Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENMARK punya ambisi besar mengganti semua energi fosil dengan energi terbarukan pada 2050. Dalam "Strategi Energi 2050" yang diluncurkan pada 2011 itu, negara kecil berpenduduk 5,2 juta jiwa di Skandinavia ini serius menyiapkannya. Kebijakan sektor energi pelan-pelan beralih ke pelbagai jenis energi baru dan terbarukan, setelah sejak 1972 memakai energi fosil seperti minyak, batu bara, bahkan gas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tekad Denmark itu muncul setelah mereka mengalami krisis energi pada 1973, juga karena krisis iklim. Produksi emisi karbon dioksida Denmark mencapai puncak pada 2000 sebanyak lebih dari 70 juta ton. Sejak itu, sumber-sumber energi Denmark bergeser. Panas bumi, energi angin, dan sampah kering menjadi andalan Denmark menggantikan minyak dan batu bara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teknologi bahan bakar sampah kering Denmark menjadi salah satu yang mumpuni. Pemerintah Denmark menularkan refuse-derived fuel (RDF) sampah di Cilacap, Jawa Tengah, pada 2020. Teknologi RDF pada dasarnya mengubah limbah rumah tangga menjadi energi untuk bahan bakar sebagai alternatif batu bara. Di Denmark, selain biomassa, RDF sukses mereduksi hampir 60 persen pemakaian batu bara.
Indonesia punya potensi besar memakai RDF. Dari 64 juta ton sampah setahun, hampir separuhnya adalah limbah rumah tangga. Karena itu, Denmark mereplikasi teknologi RDF dari Cilacap ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang di Bekasi, Jawa Barat. Menampung lebih dari 7.000 ton sampah penduduk Jakarta sehari, Bantargebang diprediksi tak bisa lagi menampung sampah Ibu Kota.
Duta Besar Denmark untuk Indonesia, Lars Bo Larsen, menyebut kerja sama ini sebagai upaya negaranya mendukung visi iklim Indonesia, khususnya memperkenalkan lebih banyak energi terbarukan. Dalam wawancara sekitar satu setengah jam di kantornya, Larsen memaparkan berbagai proyek Denmark dalam sektor energi dan lingkungan. “Indonesia bisa jadi yang pertama dalam kapal feri listrik,” katanya kepada wartawan Tempo, Abdul Manan, Iwan Kurniawan, dan Tara Resya.
Apa saja kerja sama dengan Indonesia?
Kami menikmati kerja sama yang sangat baik dengan Indonesia. Pemerintah Denmark melihat Indonesia sebagai mitra utama secara global, baik dalam isu lingkungan maupun energi berkelanjutan. Indonesia adalah suara penting di dunia. Kerja sama kami di semua bidang, termasuk keamanan, energi, lingkungan, pangan, maritim, budaya, dan pendidikan.
Apa yang paling besar?
Energi dan lingkungan. Di bidang energi kami telah membangunnya selama beberapa tahun. Kami memiliki target kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Badan Energi Denmark. Kami memberi saran dan mendukung visi nasional Indonesia, khususnya memperkenalkan lebih banyak energi terbarukan.
Seperti pengeringan sampah di Cilacap?
Dalam hal pembakaran sampah, kami mendukung proyek percontohan di Cilacap, yang diresmikan pada musim panas 2020. Sistemnya sangat sederhana. Sampah di tempat pembuangan akhir dikeringkan, lalu menjadi bahan bakar pembangkit listrik industri semen. Industri semen tertarik karena membutuhkan banyak energi untuk memproduksi semen dan suhunya harus sedikit lebih tinggi daripada produksi energi normal. PT Semen Indonesia sangat senang karena menghemat banyak biaya untuk batu bara. Saat ini 5-10 persen yang mereka bakar bukanlah batu bara, tapi pada dasarnya limbah. Yang luar biasa dari proyek di Cilacap ini adalah ia tidak hanya mengambil semua sampah dari Cilacap, tapi juga dari kabupaten tetangga.
Mengapa Cilacap?
Pertama, kedekatan sumber limbah rumah tangga dan industri semen harus diperhatikan dulu. Rantainya harus lebih pendek. Kedua, ada keterlibatan dari otoritas lokal. Ketiga, juga ada pengambilnya, yaitu PT Semen Indonesia.
Bagaimana bentuk kerja samanya?
Kerja sama antara pemerintah pusat, pemerintah kabupaten, dan PT Semen Indonesia. Sebagian dibiayai oleh otoritas lokal dan pemerintah pusat serta sebagian lagi oleh Denmark. Ini adalah kesepakatan 50 : 50 dan semuanya bekerja dengan baik. Pemerintah Indonesia sekarang memutuskan untuk mereplikasi sistem ini di tempat lain.
Apa hubungan proyek ini dengan Bantargebang?
Pemerintah Indonesia membuat daftar. Ada 26 atau lebih kabupaten yang ingin (pengolah sampah) direplikasi selama satu atau dua tahun ke depan. Salah satunya Bantargebang. Satu lagi di Bali.
Kapan proyek di Bantargebang dimulai?
Mereka sudah mulai membuat sistemnya, tapi bagian pembakarannya, setahu saya, akan dijalankan tahun depan. Bantargebang ini bukan proyek Denmark. Ini pemerintah Indonesia yang mereplikasi atau menyusunnya.
Apa dukungan Denmark?
Kami tidak terlibat secara finansial. Ini sangat bagus. Seperti dalam energi dan juga limbah, ekonomi ada sepanjang dibuat sistemnya. Jika Anda melihat sampah bukan sebagai sampah, melainkan sebagai komoditas, Anda bisa mulai membiayainya. Ada dua cara mendapatkan pendapatan. Salah satunya offtake (kontrak pembelian jangka panjang) seperti oleh Semen Indonesia. Kedua, kami memperkenalkan tipping fee (biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk pengolah sampah). Untuk mengantarkan sampah ke sana, pemerintah daerah harus membayarnya. Itu juga yang kami lakukan di Eropa. Jadi ada uang masuk saat Anda mengirimkan sampah dan ada uang masuk saat Anda mengirimkan bahan yang diperdagangkan. Pendapatan ini seharusnya cukup untuk membiayai insinerasi (pembakaran sampah).
Bagaimana mengembangkan energi terbarukan di sini?
Kami mencoba mengatasi dua kesenjangan. Pemerintah Indonesia berambisi memiliki 23 persen energi terbarukan pada 2025. Saat ini baru sekitar 11 persen. Kami berfokus pada kesenjangan antara ambisi itu dan apa yang bisa dilakukan. Dengan semua sumber daya yang dimiliki, Indonesia dapat berinvestasi lebih banyak dalam energi terbarukan, bukan sebagai biaya, melainkan pendorong pertumbuhan, menciptakan lapangan kerja. Indonesia dikaruniai begitu banyak sumber daya alam untuk semua jenis energi. Itu bisa berupa energi matahari, panas bumi, air, dan angin. Singkatnya, kami percaya ambisi Indonesia dapat digandakan dan masih menjadi bisnis yang baik. Dengan memperkenalkan lebih banyak energi terbarukan, akan mungkin untuk menurunkan biayanya. Tapi saat ini saya memperhatikan kesenjangan lain. Bukan dari ambisi ke potensi, melainkan dari implementasi ambisi itu karena nyatanya tidak banyak terwujud. Salah satunya karena ada kelebihan kapasitas batu bara, terutama di Jawa.
Apa yang didukung Denmark untuk energi terbarukan?
Kami memiliki portofolio proyek cukup besar dan investor yang ingin berinvestasi di berbagai wilayah di Indonesia. Kami pada dasarnya masih menunggu lampu hijau untuk itu. Poin utama yang coba kami sampaikan adalah, jika ada skala proyek yang cukup, harga akan turun dan pekerjaan masuk. Mari ambil contoh tenaga angin, dengan kincir angin. Jika Anda hanya membeli 10 kincir angin, harganya akan mahal dan dikirim dari luar negeri. Tapi, jika Anda memasang seribu kincir angin, itu dapat diproduksi di Jawa, pekerjaan akan tersedia di sini, dan harga jauh lebih rendah. Jadi semuanya bermuara pada skalanya.
Apakah regulasi saat ini cukup menarik bagi investasi?
Kami melihat peningkatan luar biasa dalam regulasi investasi. Kami menghargai itu. Masalah utamanya adalah kejelasan mengenai persetujuan dalam hal energi. Anda harus memiliki perjanjian dengan Perusahaan Listrik Negara untuk memproduksinya agar dapat dikirim ke jaringan listriknya. Ini batu sandungan utama. Kami tidak punya keluhan besar tentang kerangka investasi di sini. Saya tahu beberapa investor mengeluhkan persyaratan konten lokal.
Konten lokal untuk tenaga kerja atau peralatan?
Bisa berupa tenaga kerja dan manufaktur, bisa juga berupa pembangunan kapasitas. Ada banyak cara untuk melakukannya. Jika Anda membuat proyek percontohan, sulit untuk memiliki banyak konten lokal karena Anda tidak dapat membangun rantai pasok dalam skala yang sangat kecil. Tapi, jika Indonesia mewujudkan semua ambisinya, mewujudkan semua pembangkit energi (terbarukan), akan ada skala yang cukup untuk memproduksinya di sini. Di negara lain, investor telah menciptakan ratusan pekerjaan. Di India, Vietnam, Taiwan, atau Cina, investor mempekerjakan ribuan orang dan punya situs manufaktur besar di sana. Ini sangat mungkin terjadi di Indonesia juga selama skalanya ada.
Soal teknologi energi sampah, apa cukup bahan mentahnya?
Di sinilah kita sampai pada masalah ekonomi sampah lokal. Ada kasus, misalnya, di Semarang, tempat gasifikasi limbah. Masalahnya, ia tidak menghasilkan jumlah gas sesuai dengan harapan. Saya pergi ke sana dan melihat bersama Wali Kota Semarang. Dia menunjukkan bagaimana mereka kemudian memperluas area ke sebelahnya. Jadi masalah itu diselesaikan dengan memperluas area dan cakupan. Dalam hal ini, masalahnya adalah jumlah sampah yang tidak mencukupi dan kualitas sampah yang tidak sesuai dengan harapan. Dengan beberapa amendemen (aturan) dan ruang lingkup yang diperbesar, (proyek) ini benar-benar berjalan sekarang.
Apa dukungan Denmark dalam proyek Semarang?
Itu seperti Cilacap. Kami mendukung teknologi utama. Kami dukung perencanaannya, lalu kami serahkan ke Pemerintah Kota Semarang.
Denmark menyediakan teknologinya?
Sebagian. Kami tidak melakukannya untuk mempromosikan teknologi. Kami mempromosikan solusi dan kemudian mereka membeli peralatan. Di Cilacap, beberapa peralatan sebenarnya berasal dari Jerman. Kami sedang berdiskusi, jika kami memperluas proyek ke 30 wilayah lain, dapatkah kami memproduksinya secara lokal, tidak mengimpor dari Jerman. Jadi kita kembali ke masalah skala. Jika Anda melakukan ini di lima tempat, Anda harus mengimpor (peralatan). Tapi, jika Anda melakukannya di 50 tempat, Anda dapat melakukannya (membuat peralatan) di sini.
Omong-omong, bagaimana pengelolaan sampah di Denmark?
Ini proses yang telah kami lalui selama beberapa dekade. Pada awalnya Anda tidak melihat limbah hanya sebagai limbah, melainkan material. Di sinilah peran tempat pembakaran. Kedua, pemilahan. Apa yang kami coba dorong sekarang adalah pemikiran tentang ekonomi sirkular. Setiap kali kami memasukkan sesuatu ke proyek atau suatu produk, kami tahu cara menggunakannya kembali di sisi lain. Untuk itu, kami melakukan pra-perencanaan bersama kementerian dan para ahli. Hasilnya, jika Anda menerapkan cara berpikir ini di seluruh Indonesia, itu mungkin menambah sekitar 2 persen pertumbuhan ekonomi dan menciptakan 5,5 juta pekerjaan.
Dari ekonomi sirkular atau sampah?
Bisa dibilang dari sampah. Tapi lebih baik menghindari sampah, kan? Contohnya makanan. Dari yang saya pahami, lebih dari separuh ikan yang ditangkap di Indonesia tidak pernah dimakan. Ikan-ikan itu membusuk di suatu tempat karena datang dari timur Indonesia yang jauh ke Jawa. Dalam prosesnya, mereka (nelayan) bisa mendinginkannya. Kalau sudah bisa menerapkan fasilitas pendingin di perahu saat menangkap ikan, hidup nelayan akan jauh lebih baik karena mereka mungkin masih bisa menggandakan jumlah ikan dan ikan lebih segar. Nah, dengan cara berpikir seperti ini, kita bisa menerapkan elektrifikasi. Jika Anda memiliki sistem kelistrikan di kapal, Anda dapat menggunakannya untuk mesin dan mendinginkan ikan. Ini salah satu contoh bahwa kami yakin bisa melipatgandakan pendapatan nelayan lokal dengan menerapkan teknologi. Tentu saja teknologi ini butuh biaya. Tapi entah bagaimana itu bisa ditutupi oleh pendapatan. Ini salah satu proyek yang sedang kami kerjakan sekarang, yakni bisakah kita menempatkan fasilitas pendingin sejak di tempat ikan ditangkap.
Bekerja sama dengan siapa?
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Tapi masih dalam diskusi. Kami punya teknologinya. Ini untuk elektrifikasi bagian nelayan. Bagian lain lagi dengan Kementerian Perhubungan untuk fasilitas pendingin.
Apakah sudah ada proyek percontohannya?
Perusahaan Denmark sudah terlibat dalam proyek percontohan ini. Mereka melakukan elektrifikasi kapal. Kami sudah memikirkan untuk memiliki proyek percontohan dengan dukungan Denmark untuk menyediakan listrik kapal penangkap ikan atau feri.
Di mana yang potensial untuk elektrifikasi feri itu?
Kami sedang menunggu persetujuan akhir. Kita perlu memiliki (feri) yang jarak rutenya relatif pendek dan lalu lintasnya cukup. Sekali lagi, skala adalah masalahnya. Jika jarak rutenya relatif dekat, Anda dapat menyediakan listriknya. Jika jaraknya dekat, tidak ada masalah dengan baterai. Denmark tentu saja negara yang jauh lebih kecil, tapi tetap negara kepulauan, seperti Indonesia. Kami memiliki banyak feri mini juga. Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Trenggono dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa berkunjung dan berlayar dengan feri listrik itu dan mereka cukup tertarik untuk membawanya ke sini.
Berarti perlu baterai besar untuk feri?
Ya. Tapi keuntungannya besar. Jika Anda punya mesin pembakaran, Anda mungkin hanya menggunakan 15 persen energinya. Dalam elektrifikasi, Anda menggunakan semua energi untuk daya. Kedua, mesinnya jauh lebih sederhana, mesin listrik. Mesin pembakaran itu besar, bising, dan jauh lebih kompleks. Jika mesinnya elektrik, Anda memang membutuhkan baterai yang besar, tapi mesinnya jauh lebih sederhana. Baterai sangat menarik untuk Indonesia karena Indonesia berpeluang menjadi salah satu hub utama produksi baterai. Ada juga sisi mengapa pemerintah Indonesia berkepentingan di sini. Bisa dibilang skuter dan mobil sudah dielektrifikasi di tempat lain. Saya pikir Indonesia sedikit terlambat. Jika Anda melihat Cina, Eropa, persentase mobil listriknya jauh lebih tinggi. Namun, untuk feri, Indonesia bisa menjadi "first mover" dan merupakan salah satu negara di dunia dengan jumlah kapal terbanyak dan potensi terbesar untuk membuat baterainya.
Dari pengalaman Denmark, berapa persentase pengurangan biaya dengan elektrifikasi ini?
Investasi awal sedikit lebih tinggi. Mungkin lebih tinggi 25 persen. Biayanya lebih rendah. Waktu pengembalian sekitar lima tahun.
Bagaimana dengan harga energi terbarukan?
Sebenarnya listrik yang dihasilkan kincir angin lebih murah daripada batu bara. (Di Denmark) sudah bertahun-tahun ada kesenjangan kecil harga lelang tenaga angin yang sedikit lebih tinggi daripada energi fosil. Namun dalam dua-tiga tahun terakhir harga yang ditawarkan lebih rendah, jauh lebih kompetitif daripada batu bara. Akankah hal itu terjadi di Indonesia? Akhirnya, ya. Dalam jangka pendek, tidak. Begitu skalanya tercapai, energi terbarukan juga akan lebih murah daripada batu bara di Indonesia.
Di Denmark, berapa persen energi terbarukan dan fosil?
Kami berasal dari masa lalu yang gelap: 95 persen energi dari bahan bakar fosil. Sekarang kami mendekati lebih dari 60 persen energi angin dan surya. Penggunaan batu bara turun menjadi sekitar 10 persen dan ini juga akan keluar sepenuhnya. Kemudian kami mengekspor sisanya ke Jerman dan Norwegia karena kami mengintegrasikan jaringan listrik dengan dua negara itu. Sistem dasarnya adalah, ketika Denmark berangin, orang Norwegia menahan energi dari tenaga air. Saat tidak terlalu berangin, Norwegia melepaskan tenaga airnya, kemudian kami mengimpor energi terbarukan dari Norwegia.
Soal invasi Rusia ke Ukraina, apa yang Anda lihat?
Beberapa efek krisis energi ini tampak di Eropa. Itu berarti kami perlu memperkuat visi kami terhadap energi terbarukan. Masalah beberapa negara Eropa adalah mereka terlalu bergantung pada satu sumber energi. Dalam hal ini gas Rusia. Saya tidak melihat diskusi ini antara energi terbarukan dan tidak terbarukan. Saya melihat ini sebagai diskusi tentang diversifikasi yang terlalu sedikit. Jadi Anda perlu memiliki lebih banyak sumber energi.
Duta Besar Denmark untuk Indonesia Lars Bo Larsen, di Jakarta, 9 November 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna
Lars Bo Larsen
Pendidikan:
Master Ilmu Politik dari Aarhus University, Denmark
Pekerjaan:
Duta Besar Denmark untuk Indonesia, Papua Nugini, Timor Leste, dan ASEAN (2020-sekarang)
Duta Besar untuk Kebijakan Keamanan dan Luar Negeri Uni Eropa (2017-2020)
Wakil Kepala Misi Kedutaan Besar Denmark di Beijing (2013-2017)
Penghargaan:
Knight of the Order of Dannebrog
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo