuk menghasilkan uang. Jadi, latihan dulu, kayak batu loncatan untuk bikin film panjang. Kalau masuk festival, ada kayak reputasi yang terbangun, jadi dia bisa dengan gampang mendapatkan dana untuk film panjangnya.


Ke depan, mau buat film kayak apa?

K: Aku lebih tertarik bikin film di Makassar. Aku lihat film Indonesia lebih sering bikin film di Jakarta atau Jawa.

Film panjang kan bisa 5-7 tahun, karena penginnya skenarionya dibawa ke script lab dulu untuk dikembangkan. Script lab internasional untuk mencari pendanaan di sana-sini.

Ke depan akan terus bikin film pendek. Sepertinya akan produksi satu lagi tahun depan. Sekarang kami berfokus promosi Basri and Salma dulu sambil men-develope film panjang pertamaku.

Apa bagian yang paling menantang dalam proses pembuatan film?

K: Mungkin bounding diriku dengan cast, karena aku kan enggak sekolah film dan mostly pembuat film di Makassar berangkat dari sekolah film, kan jadi membangun bound dengan pemain agak sulit dan butuh waktu.

Selain itu, tantangan lain, kami membuat film di Makassar. Bukan hanya orang film yang sedikit, krunya sedikit, kami juga sumber daya manusianya terbatas. Enggak punya alat-alat yang mumpuni seperti pembuat film di Jakarta.

Kami juga kurang banget aktor dan aktris, sehingga ketiga film pendekku itu mostly memang selalu pakai non-professional actor. Secara karakter juga disesuaikan dengan karakter pribadi mereka, sehingga mereka enggak terlalu sulit memerankan karakter-karakter ini.

BIODATA

Nama Lengkap: Khozy Rizal Putra

Pendidikan: Informatika, Telkom University (2012-2016)


Film:

- Lika Liku Laki (2021)

- Ride to Nowhere (2022)

- Basri and Salma in a Never Ending Comedy (2023)

 

Penghargaan:

- Pemenang Grand Prize International, Mobile Film Festival (2018)

- Nominasi  Best Short Film Competition, Sundance Film Festival Asia untuk film Lika Liku Laki (2021)

- Nominasi film pendek terbaik piala citra, Festifal Film Indonesia untuk film Lika Liku Laki (2021)

- Pemenang best live action short, Palm Springs International ShortFest, untuk film Lika Liku Laki (2022)

- Finalis Sundance Film Festival Asia, untuk film Ride to Nowhere (2022)

- Nominasi short film Festival De Cannes, Perancis untuk film Basri dan Salma (2023)

BUDI SETYARSO (CANNES, PRANCIS) | ILONA ESTERINA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus