Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kondisi daerah aliran sungai Cimandiri di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, makin rusak oleh pertanian dan penambangan pasir.
Pendangkalan Sungai Cimandiri makin tebal membuat tingginya fluktuasi debit air.
Undang-Undang Cipta Kerja membuat pemerintah makin mudah berkelit dari tanggung jawab.
KERUSAKAN daerah aliran sungai atau DAS Cimandiri kian parah saja. Bencana banjir dan tanah longsor mengancam setiap musim hujan. Undang-Undang Cipta Kerja yang menghapuskan kewajiban pemerintah mempertahankan kawasan hutan minimal 30 persen membuat daerah aliran sungai di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, itu makin merana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekitar 167 ribu hektare dari 181 ribu hektare total luas DAS Cimandiri kini berstatus lahan kritis. Sedimentasi di badan sungai makin tebal. Airnya keruh karena tercemar limbah dan erosi dari penambangan pasir di bantaran kali. Di hulu, tutupan hutan makin banyak yang hilang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kewajiban mempertahankan 30 persen kawasan hutan dari total area di sekitar aliran sungai semula ada di Undang-Undang Kehutanan dan Undang-Undang Penataan Ruang. Setelah omnibus law UU Cipta Kerja menyetip kewajiban pemerintah itu, deforestasi dan degradasi hutan kian menjadi-jadi. Apalagi Undang-Undang Cipta Kerja pun menghilangkan sanksi pidana bagi korporasi yang menggasak hutan. Sebelumnya, sanksi pidana itu diatur dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kini yang tersisa tinggal sanksi administratif.
Ketika kewajiban pemerintah dan ancaman pidana masih termaktub dalam undang-undang saja pelanggaran masih terjadi di sana-sini. Bisa ditebak, setelah aturan dilonggarkan, pemerintah lebih mudah berkelit dari tanggung jawab. Sejak sanksi pidana dihilangkan, korporasi pun tak jeri lagi membabat hutan di pinggiran sungai. Toh, kalaupun ketahuan melanggar, mereka hanya akan mendapat hukuman administratif.
Kerusakan DAS Cimandiri membuktikan bahwa pembangunan yang mengabaikan kelestarian lingkungan hanya akan mendatangkan bencana. Pendangkalan sungai ini mengakibatkan tingginya fluktuasi debit air sungai. Pada musim hujan, air melimpah sehingga kerap menimbulkan banjir yang berpotensi merendam 18 ribu hektare area. Di musim kemarau, terjadi kekeringan yang bisa berdampak terhadap 2,65 juta penduduk dan 415 ribu hektare wilayah.
Artikel:
Celakanya, kemampuan pemerintah untuk memulihkan daerah aliran sungai yang kritis sangatlah rendah. Dari total 17.075 DAS di Indonesia, sebanyak 2.145 DAS harus dipulihkan demi mempertahankan daya dukung lingkungannya. Faktanya, hingga 2024, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan hanya menargetkan untuk memulihkan 108 DAS. Itu pun pemerintah pusat masih berkutat pada empat DAS, yakni Ciliwung di Jakarta, Citarum di Jawa Barat, Cisadane di Banten, dan Asahan Toba di Sumatera Utara.
Tak masuk prioritas pemerintah pusat, DAS Cimandiri dibiarkan terus menderita. Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung terakhir kali mengukur laju sedimentasi sungai itu pada 2009. Saat itu saja laju pendangkalan sungai sudah 97,1 ton per hektare per tahun. Kini, ketika banjir dan tanah longsor makin sering terjadi, laju sedimentasi sungai itu bisa dipastikan lebih cepat lagi.
Pemulihan DAS Cimandiri tak cukup dengan penanaman pohon di lahan kritis. Upaya rehabilitasi juga harus mengembalikan fungsi lahan hutan yang kadung menjadi area pertanian, perkebunan, dan industri ekstraktif. Namun, bila melihat kebijakan pembangunan pemerintah yang kerap mengabaikan kelestarian lingkungan, kita pesimistis DAS Cimandiri segera pulih kembali.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo