Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Pelanggar HAM Adalah Orang Pengecut

Musikus Fajar Merah.

25 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Fajar Merah merilis album baru grup band-nya dengan konsep yang tidak lagi menggarap musikalisasi puisi-puisi Wiji Thukul.

  • Putra bungsu Wiji Thukul ini menceritakan bagaimana ia membangun sosok sang ayah lewat memori keluarga, orang-orang sekitarnya, dan karya-karyanya.

  • Fajar Merah menilai pemerintah semestinya mampu menuntaskan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, termasuk penghilangan paksa para aktivis di era Orde Baru.

DI studio musik Lokananta, Solo, Jawa Tengah, Fajar Merah kembali bercerita. Ia tak lagi berkisah lewat musikalisasi puisi-puisi ayahnya, Wiji Thukul, seperti dalam album pertamanya.

Melalui album Nyanyian Sukma Lara, Fajar dan grup musiknya, Merah Bercerita, memutuskan untuk mendobrak zona nyaman dengan melepaskan diri dari bayang-bayang Wiji Thukul. Menurut Fajar, album kedua ini adalah karya ideal dari band yang ia bentuk pada 2010 itu. “Secara kelas, topik, dan bahasa, aku tidak seperti Wiji Thukul. Dan aku tidak memaksa orang lain menganggap lagu-lagu yang kutulis sama bobotnya dengan tulisan Wiji Thukul,” kata Fajar dalam wawancara khusus dengan Tempo di Solo, Rabu, 22 Januari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepuluh tembang dalam album tersebut berkelindan membentuk kesatuan cerita. Lirik-liriknya tak terlalu sarat kritik sosial seperti dalam album pertama. Mereka mengambil posisi netral, tidak lagi mencoba menghakimi keadaan. Fajar, 24 tahun, merilis album kedua itu pada 17 Januari lalu, sehari setelah film Nyanyian Akar Rumput diputar serentak di 16 bioskop di Indonesia. Film dokumenter berdurasi hampir dua jam karya sutradara Yuda Kurniawan itu mengangkat kisah Fajar dan grup musiknya dalam melagukan puisi-puisi Wiji Thukul.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berbeda dengan film fiksi Istirahatlah Kata-kata garapan sutradara Yosep Anggi Noen, yang lebih menyoroti kehidupan sang penyair dan aktivitasnya sebelum diduga diculik rezim Orde Baru pada 1998, Nyanyian Akar Rumput yang digarap selama empat tahun itu menempatkan Fajar sebagai tokoh utama. Adapun ibunya, Siti Dyah Sujirah atau akrab disapa Sipon, dan kakak sulungnya, Fitri Nganthi Wani, menjadi figur yang melengkapi kehidupan Fajar. Film ini meraih sejumlah penghargaan, yakni Piala Citra kategori film dokumenter panjang terbaik Festival Film Indonesia 2018; Netpac Award Jogja-Netpac Asian Film Festival 2018; Honorable Mentions Award kategori dokumenter Figueira Film Art 2019 di Figueira da Foz, Portugal; serta Film Dokumenter Panjang Terpilih pada Piala Maya 2019.

Kepada wartawan Tempo, Dinda Leo Listy, Fajar menceritakan lebih rinci soal penggarapan album barunya, alasan ia bersedia kisahnya diangkat ke dalam film, serta prosesnya menerima dan memaknai absennya sang ayah. “Para pelaku (pelanggaran hak asasi manusia) yang mungkin sampai sekarang masih ada, bagiku mereka termasuk golongan orang pengecut,” ujar pria berambut gondrong keriwil itu. Wawancara dilengkapi jawaban Fajar melalui pesan WhatsApp kepada wartawan Tempo, Aisha Shaidra.

Album Nyanyian Sukma Lara benar-benar lepas dari musikalisasi puisi Wiji Thukul. Apa yang mendasari Anda membuat keputusan itu?

Apa pun itu, selalu ada risiko baik dan buruk. Ibaratnya, kalau lagu-lagunya nanti ada yang mendengarkan, ya alhamdulillah; kalau tidak ada, ya enggak jadi masalah. Soal aku yang selalu dikaitkan dengan Wiji Thukul, tanpa aku ngomong pun status itu selalu menempel. Dalam album kedua ini akhirnya aku paham bahwa karakterku memang lebih kuat sebagai musikus daripada penulis. Secara kelas, topik, dan bahasa, aku tidak seperti Wiji Thukul. Dan aku tidak memaksa orang lain menganggap lagu-lagu yang kutulis sama bobotnya dengan tulisan Wiji Thukul.

Bagaimana proses pembuatan album kedua ini?

Kami mengumpulkan materi selama kurang-lebih dua tahun (2016-2017). Berbeda dengan album sebelumnya, album yang sekarang semua berawal dari musik. Kami merekamnya dengan peralatan seadanya. Setelah kumpulan bunyi membentuk bangunan utuh sebuah lagu, saya mempersilakan imajinasi bekerja. Dari imajinasi itulah lirik tercipta, kebanyakan berasal dari kejadian nyata yang difiksikan. Ide biasanya dari saya (vokal dan gitar), setelah itu dibagikan ke teman-teman (pembetot bas Yanuar Arifin dan penggebuk drum Lintang Bumi) dan didiskusikan.

Sejak kapan Anda memutuskan berkiprah sebagai musikus dan membentuk band?

Saya ngeband sejak 2010. Waktu itu masih sekolah (SMK Negeri 8 Surakarta atau Sekolah Menengah Karawitan Indonesia). Band pertama lupa namanya, terus jadi Milagros. Namanya seperti merek air minum, ha-ha-ha.... Setelah itu, vokalisku, cewek, keluar dari band sehingga kami kesulitan mencari vokalis (akhirnya Fajar menjadi gitaris dan vokalis). Saat itu, kami punya empat lagu, tapi band masih belum jelas karakternya mau ke mana. Materi lagunya masih campur-campur. Salah satu lagu, berjudul Merah Bercerita, sekarang masuk jadi intro album Nyanyian Sukma Lara, tapi cuma iringan gitar.

Bagaimana awalnya menggarap musikalisasi beberapa puisi Wiji Thukul?

Kami pertama kali mencoba menggubah puisi “Bunga dan Tembok. Waktu itu aku sebenarnya tidak ada niat dan tidak paham juga bahwa jika aku memakai puisi A, misalnya, lalu kuadopsi menjadi lagu bakal disebut musikalisasi puisi. Tapi, dalam prosesnya, aku tetap mengedit liriknya (dari puisi menjadi lagu) karena ada beberapa kalimat yang tidak bisa klop ke dalam lagu. Kalau kalimat itu masuk, lagunya jadi tidak fleksibel. Sempat ragu juga apakah akan mengurangi kata-kata dalam puisinya atau tidak. Tapi karena pertimbangannya biar lagunya enak, fleksibel, ya saya kurangi. Seperti kalimat “di mana pun - tirani harus tumbang!”. Kalimat itu menurut bayanganku kok serem banget.

Bagaimana reaksi personel lain terhadap ide musikalisasi puisi ini?

Biasa saja. Enggak ada penolakan. Setelah lagu Bunga dan Tembok diterima, kami menggarap lagu Derita Sudah Naik Seleher dan Apa Guna (dari puisi Wiji Thukul). “Apa Guna dasarnya sudah seperti lagu (sempat dinyanyikan Wiji Thukul tanpa iringan musik). Dan ternyata ada beberapa orang juga (band lain) yang pernah membawakan “Apa Guna itu. Kalau lagu Kebenaran Akan Terus Hidup itu liriknya aku sendiri yang menulis, cuma di tengahnya ada puisi Wiji Thukul yang dibacakan, tidak dinyanyikan.

Apa yang ada dalam benak Anda ketika dulu menggarap musikalisasi puisi Wiji Thukul?

Tujuan kami sekadar memperkenalkan puisi-puisi Wiji Thukul dengan cara yang lebih santai untuk generasi sekarang yang mungkin belum tahu Wiji Thukul. Mengenalkannya dengan cara anak band.

Sebagai seniman, sejauh mana pengaruh Wiji Thukul terhadap Anda?

Dia salah satu seniman yang berpengaruh bagiku, tapi hanya pada karya-karya tulisannya. Kalau jalan hidupnya enggak. Menurutku, semua orang memperjuangkan sesuatu yang sama, untuk dirinya sendiri, untuk orang lain, dan untuk membuat hati bahagia.

Wiji Thukul dinyatakan hilang saat Anda masih berusia dua tahun. Bagaimana Anda mengenal sosok ayah?

Orang asing yang nama dan ceritanya selalu ada di kehidupanku setiap hari. Ya, cuma itu. Sebatas, misalnya, ketika kita mendapat cerita tentang orang yang sudah tidak ada di sekitar kita lagi. Jadi sudah seperti tokoh fiksi. Itu ketika aku kecil. Kalau sekarang, sudah ada bayangannya. Aku mengetahui bahwa dia aktivis, penulis, ya seperti itu.

Kapan Anda pertama kali mengetahui cerita tentang ayah Anda?

Langsung diberi tahu oleh keluarga, oleh ibu. Tapi ya, karena masih kecil, aku enggak paham meski sudah diceritakan. Sebenarnya (Bapak) ke mana, apa masalahnya kok sampai enggak ada. Saya enggak paham walaupun sudah diberi tahu.

Seperti apa cerita yang Anda dengar tentang Wiji Thukul?

Standar sih ceritanya. “Bapakmu itu hebat, lho.” Intinya, orang-orang itu seolah-olah membesar-besarkan nama Bapak. Jadi semua yang orang-orang ceritakan itu tentang kehebatannya. Kalau ibu bercerita soal pengalaman waktu mereka pertama bertemu, saat mereka berproses di teater, tentang proses Bapak menulis, dan lain-lain. Ya biasa, sebelum tidur biasa diceritakan macam-macam, dan itu termasuk salah satu daftar cerita sebelum tidur.

Apa yang Anda rasakan saat tidak ada sosok ayah sejak kecil?

Saya merasa menjadi lebih perempuan daripada teman-teman lelakiku yang lain. Sebab, di rumah isinya perempuan semua (Sipon dan Fitri). Dari kecil saya mainnya sama teman-teman perempuan kakak. Saudaraku kebanyakan juga perempuan.

Dalam film Istirahatlah Kata-kata (2016) tergambar kisah Wiji Thukul sebelum hilang. Bagaimana Anda menginterpretasikan hal tersebut?

Itu terkadang justru menjadi sesuatu yang absurd ketika dibayangkan. Sebab, cuma untuk masalah seperti itu (Wiji Thukul sebelum hilang aktif menulis puisi dan berdemonstrasi) kok sembunyinya sampai primpen (disembunyikan dengan cermat) banget. Bahkan sampai teman-teman dekatnya enggak tahu. Saya membayangkannya ya ngeri saja, betapa kejam. Untuk sebuah sistem di suatu negara, itu kejam. Sudah, gitu aja.

Sejauh mana absennya ayah berpengaruh terhadap keseharian keluarga kalian?

Karena saat itu aku masih kecil, yang aku tahu aku ikut menemani Ibu berjuang untuk sesuatu yang masih ada (anak-anaknya). Ya, seperti berjualan dan lain-lain.

Apakah setelah dewasa dan mengetahui kiprah Wiji Thukul, pandangan Anda berubah?

Setelah dewasa, aku merasa Wiji Thukul masuk salah satu penulis favorit, terlepas dari aku itu siapa (sebagai anaknya). Karena ya aku memang enggak kenal tokoh itu. Sebagai seniman, dia patut masuk daftar seniman yang mempengaruhiku. Tapi itu sebatas pada karya-karya tulisannya.

Bagaimana Anda mengumpulkan memori yang berserakan tentang sosok ayah?

Ya, dari buku-buku (karya dan buku tentang Wiji Thukul). Dan mungkin juga dari melihat adik-adik bapakku.

Saat kecil hingga remaja, Anda dikabarkan sempat marah dan menolak dikaitkan dengan Wiji Thukul. Mengapa?

Menurutku, itu sesuatu yang wajar untuk seorang anak yang sedang dalam proses menemukan dirinya, tidak terikat dengan apa latar belakangnya. Tapi mungkin itu sebatas ego. Aku ingin orang-orang kenal aku sebagai aku, bukan karena aku anaknya siapa. Menurutku, itu fenomena yang wajar.

Anda juga pernah mencoba melukai diri karena merasa frustrasi terhadap keadaan saat itu.

Karena tidak pandai berimajinasi, saya konsumsi zat-zat halusinogen hingga akhirnya bisa memunculkan imajinasi tentang sesuatu yang tidak ada. Tapi akhirnya malah jadi edan. Kenapa yang enggak ada harus diada-adakan? Menurutku, itu sesuatu yang menarik sekaligus bodoh. Efeknya, aku merasa seseorang yang tidak ada itu ada di suatu tempat. Tapi akhirnya aku berakhir direhabilitasi.

Anda berkiprah di musik, kakak terjun dalam dunia penulisan. Sedekat apa interaksi kalian berdua terutama saat membicarakan karya?

Lebih pada hubungan kakak-adik saja. Kalau ngobrol soal musik, selera kami berbeda. Kalau soal menulis, ya sejak dulu Mbak Fitri yang paling paham.

Apakah ibu Anda sempat khawatir terhadap kiprah kalian yang terjun di dunia yang tak jauh berbeda dengan yang pernah digeluti Wiji Thukul?

Enggak pernah khawatir.

Saat Orde Baru berkuasa, Wiji Thukul selalu dikaitkan dengan gerakan berideologi kiri. Apakah Anda dan keluarga sempat mengalami teror akibat stigma itu?

Teror itu hanya ada di dalam pikiran. Setiap kali ada kerusuhan yang melibatkan rakyat dan aparat, di situlah pikiran mulai terusik, khawatir jika tragedi Wiji Thukul terjadi lagi.

Apakah Anda sempat mengalami kesulitan saat mengurus perkara administrasi karena dikaitkan dengan sosok Wiji Thukul, yang dicap komunis?

Kesulitan dalam hal administrasi pernah terjadi saat Ibu dianggap tidak memenuhi syarat mendapat pinjaman dari bank karena keterangan di kartu keluarga tercantum status Wiji Thukul itu ada, tapi orangnya tidak ada. Itu saja. Bukan karena dianggap komunis. Kalaupun ada, itu konyol dan pasti urusan politik. Sedangkan kami sama sekali tidak tertarik menjadi politikus.

Fajar Merah saat launching album kedua. TEMPO/Dinda Leo Listy

Bagaimana Anda bersentuhan dengan isu hak asasi manusia, terutama soal aktivis-aktivis yang hilang di era Orde Baru?

Menurutku, musik dapat menggugah kesadaran orang yang mendengarnya. Aku mungkin lebih menyampaikan itu lewat musik. Kalau diibaratkan, kadar aktivismeku sedikit banget. Jadi tidak sering ikut keluarga korban lain yang turun aksi demonstrasi dan lain-lain. Ibuku memang pernah melakukan itu dan seringnya sama Mbak Fitri. Yang aku tahu, aku ikut menemani ibuku berjuang untuk sesuatu yang masih ada.

Anda dan keluarga masih menyimpan harapan bahwa Wiji Thukul akan kembali?

Secara pribadi, aku sudah ikhlas. Ketika seseorang melakukan sesuatu, pasti ada risikonya. Itu saya tanggapi secara wajar. Tapi, secara luas, menurutku kasus itu (penghilangan orang secara paksa oleh negara) tidak perlu terjadi. Penguasa mbok yang santai. Karena segala sesuatu itu bisa diomongkan. Para pelaku (pelanggaran hak asasi manusia) yang seperti itu dan mungkin sampai sekarang masih hidup, bagiku mereka termasuk golongan orang pengecut. Kalau mereka mau perang, ya peranglah lewat gagasan, lewat politik, tapi secara kemanusiaan. Kenapa harus sampai terbawa (emosi) sampai sejauh itu. Harapanku, siapa pun, entah itu pemerintah entah rakyat, kalau saling terbuka, semua masalah bisa dicari solusinya. Masak, masih pakai solusi yang sudah kuno (kekerasan) terus, mbok maju sithik lah (mari maju sedikit).

Pada awal Joko Widodo terpilih sebagai presiden, keluarga Anda sepertinya cukup yakin kasus hilangnya Wiji Thukul dan pelanggaran HAM lain bakal diusut tuntas. Sekarang masih optimistis?

Secara pribadi, aku pesimistis. Tapi sudah sepatutnya Presiden mempunyai kewenangan menuntaskan kasus-kasus lama yang sampai sekarang belum selesai. Itu kewajiban siapa pun yang menjadi presiden. Walaupun aku tidak banyak tahu soal hukum, secara kemanusiaan kasus itu seharusnya bisa diselesaikan. Kalau aku pribadi sudah tidak ada masalah karena sejak kecil tidak mengenal bapakku. Tapi aku kenal ibuku, kakakku, dan aku tahu perjuangan mereka demi mencari kepastian akan kasus itu. Ya, minimal membentuk pengadilan HAM. Kasus-kasus itu memang bukan salahnya Jokowi atau presiden sebelumnya. Sejatinya, presiden punya power yang besar untuk menuntaskan itu, tapi kenapa itu tidak dikerjakan?

Siapa pun presidennya, tetap tidak ada perubahan, ya?

Menurutku, kasus-kasus pelanggaran HAM hanya untuk gayeng-gayeng (ramai-ramai). Di Indonesia, kasus pelanggaran HAM hanya jadi gimmick yang menarik bagi orang-orang yang memang punya tujuan berkuasa. Jadi saya sudah tidak gumun (heran).

Mengapa Anda bersedia bermain dalam film dokumenter Nyanyian Akar Rumput?

Tema awalnya kan musik, tentang band Merah Bercerita.

Tapi akhirnya mengangkat kehidupan personal.

Mungkin karena mabuk. Aku itu kalau mabuk apa-apa iya, ha-ha-ha.... Aku bangun tidur, di kamar mandi, ditungguin (sutradara Yuda Kurniawan). Beli es di samping rumah disorot kamera. Kamera diletakkan, tapi tetap merekam. Mas Yuda benar-benar total.

Anda cukup luwes menjadi tokoh utama dalam dokumenter tersebut.

Itu prosesnya terbilang lama. Yang membuat film dokumenter itu berhasil adalah ketika Mas Yuda mengetahui cara mendekati seseorang yang kikuk di depan kamera sampai akhirnya enggak peduli lagi disorot kamera. Pada tahap awal pembuatan film, selama satu tahun lebih, aku masih merasa enggak nyaman.

Apa yang Anda harapkan dari penonton setelah menonton Nyanyian Akar Rumput?

Sesederhana bahwa memang sebenarnya kita ini hidup di negara yang belum beres. Itu saja. Walaupun kasus-kasus pelanggaran HAM itu adalah bagian kecil dari seluruh masalah yang ada, ya akhirnya malah bisa akur-akur saja. Ketika bisa seperti itu, bayanganku tidak bakal ada sesuatu yang tidak-tidak. Ketika ada masalah, selalu ada solusi.

 


 

FAJAR MERAH | Tempat dan tanggal lahir: Solo, Jawa Tengah, 22 Desember 1995 | Pendidikan: SMK Negeri 8 Surakarta (tidak lulus) | Album (bersama band Merah Bercerita): Merah Bercerita (2015), Nyanyian Sukma Lara (2020) | Filmografi: Nyanyian Akar Rumput (2018)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus