Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

'Saya Tidak Bersalah'

Wawancara dengan mantan Direktur Utama TVRI, Helmy Yahya

25 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Helmy Yahya menyatakan tudingan Dewan Pengawas yang memecatnya tidak benar.

  • Menurut dia, Dewan Pengawas TVRI sudah mengetahui rencana tayangan Liga Primer Inggris.

  • Helmy menceritakan bukti, di bawah kepemimpinannya, TVRI justru lebih kinclong.

TAK terima dipecat, mantan Direktur Utama TVRI, Helmy Yahya, berencana menggugat keputusan Dewan Pengawas. Helmy menilai Dewan Pengawas tak bisa menunjukkan satu pun pelanggaran yang dia lakukan. Indikasinya, ia diberhentikan dengan hormat.

Selama sekitar dua jam, di kantor pengacara Assegaf Hamzah and Partners di Capital Place, Jakarta, pada Rabu, 22 Januari lalu, Helmy menjelaskan kepada Tempo berbagai kebijakannya yang dipersoalkan Dewan Pengawas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dewan Pengawas menyatakan salah satu alasan Anda dipecat berkaitan dengan pembelian hak siar Liga Primer Inggris yang terlalu mahal.
Kalau dibilang harganya mahal, ya, enggak jugalah. Cuma US$ 3 juta. Kontraknya pun jelas. Dan mereka pun wajib membeli spot iklan TVRI, minimal US$ 1 juta. Jadi harganya itu cuma US$ 2 juta.

Soal anggaran ini sudah Anda konsultasikan kepada siapa saja sebelumnya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kami berkonsultasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan. Belum dapat (hak siar) aja saya sudah lapor. Tentang anggaran itu, saya juga menelepon Pak Askolani, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan. Dia bilang boleh saja, tapi tidak boleh mengambil dari anggaran yang ada, melainkan dari PNBP (penerimaan negara bukan pajak). Dari iklan, sewa tower, dan lain-lain.

Dewan Pengawas tak setuju?
Pada 17 Juli 2019, ada pertemuan dengan Dewan Pengawas. Kami jelaskan harga, proses bisnis, semuanya. Lalu di mananya mereka tidak tahu? Mereka tidak melarang. Saat konferensi pers peluncuran Liga Inggris, 21 Juni 2019, Ketua Dewan Pengawas hadir. Mereka memang punya wewenang. Tapi saya merasa ada kesewenang-wenangan Dewan Pengawas karena tak terbukti saya salah.


 

Dari juru kunci sekarang bisa nomor 8, 9, 10, 11. Konten kami gila-gilaan. PNBP naik. Layar kinclong. Alat kami canggih. Pada 2018, kami berhasil menurun­kan angka rerun (tayangan ulang) dari 55 persen menjadi 49 persen. Mungkin enggak rerun nol? Enggak mungkin. Bujet program tahun lalu saja cuma Rp 130 miliar. Kalau dibagi 8.000 jam tayang, cuma Rp 16 juta per jam.

 




Ada tunggakan Liga Inggris senilai Rp 27 miliar.
Bukan gagal bayar, cuma tunda bayar. Dalam dunia bisnis, biasa itu utang-piutang. Kami juga punya tagihan, kadang jatuh tempo meleset. Tahun ini penerimaan lebih besar karena trust sudah terbangun.

Dewan Pengawas menilai tayangan kuis Siapa Berani menguntungkan Anda.
Itu karya terbesar saya. Biasanya saya mendapat Rp 3-5 juta per episode, tapi saya hibahkan nol rupiah untuk TVRI. Ada item-item yang memang TVRI tidak punya. Misalnya pembuatan soal. Enggak ada anak buah saya yang bisa membuat soal. Juga game machine, termasuk melatih host. Bagian itu dikerjakan Krakatoa, yang pemiliknya bukan saya. Buktikan kalau saya terima duit.

Anda dituduh memiliki konflik kepentingan karena pemilik Krakatoa kawan Anda.
Konfliknya kayak apa? Saya enggak terima apa-apa. Bang Apni (Direktur Program dan Berita TVRI Apni Jaya Putra) menunjuk Krakatoa karena pemiliknya Reinhard Tawas, orang yang membantu saya men-develop kuis Siapa Berani. Bukan karena teman saya dia dipilih, tapi karena memang dia yang paling tahu.

Dewan Pengawas sepertinya menganggap Anda tak berprestasi.
Coba lihat hasil audit BPK. Dari disclaimer tiga kali menjadi wajar tanpa pengecualian. Dari juru kunci sekarang bisa nomor 8, 9, 10, 11. Konten kami gila-gilaan. PNBP naik. Layar kinclong. Alat kami canggih. Pada 2018, kami berhasil menurunkan angka rerun (tayangan ulang) dari 55 persen menjadi 49 persen. Mungkin enggak rerun nol? Enggak mungkin. Bujet program tahun lalu saja cuma Rp 130 miliar. Kalau dibagi 8.000 jam tayang, cuma Rp 16 juta per jam.

Dewan Pengawas menuding ada tagihan seperti honor satuan kerabat kerja (SKK) yang belum dibayar.
Sampai akhir bulan kemarin, ada SKK belum dibayar. Saya kasih tahu, ya, tidak pernah TVRI tidak membayarkan gaji. Yang terlambat itu honor untuk produksi. Kadang-kadang terlambat karena pertanggungjawaban belum dibuat.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus