Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POLEMIK kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) membuat Mohammad Nuh berkali-kali menerima pesan berisi potongan video pidato Birrul Qodriyyah yang direkam pada Februari 2014. Birrul, waktu itu mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mewakili ribuan penerima beasiswa Bidikmisi Kementerian Pendidikan Nasional menyampaikan testimoni di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Nuh yang menjabat Menteri Pendidikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Birrul mengatakan beasiswa Bidikmisi mengantarnya meraih mimpi kuliah di Fakultas Kedokteran kendati orang tuanya hanya petani. Menurut Nuh, program beasiswa seperti Bidikmisi membuat mahasiswa mendapat keringanan biaya kuliah sehingga memungkinkan mahasiswa dari keluarga tak mampu menempuh pendidikan tinggi. “Orang rindu dengan pidato Birrul itu,” kata Nuh, yang kini menjabat Ketua Forum Majelis Wali Amanat Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nuh menyebutkan UKT mahal karena ada universitas yang didorong menjadi perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTNBH). Status badan hukum membuat kampus punya kontrol penuh atas aset dan pengelolaan keuangan. Padahal sejumlah universitas dinilai belum siap menjadi lembaga otonom. “Paling gampang itu menambah pemasukan dari uang mahasiswa,” tuturnya.
Bekas Menteri Komunikasi dan Informatika itu menyarankan pemerintah memberi insentif bagi kampus yang punya inovasi sumber pendanaan di luar biaya kuliah. Nuh mencontohkan, saat dia menjabat Menteri Pendidikan, ada bantuan dana operasional bagi perguruan tinggi yang bisa mencari alternatif pendanaan, seperti hibah.
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Muhammad Nuh, saat wawancara khusus dengan redaksi Tempo, di Gedung Bank Mega Syariah, Jakarta, 28 Mei 2024.
Nuh menerima wawancara wartawan Tempo, Sunudyantoro, Yosea Arga Pramudita, dan Daniel A. Fajri, di lantai 20 Menara Bank Mega Syariah, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, pada Selasa, 28 Mei 2024. Gedung itu menjadi kantor bekas Wakil Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, tersebut karena dia menjabat Komisaris Utama Bank Mega Syariah. Selama satu jam wawancara, Nuh juga memaparkan hubungan kampus dengan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim.
Mengapa kebijakan kenaikan uang kuliah tunggal menjadi polemik?
Tidak dapat dimungkiri bahwa biaya pendidikan memang naik. Itu hal yang pasti karena harga barang naik, upah minimum regional naik, listrik naik. Bagaimana ceritanya kalau tak dinaikkan? Harus disadari bahwa pendidikan tinggi yang berkualitas itu mahal.
Namun tak serta-merta membebankan seluruh biayanya kepada masyarakat....
Jika biaya kemahalan itu ditanggung semuanya oleh masyarakat, ya jangan begitu. Ada disparitas di masyarakat sehingga pembuatan kebijakannya jangan memakai prinsip equality, tapi equity. Ilustrasinya, orang pendek harus diganjal dengan bata yang lebih tinggi agar dia bisa menikmati pemandangan di balik pagar. Kalau orang pendek dan tinggi diganjal bata yang sama, orang pendek tak akan bisa melihat indahnya Indonesia. Mereka tak bisa menikmati pendidikan.
Langkah menaikkan UKT tak peka terhadap ketimpangan itu. Anda setuju?
Itu wisdom yang semestinya bicara, bukan lagi logika. Pengambil kebijakan ini harus nyambung dengan pemangku kepentingan. Coba ada survei yang baik ketika Presiden memutuskan UKT tak jadi naik. Semestinya responsnya seperti apa? Seharusnya senang karena tak jadi naik. Namun, karena ada frasa “tapi nanti tahun depan”, berarti kita harus siap-siap lagi.
Artinya pemerintah ingin mengulur waktu dan meredam protes lewat penundaan kenaikan UKT?
Kita harus menghormati segala keputusan. Alhamdulillah, UKT tak jadi naik. Namun bukan berarti selesai. Itu tak jadi naik bagi perguruan tinggi yang belum siap mencari sumber pendanaan lain. Apakah ini akan mengganggu program kampus? Kalau di ITS Surabaya jelas, tak ada kenaikan.
Anda punya saran bagi kampus agar mandiri tanpa membebani mahasiswa?
Kampus harus melakukan efisiensi, jangan boros. Universitas juga harus mencari pendanaan dari sumber nonkonvensional, jangan menarik uang dari masyarakat. Pemerintah juga harus lebih peduli dengan memberi bantuan pendanaan. Kampus mesti punya dana abadi untuk pendidikan dan riset. Jika semua ini berjalan, urusan pendidikan bukan soal bayar-membayar. Namun kualitas riset dan peningkatan mutu pendidikan. Pemerintah yang semestinya memikirkan urusan biaya itu. Perguruan tinggi jangan disibukkan perkara duit.
Bagaimana contoh inovasi pendanaan kampus?
ITS Surabaya punya ITS Mart. Ada pegawai dan dosen, jumlahnya puluhan ribu. Coba kalau gaji itu dibuat dalam bentuk kupon yang dibelanjakan di ITS Mart. Itu menjadi perputaran uang di kampus. Jika sebagian keuntungan dipakai kampus, dananya bisa digunakan untuk memberi beasiswa kepada mahasiswa tak mampu.
Apakah pemerintah dan para rektor tak berkonsultasi dengan majelis wali amanat?
Itu tampaknya terlewat sehingga tak ada konsultasi. Majelis wali amanat paling bertanggung jawab di kampus. Jika ada urusan yang tak bisa ditangani rektorat, kami yang menyelesaikan. Jika majelis wali amanat tak mampu membereskan, baru ke Menteri Pendidikan. Yang terjadi sekarang tak begitu. Ini menteri jebrat-jebret mengeluarkan peraturan sehingga banyak orang kebakaran jenggot. Makanya perlu sinergi antara pemerintah, rektor, dan majelis wali amanat.
Di titik mana komunikasinya tak ketemu?
Di level universitas masing-masing. Rektor jalan sendiri. Majelis wali amanat sama-sama repot karena diisi para pejabat. Majelis wali amanat ini berisi orang di luar kampus. Ada yang jadi menteri, ada yang pejabat publik. Orang sibuk semua.
Bukankah Kementerian Pendidikan semestinya mengatasi persoalan di level kampus itu?
Bisa, tapi tidak nyambung. Sense keberatan publik itu belum terbaca. Beliau-beliau mungkin tak merasakan kalau daya beli masyarakat menurun. Pada saat bersamaan UKT dinaikkan sehingga masyarakat otomatis berteriak.
Mengapa keberatan publik tak terbaca?
Ini faktor manajemen. Dialog antar-pemangku kepentingan harus dijalin agar tak terjadi ketidaksinambungan.
Anda pernah diajak berbicara oleh Menteri Pendidikan sebagai Ketua Forum Majelis Wali Amanat dan bekas menteri?
Sama sekali tak pernah. Saya juga enggak mau merepotkan Menteri Pendidikan. Nanti saya dikira mengalami post-power syndrome, ha-ha-ha.... Saya masih punya banyak pekerjaan.
Mohammad Nuh
Tempat dan tanggal lahir:
- Surabaya, Jawa Timur, 17 Juni 1959
Pendidikan:
- Sarjana Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
- Magister Sinyal dan Sistem USTL Montpellier, Prancis
- Doktor Biomedika USTL Montpellier
Jabatan publik:
- Ketua Majelis Wali Amanat ITS Surabaya (2021-2026)
- Menteri Pendidikan Nasional (2009-2014)
- Menteri Komunikasi dan Informatika (2007-2009)
- Rektor ITS Surabaya (2003-2006)
Bagaimana Anda dulu menjalin komunikasi dengan pelaku kebijakan saat memberlakukan UKT?
Saya undang semua pihak, dari wali amanat sampai rektor. Mereka mendapat informasi langsung dari pembuat kebijakan dan tak membebankan semuanya kepada rektor. Mengundang semua pihak, saya bisa menyampaikan penjelasan yang utuh sehingga kami tak saling lempar. Implementasinya menjadi nyaman.
UKT diputuskan ketika Anda menjadi Menteri Pendidikan 2009-2014. Apakah saat itu memperhitungkan kebijakan ini akan menjadi beban mahasiswa?
Sebelum UKT, ada namanya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP). Biaya kuliah saat itu bukan hanya SPP, tapi ada uang praktikum, biaya kuliah kerja nyata, ongkos wisuda, macam-macam. Mahasiswa harus membayar terpisah. Kami lalu membuat kebijakan uang kuliahnya menjadi satu, tak ada pungutan lagi. Itu yang kita kenal sebagai UKT saat ini.
Masalahnya, rezim perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTNBH) mendorong kampus mencari duit sebanyak-banyaknya. Salah satu sumbernya adalah UKT.
PTNBH itu sangat selektif. Tak semua kampus yang statusnya saat ini badan layanan umum dan satuan kerja harus ditingkatkan menjadi PTNBH.
Argumen Anda apa?
Apa bedanya kampus satu dengan lainnya? Apakah pemerintah memang mau melepaskan tanggung jawab pendanaan? Enggak mungkin karena masih berstatus perguruan tinggi negeri. Jika masih ada negerinya, berarti ada peran pemerintah di situ.
Kampus sekarang cenderung berlomba-lomba menjadi PTNBH karena gula-gula otonomi keuangan. Bagaimana pandangan Anda?
Saat ini ada 21 universitas yang berstatus PTNBH. Saya hanya minta tolong, kalau ingin mengkonversi kampus berstatus badan layanan umum ke PTNBH, harus selektif banget. Bukan hanya otonomi sumber daya, tapi juga otonomi akademis. Kedewasaan institusi sungguh penting.
Artinya kampus yang menaikkan UKT itu belum siap menjadi lembaga otonom?
Jika diberi otonomi, ia bisa jalan atau tidak. Kalau enggak, ya akan menabrak-nabrak. Jika belum siap menjadi lembaga otonom, dalam pemilihan rektor saja bisa bertengkar. Wong sudah diberi kesempatan majelis wali amanat yang memilih, tapi tetap saja bertengkar. Artinya kampus itu belum dewasa.
Apa yang dulu Anda lakukan agar kampus tak bergantung pada uang kuliah mahasiswa?
Kami membuat kebijakan bantuan operasional perguruan tinggi negeri. Ini menjadi insentif bagi kampus negeri. Kami memeriksa pendapatan kampus yang naik. Jika mereka bisa mendapatkan sumber pemasukan di luar uang mahasiswa, seperti hibah, kerja sama, dan sumbangan lain, kami menaikkan bantuan operasionalnya. Sebaliknya, jika banyak uang masuk dari mahasiswa, bantuan operasionalnya diturunkan.
Apa dasar pertimbangannya?
Paling gampang menambah pemasukan kampus dari uang mahasiswa. Rektor bermodalkan surat keputusan saja bisa. Tak perlu pakai mikir. Mahasiswa pasti bayar. Silakan mencari kampus lain kalau tak bayar. Sedangkan kalau kampus memperoleh pendapatan dari riset, kerja sama, dan lainnya, berarti kampus itu mau berusaha. Bantuan operasional itu menjadi bentuk penghormatan. Kami ingin orang kreatif mencari duit yang sumbernya bukan uang mahasiswa.
Bukankah itu menjadi pintu masuk komersialisasi pendidikan kita?
Demonstrasi waktu itu memang memprotes komersialisasi. ITS Surabaya tak jadi berubah menjadi kampus berbadan hukum karena penolakannya masif. Alasannya waktu itu belum ada jaminan soal bahaya komersialisasi tadi. Kami membuat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Kami atur prinsip dan filosofinya di situ sehingga memberi jaminan.
Jaminan apa?
Anak dari keluarga miskin bisa kuliah. Pendidikan tinggi ini kereta bagi mereka agar bisa berkontribusi ketika bonus demografi datang pada 2045. Ada beasiswa Bidikmisi, lalu kami menambahkan beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan. Ketika saya selesai menjadi menteri, ada Rp 16 triliun yang menjadi dana abadi pendidikan.
Tapi Undang-Undang Pendidikan Tinggi itu cuma bentuk lain Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Intinya tetap komersialisasi kampus.
Undang-Undang Pendidikan Tinggi pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi juga. Tapi Mahkamah menyatakan regulasi itu konstitusional karena dasar kami kuat. Kami memastikan bantuan operasional kampus tetap ada dan akan terus naik. Maka saya ingin menegaskan bahwa menjadi kampus berbadan hukum harus selektif. Salah satu kriterianya adalah kemandirian. Jika suatu lembaga belum kuat lalu diberi kebebasan, ya tak akan efektif.
Kebijakan tentang UKT ini sebenarnya tak menjadi persoalan jika dana pendidikan sebesar 20 persen itu tepat sasaran. Anda setuju?
Yang menarik dicermati adalah kebijakan alokasi. Anggaran sebesar 20 persen itu sudah tepat atau belum? Meskipun besar, kalau penggunaannya tak pas, akan sama saja. Coba cek berapa biaya kuliah mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN dan Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Mereka tak membayar sehingga ada kesenjangan dari sisi alokasi. Anggaran infrastruktur juga lari ke sektor pekerjaan umum, bukan sektor pendidikan.
Anda ingin mengatakan pengelolaan anggaran pendidikan masih kacau?
Saya tak menuduh bahwa ada penyimpangan, tapi kebijakan distribusi anggaran perlu ditinjau lagi. Soal infrastruktur pendidikan itu, siapa yang bisa memastikan jika dana pendidikan tinggi lalu dipakai untuk membangun sekolah dan sarana pendukungnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kampus Jangan Menarik Uang dari Masyarakat"