Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Sampai Mati, Saya Tak Akan Menyerah

Mengapa Suciwati kecewa terhadap komitmen Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan pembunuhan suaminya, Munir Said Thalib?

18 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Suciwati menilai pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat karena dilakukan institusi negara.

  • Suciwati mempertanyakan alasan Jaksa Agung tidak mengajukan peninjauan kembali dalam kasus Muchdi.

  • Suciwati merilis kisah pahit-manis kebersamaannya dengan Munir dalam buku Mencintai Munir.

KASUS pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib memasuki tahun ke-18 pada September ini. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan itu meninggal karena diracun dengan arsenik dalam penerbangan Garuda Indonesia GA-947 dari Jakarta ke Amsterdam pada 7 September 2004.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pegawai dan petinggi Garuda serta pejabat Badan Intelijen Negara (BIN) dituduh terlibat dalam pembunuhan itu dan kemudian diadili. Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda, divonis bersalah sebagai pelaku peracunan dan diganjar hukuman 14 tahun penjara. Direktur Utama Garuda Indonesia Indra Setiawan juga dihukum 1 tahun penjara karena membantu menjadikan Pollycarpus penumpang dalam pesawat tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Satu-satunya petinggi BIN yang diadili dalam kasus ini adalah Deputi V Bidang Penggalangan Muchdi Purwopranjono. Bekas Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus ini diduga sebagai pemberi perintah kepada Pollycarpus. Dalam sidang pada 31 Desember 2008, hakim Suharto membebaskan Muchdi karena menilainya tidak terbukti terlibat.

Suciwati, istri Munir, mengaku kecewa atas proses hukum kasus ini. Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum) lalu dibentuk guna mengadvokasi kasus Munir. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, ada sejumlah petinggi BIN yang disebut terlibat tapi tidak diproses hukum. Kejaksaan Agung juga tak mengajukan permintaan kasasi atas putusan bebas Muchdi, meskipun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia merekomendasikan pengadilan diulang.

Advokasi kasus kematian Munir ini sangat panjang dan melelahkan. Suciwati menuangkan kisah kehidupannya bersama Munir dan ancaman yang ia hadapi dalam buku Mencintai Munir yang diselesaikan dalam 10 bulan. "Namanya migrain dan muntah-muntah adalah bagian dari proses (penulisan) itu," katanya dalam peluncuran buku itu di Kemang, Jakarta, pada Rabu, 14 September lalu.

Pembunuhan Munir terjadi pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Proses hukumnya dijalankan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah Muchdi divonis bebas, kasus Munir berhenti. Tak ada perkembangan berarti dalam pemerintahan sesudahnya meski Jokowi pernah mengatakan ingin menyelesaikan kasus ini.

Dalam orasi di depan Aksi Kamisan di seberang Istana Negara, Jakarta, pada Kamis, 15 September lalu, Suciwati menyampaikan kegelisahannya. Ia menilai saat ini tidak ada partai oposisi yang berani mempertanyakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, termasuk penyelesaian lewat jalur non-yudisial yang dipilih pemerintah. "Partai-partai lebih sibuk untuk tetap berkuasa. Isu hak asasi manusia hanya menjadi batu loncatan untuk berkuasa, termasuk Jokowi dengan Nawa Cita-nya," tuturnya.

Selama 18 tahun mengadvokasi kasus Munir, Suciwati dan Kasum menghadapi banyak hal. Ancaman dan teror datang silih berganti untuk membuatnya berhenti mengangkat kasus ini. Namun semangatnya tak kendur. "Aku sejak awal sama almarhum itu sudah bilang bahwa mati-hidup kita bukan urusan manusia," ujarnya dalam wawancara dengan wartawan Tempo, Abdul Manan, Iwan Kurniawan, dan Tara Resya, pada Sabtu, 10 September lalu.

Dalam wawancara sekitar satu jam, Suciwati menuturkan perjuangannya dalam mengangkat kasus Munir. Ia juga mengisahkan berbagai tekanan yang dihadapinya dan menilai bagaimana komitmen tiga presiden untuk menuntaskan kasus ini.

Perjalanan kasus Munir sudah memasuki tahun ke-18. Bagaimana Anda melihatnya?

Sebagai korban, selama keadilan tidak aku peroleh, aku akan bilang ini kasus pelanggaran HAM berat. Fakta-fakta (yang terungkap) di pengadilan sudah jelas bahwa ini permufakatan jahat yang melibatkan empat pelaku, yakni pelaku lapangan, pelaku pembantu, pemberi akses, dan inisiator, yang merencanakan. Di pengadilan bisa kita lihat bandar udara internasional yang tiba-tiba CCTV-nya tidak bekerja. Itu kelihatan sekali konspirasinya. Memakai penerbangan milik negara GA-974. Ada telepon antara pelaku lapangan, pemberi akses, ke lembaga negara BIN. Apalagi yang dipakai itu arsenik, yang tidak gampang didapatkan orang. Jelas ini orang yang melakukannya memakai lembaga negara. Ini pembunuhan yang melibatkan aktor negara. Ini konspirasi dan kejahatannya struktural.

Pollycarpus, Indra Setiawan, dan Muchdi sudah diadili.

Komnas HAM sudah pernah melakukan eksaminasi. Eksaminasi itu memberikan rekomendasi pengadilan harus diulang karena hakimnya tidak kredibel. Banyak kejanggalan ditemukan oleh Komnas terhadap hakimnya.

Apakah penyelidikan kasus ini sudah berada di jalur yang benar?

Bolak-balik ganti tim dan bagaimana mereka diancam juga. Soal on the track masih tidak 100 persen, mungkin 50 persen belum. Sebab, waktu itu tak menjangkau (BIN) sama sekali. Awalnya (penyelidikan) cuma mau berhenti di orang-orang Garuda, tidak sampai ke BIN. Ketika didorong semua, ada banyak dari luar negeri yang mempertanyakan—Uni Eropa, negara-negara Barat, tokoh penerima penghargaan—menulis surat ke SBY, Kongres Amerika Serikat tanda tangan mempertanyakan itu. Belum lagi badan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Itu yang kemudian membuat Kepolisian RI bergerak.

Apakah semua orang yang terlibat sudah diadili?

Bagaimana dengan pengangkatan Pollycarpus? Surat (perintah) itu kan ditandatangani Wakil kepala BIN As'ad Said Ali. Lewat kesaksian Indra Setiawan di pengadilan kasus Muchdi, dia minta Poly, "Siapa nih yang ngangkat kamu?" Itu kan kemudian dia (Indra) ketemu As'ad dan ada Muchdi di situ. Itu menunjukkan ada sesuatu. Kami mendengar orang dari Deputi II mengatakan pernah disuruh atasannya di BIN untuk membunuh Munir. Terus ada petugas dari Deputi VII tiba-tiba minta ketemu sama Munir sebelum berangkat ke Belanda. Kalau Pollycarpus itu (melalui) Deputi V. Antardeputi kan kerjanya kompartemental. Antara satu dan yang lain kerjanya tidak saling tahu. Kalau mereka bekerja sama untuk melakukan sesuatu dan akhirnya terjadi pembunuhan ini, berarti ada yang tahu di atasnya. Waktu itu Kepala BIN Hendropriyono.

Ini kerja personal atau lembaga?

Sistematik menurutku dan karena itu terpenuhi unsur kasus pelanggaran HAM-nya. Kalau orang yang terlibat seperti itu, ada deputi, ada wakil kepala, bagaimana mau tidak kita bilang sistematis.

Para petinggi BIN membantah terlibat kasus ini.

Pasti, lah. Pilihan racunnya saja pakai arsenik. Itu dilakukan oleh orang pengecut. Kau berharap apa dari mereka? Untuk mengaku?

Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Megawati. Bagaimana sikap pemerintah saat itu?

Dia tak ngomong apa pun soal kasus Munir. Memang harus digarisbawahi bahwa pembunuhan Munir itu di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri.

Apa perbedaan penanganan oleh presiden-presiden berikutnya?

Buat aku, mending Susilo Bambang Yudhoyono, meski tidak berani total. Paling tidak ada action-nya. Kalau (presiden) saat ini, tidak ada. Yang dia (Jokowi) tunjukin dengan gagah malah mengangkat terduga pelaku pelanggaran HAM (sebagai menteri).

Suciwati, Istri almarhum Munir Said Thalib, launching buku Mencintai Munir karyanya di Kemang, Jakarta, 14 September 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna

Pernah bertemu dengan Yudhoyono?

Ketemu. Pertama, sebelum pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Pembunuhan Munir. Kedua, diajak ketemu bersama keluarga korban pelanggaran HAM yang tergabung dalam Aksi Kamisan, tapi saya tidak mau.

Janji pembentukan TPF akhirnya dipenuhi.

Tapi mengapa setengah hati? Bekerja itu harus total.

Penyidikan kasus Munir kan akhirnya jalan.

Itu setelah didorong-dorong. Kalau mereka profesional, tak perlu didorong-dorong.

Apakah pernah bertemu dengan Presiden Jokowi?

Beberapa kali ada kesempatan. Pada 2014, Komnas HAM memberi penghargaan kepada Munir. Komnas HAM kepada saya mengatakan bahwa penghargaan akan diberikan oleh Jokowi di Yogyakarta. Buat aku, lebih penting menuntaskan kasusnya dan membawa penjahatnya ke pengadilan. Enggak penting ketemu presiden kalau tidak bisa berbuat apa-apa.

Bagaimana dengan komitmen Jokowi untuk menyelesaikan kasus ini?

Pada 2016, Presiden bicara ke publik. Dia mengatakan sudah memerintahkan Jaksa Agung, "Hei, Jaksa Agung, selesaikan, ya, tuntaskan, ya, kasus Munir." Kemudian enggak ada apa-apa.

Apakah masih ada harapan Presiden Jokowi akan menyelesaikan kasus ini?

Mengapa berharap sama orang yang pembohong? Yang mengkhianati kita? Bagi aku, harapan itu, ya, buat anak muda dan orang-orang yang nanti memimpin republik ini supaya benar-benar orang yang bersih, yang mengerti hak asasi manusia dan sebagainya.

Advokasi kasus ini sudah lama. Ada intimidasi?

Intimidasi terjadi sejak awal. Saya pernah dikirimi paket berisi kepala ayam dan kotorannya (pada 2004). Terus ada sayembara yang isinya memberi hadiah bagi yang bisa mencungkil mata saya, hadiahnya sekian juta (pada 2008). Itu lewat surat. Pernah anakku tiba-tiba didatangi polisi. Katanya mau mengamankan anakku. Aku pernah juga ditelepon oleh Pollycarpus pada 2013, padahal dia ngomong sedang dipenjara di Sukamiskin. Mengapa dia bisa telepon? Dan ketika dicek sama Usman Hamid lewat temannya yang ahli teknologi informasi, dia dilacak sedang ada di Menteng, Jakarta. Berarti sedang jalan-jalan, dong. Padahal dia baru keluar dari penjara (karena pembebasan bersyarat) pada 2014.

Apa yang disampaikan Pollycarpus saat itu?

Dia mau ngeledek aku. Mau menunjukkan bahwa kamu enggak bisa memenjarakan aku. Dalam telepon dia mengatakan, "Lupa, ya, sama aku? Aku kan temannya, Mbak." Aku langsung tahu itu dia karena aku hafal suaranya. Jadi langsung aku matiin aja. Ada juga beberapa surat ke rumah di Malang. Intinya menyatakan Pollycarpus enggak bersalah. Aku mah enggak respons. Terus rumahku pernah dijebol pada 2013. Aku merinding banget saat itu. Anakku untungnya dibawa sama budenya saat itu.

Bagaimana memastikan pelakunya bukan maling?

Kami mau bilang maling, tapi dia ngambil data. Yang hilang laptop dan kamera. Ada sepeda motor dengan kunci yang nempel plus STNK, enggak diambil.

Anda tidak takut terhadap intimidasi?

Aku sejak awal sama almarhum itu sudah bilang bahwa mati-hidup kita bukan urusan manusia. Kami punya keyakinan bahwa Tuhan yang membuat itu. Jadi nothing to lose aja. Kalau enggak ngapa-ngapain kita mati, ngapa-ngapain kita mati. Kan, mending ngapa-ngapain dan berjuang, kita mati. Sama-sama matinya, gitu lho. Itu ada dalam obrolanku sama almarhum di buku Mencintai Munir. Aku kan bekerja berbasis mencintai kebenaran, mencintai keadilan. Jadi, ya, kenapa kita harus tunduk kepada para penjahat? Bahwa ketakutan itu bisa kita tata. Bahwa ketakutan itu membuat kita jadi lemah. Jadi kalau kita bekerja karena berbasis ketakutan, ya kita enggak akan ngapa-ngapain, enggak akan pernah menghasilkan apa pun.


Suciwati

Tempat dan tanggal lahir:
Malang, Jawa Timur, 28 Maret 1968

Pendidikan:
S-1 Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Negeri Malang

Penghargaan:
• Asian Heroes dari Majalah Time, 2005
• Penghargaan Human Rights First, 2006
• Metro TV Award, 2006
• RCTI People of the Year, 2009


Apakah Anda pernah merasa putus asa?

Ya, pasti, lah. Dulu di awal-awal, ya. Tahun 2004 itu aku sedang di rumah kontrakan di Jakamulya, Bekasi, Jawa Barat. Itu kan ruang di mana semuanya mengingatkan aku sama dia (Munir). Satu hari, aku mau siap-siap pindahan. Aku kan dibeliin ponakanku kardus-kardus kosong untuk packing. Nah, aku ini mau liburan. Itu kesedihannya luar biasa sampai aku angkat kardus kosong itu aja enggak kuat. Jatuh terus berkali-kali. Akhirnya aku berhenti. Keluar jalan-jalan. Akhirnya aku jalan. Tapi apa yang terjadi? Sepanjang jalan aku hanya menangis.

Komnas HAM membentuk tim ad hoc kasus Munir dan presiden menerbitkan peraturan presiden untuk membentuk tim non-yudisial untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Apa komentar Anda?

Kalau Komnas HAM, masih sedikit percaya, ya. Tetap akan kami dorong meskipun mereka lelet dan mungkin agak lama untuk memahami bahwa ini penting segera dibikin tim ad hoc. Itu memang lama dan tetep harus kami dorong untuk diputuskan bahwa ini memang kasus pelanggaran HAM berat. Soal yang dibentuk oleh peraturan presiden, buat aku, ini cara-cara Jokowi yang mau membuat impunitas makin kuat.

Anda masih punya harapan?

Aku tetap punya harapan. Doronglah Komnas HAM, ayo kerja bener. Kalau kamu gagal, apa lagi nih yang bisa kami lakukan? Selalu harus ada strategi untuk itu. Dan itu kan membangun harapan buat ke depan bahwa kami enggak menyerah. Kami akan terus, apa pun yang terjadi, sampai aku mati mungkin, ya. Terus ke Jaksa Agung mungkin kami akan melakukan gugatan atau apa. Kenapa Jaksa Agung tidak melakukan peninjauan kembali, misalnya, terhadap kasus Muchdi? Kami tanya juga kenapa waktu itu tidak dikeluarkan rekaman komunikasi antara Pollycarpus dan Muchdi di persidangan. Itu kan pertanyaan yang tidak pernah dijawab.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus