Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah terus membahas rencana kenaikan harga BBM bersubsidi.
Kenaikan harga BBM menjadi upaya terakhir untuk menahan bengkaknya subsidi.
Skema bantuan sosial, Program Keluarga Harapan, dan bantuan langsung tunai akan dioptimalkan.
SEPANJANG pekan lalu, pembahasan rencana kenaikan harga BBM atau bahan bakar minyak bersubsidi digelar secara maraton di sejumlah tempat. Rapat di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, misalnya, terus berlangsung dan melibatkan sejumlah menteri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti yang terjadi pada Rabu, 24 Agustus lalu, saat Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto bertemu dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Santer beredar kabar bahwa hari itu pemerintah akan membahas kenaikan harga Pertalite dan solar. Apalagi tiga hari sebelumnya, saat memberikan kuliah umum di Universitas Hasanuddin, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan akan ada pengumuman kenaikan harga BBM bersubsidi.
Antrean kendaraan di SPBU kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, 22 Agustus 2022. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Namun, hingga pertemuan itu selesai, pemerintah belum mengabarkan keputusan tentang harga BBM. Anggota staf khusus Menteri Koordinator Perekonomian, Raden Pardede, mengatakan rapat tersebut membahas antisipasi terhadap dampak kondisi global pada perekonomian Indonesia. “Bagaimana supaya ekonomi kita lebih sustainable dan dampaknya terhadap anggaran juga baik,” ujarnya. Sedikit petunjuk dari Raden, ada pembahasan opsi membatasi penyaluran BBM bersubsidi serta menaikkan harga Pertalite dan solar. “Nanti Bapak Presiden akan memilih yang terbaik.”
Dua hari kemudian, Kementerian Koordinator Perekonomian menggelar rapat terbatas secara hibrida alias daring dan luring. Kali ini rapat membahas skema perlindungan sosial sebagai bantalan bagi masyarakat kelas bawah jika harga BBM bersubsidi naik. Kepada Tempo pada Sabtu, 27 Agustus lalu, Sekretaris Kementerian Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan rapat tersebut membahas program perlindungan sosial untuk menjaga daya beli masyarakat, baik yang sudah masuk Data Terpadu Kesejahteraan Sosial maupun belum.
Presiden Joko Widodo (kanan) berbincang dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi tahun 2022 di Istana Negara, Jakarta, 18 Agustus 2022. ANTARA/Hafidz Mubarak A
Menurut Susiwijono, pemerintah akan mengoptimalkan skema yang sudah ada, seperti bantuan sosial, Program Keluarga Harapan, atau bantuan langsung tunai. “Kemarin belum lengkap, nilainya belum dibahas.” Pemerintah menyiapkan skenario untuk mengamankan masyarakat kelas bawah dan kelompok masyarakat yang terkena dampak kenaikan harga BBM. “Yang terkena dampak langsung misalnya sektor transportasi,” Susiwijono menambahkan.
Informasi yang diperoleh Tempo menyebutkan Presiden Joko Widodo bakal mengumumkan kenaikan harga Pertalite dan biosolar dalam waktu dekat. Seorang pejabat pemerintah bercerita, angka kenaikan harga dua jenis bahan bakar bersubsidi ini mencapai Rp 2.000-3.000 per liter. Saat ini Pertalite dijual Rp 7.650 per liter, sementara biosolar dihargai Rp 5.150 per liter.
Kenaikan harga BBM ini adalah upaya terakhir untuk menahan anggaran subsidi yang terus membengkak. Alarm pembengkakan belanja subsidi energi sebenarnya telah disampaikan kepada Presiden Jokowi pada semester I lalu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) bersama Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan keterangan pers usai mengikuti Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, 8 Agustus 2022. ANTARA/Hafidz Mubarak A
Pejabat lain menyebutkan Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan dampak kenaikan harga minyak dunia yang membuat subsidi energi melonjak tajam. Hal itu memberatkan anggaran negara, meski Indonesia mendapat durian runtuh berupa windfall profit alias tambahan penerimaan dari peningkatan ekspor komoditas. Sebagai solusi, disampaikan juga beberapa opsi untuk dipertimbangkan oleh Presiden.
Dalam rapat kerja dengan Komite IV Dewan Perwakilan Daerah pada Kamis, 25 Agustus lalu, Sri Mulyani mengatakan harga keekonomian atau harga wajar Pertalite adalah Rp 14.450 per liter, sementara solar Rp 13.950 per liter. Angka ini memakai asumsi harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) US$ 100 per barel dengan nilai tukar Rp 14.450 per dolar Amerika Serikat. Walhasil, ada selisih antara harga wajar dan harga jual Pertalite Rp 6.800 per liter dan Rp 8.300 per liter untuk solar. “Selisih harga itu yang harus kita bayar ke Pertamina. Itulah yang disebut subsidi dan kompensasi," tutur Sri.
Pada Mei lalu, Menteri Sri juga sudah blakblakan tentang membengkaknya belanja subsidi energi. Dia mengatakan pembayaran subsidi energi hingga April lalu telah menembus Rp 48,5 triliun, ditambah kekurangan bayar tahun sebelumnya Rp 10,17 triliun. Angka tersebut jauh lebih besar ketimbang realisasi subsidi pada April 2021 yang sebesar Rp 32,78 triliun dengan kekurangan bayar Rp 7,95 triliun. Belanja subsidi membengkak karena harga minyak dunia yang meroket dan konsumsi BBM bersubsidi terus meningkat.
Petugas melayani pembelian Bahan Bakar Minyak di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Bacin, Kudus, Jawa Tengah, 29 Juni 2022. ANTARA/Yusuf Nugroho
Tapi saat itu opsi penyesuaian harga atau pembatasan volume konsumsi belum mengemuka. Sebab, Indonesia masih mengalami surplus anggaran. Badan Pusat Statistik mengumumkan neraca perdagangan Indonesia pada April 2022 mencapai US$ 7,56 miliar (sekitar Rp 112 triliun). Indonesia mencatatkan surplus perdagangan selama 24 bulan berturut-turut. Dibanding pada tahun sebelumnya, terjadi kenaikan 230 persen. Adapun bila dibanding pada Maret 2022, angka kenaikannya 66,5 persen.
Sumber Tempo mengungkapkan, saat itu ada pertimbangan lain yang membuat pemerintah mengesampingkan opsi kenaikan harga BBM. Pertimbangan itu adalah tingkat kepuasan publik (approval rating) terhadap kinerja Jokowi. Survei Indikator Politik Indonesia (IPI) menyebutkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi terus merosot karena kenaikan harga bahan kebutuhan pokok, terutama minyak goreng. Berdasarkan hasil survei IPI pada 14-19 April 2022, tingkat kepuasan publik hanya 59,9 persen. Kondisi akan makin buruk bila pemerintah menaikkan harga BBM, apalagi menjelang Pemilihan Umum 2024.
Pertimbangan lain adalah potensi penolakan masyarakat yang bisa menimbulkan gejolak. Hal ini tecermin dari pernyataan Jokowi dalam acara “Silaturahmi Nasional Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat” pada Jumat, 5 Agustus lalu. Saat itu Jokowi mengatakan kenaikan harga BBM bisa memicu demonstrasi besar. "Naik 10 persen saja demonya dulu tiga bulan. Kalau naik sampai 100 persen lebih, demonya akan berapa bulan?" ujarnya.
Antrean solar di SPBU Romi Herton, Jalan SMB II KM12, Palembang, Sumatra Selatan. TEMPO/Parliza Hendrawan
Tapi ndilalah harga minyak kian menanjak. Kementerian Energi mengumumkan rata-rata ICP Juni 2022 sebesar US$ 117,62 per barel. Angka itu jauh di atas angka bulan sebelumnya yang sebesar US$ 109,61 per barel. Dorongan kepada pemerintah agar mengeluarkan kebijakan intervensi pun mencuat. Pilihannya: menaikkan harga BBM bersubsidi, membatasi konsumsi, atau menambah anggaran dan kuota subsidi.
Toh, Jokowi bergeming. Sumber tersebut bercerita, Jokowi sebenarnya membuka peluang penyesuaian harga, bila memang harus dilakukan. Dalam beberapa kesempatan ia mengeluhkan anggaran negara yang terbebani karena harus memikul subsidi BBM yang membengkak. Tapi ia menginginkan wacana kenaikan harga disuarakan dulu kepada publik, misalnya oleh politikus.
Gayung bersambut. Salah satu yang menyuarakan wacana kenaikan harga BBM bersubsidi adalah politikus Partai Golkar, Maman Abdurrahman. Alasannya, kata Maman, selisih harga BBM bersubsidi dengan harga pasar sudah terlampau jauh. "Saya mendorong pemerintah segera melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi di dalam negeri," ucap Wakil Ketua Komisi Energi DPR itu dalam keterangan tertulis bertanggal 13 Agustus 2022.
Belakangan, ihwal kenaikan harga BBM bersubsidi juga disuarakan para anggota kabinet. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia melempar sinyal tentang rencana kenaikan harga Pertalite dan solar. "Tolong sampaikan kepada rakyat bahwa rasa-rasanya sih untuk menahan terus harga BBM seperti sekarang, feeling saya sih kita harus siap-siap, kalau katakanlah kenaikan harga itu terjadi," kata Menteri Bahlil, Jumat, 12 Agustus lalu.
Suara berbeda disampaikan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. Ia mengatakan Jokowi dan para menteri masih membahas rencana itu. "Rencana kenaikan masih dirapatkan dengan Pak Presiden, tidak pada kuartal III 2022. Kita lihat tahun depan, (skema) subsidi masih dirancang," ucapnya pada Sabtu, 20 Agustus lalu.
Namun Susiwijono Moegiarso membantah kabar tentang perbedaan suara di kabinet tersebut. Ia memastikan pembahasan sudah mengerucut ke skema perlindungan sosial. “Jenis bantuan apa saja yang disiapkan, terutama bagi masyarakat yang terkena dampak langsung kenaikan harga BBM,” ujarnya.
Pada Selasa, 23 Agustus lalu, Jokowi mengatakan kenaikan harga BBM bersubsidi menyangkut hajat hidup orang banyak. Karena itu, ia menginginkan keputusan dibuat secara hati-hati. “Dikalkulasi dampaknya," katanya di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur.
Ihwal dampak inflasi akibat kenaikan harga BBM, bank sentral telah berjaga-jaga. Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada Senin-Selasa, 22-23 Agustus lalu, memutuskan kenaikan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis point menjadi 3,75 persen dari sebelumnya 3,5 persen. "Ini sebagai langkah preventif dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti," tutur Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.
•••
ARIANSYAH terpaksa mempersingkat waktunya mencari ikan di laut. Nelayan asal Padang Tikar, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, ini kini hanya dapat melaut dua-tiga jam saja, padahal sebelumnya bisa seharian sekali jalan. Sebab, persediaan solar untuk menjalankan perahu kian tipis. Kadang sampai beberapa hari dia tak bisa mencari ikan. “Susah dapat solar. Jadinya kadang melaut, kadang tidak,” katanya kepada Tempo, Kamis, 25 Agustus lalu.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan itu menyebutkan Solar Pack Dealer Nelayan (SPDN) di daerahnya, di dekat perairan Karimata, sudah lama tidak beroperasi. SPDN dibangun oleh PT Pertamina (Persero) untuk menyediakan solar bersubsidi bagi nelayan. Menurut Ariansyah, nelayan sering mengeluhkan pasokan solar murah. “Solar di SPDN Padang Tikar pernah ada, tapi sudah lama tidak beroperasi.”
Menurut Sekretaris Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kabupaten Kubu Raya Busrah Abdullah, solar untuk nelayan langka sejak tiga bulan lalu. Jikapun stok ada, para nelayan harus membelinya seharga Rp 12-13 ribu per liter. Padahal harga solar bersubsidi Rp 5.500 per liter. Artinya, untuk sekali melaut selama enam jam, nelayan kecil memerlukan modal awal Rp 800 ribu-1 juta. Biaya ini tak sebanding dengan pendapatan mereka yang rata-rata di bawah Rp 500 ribu sekali melaut.
Di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Sekadau, Kalimantan Barat, Rayza Dimas memarkir kendaraan sejak subuh demi mendapatkan solar bersubsidi. Warga Kota Pontianak yang berprofesi tenaga penjualan pupuk ini terpaksa antre dua jam. “Untung dapat. Mobil-mobil setelah kami tidak kebagian. Harus antre lagi besok,” tutur pria 25 tahun itu.
Menurut Rayza, antrean di SPBU adalah pemandangan biasa di daerah sentra kelapa sawit hulu Kalimantan Barat tersebut. “Kami bersaing dengan truk-truk dan pikap pengangkut sawit,” ujarnya.
Pemandangan serupa tampak di Kota Palembang, Sumatera Selatan. Sebuah pengumuman menghadang kendaraan yang akan menuju mesin dispenser solar di SPBU di Jalan Kolonel Haji Burlian, depan Punti Kayu, Kamis siang, 25 Agustus lalu. “Maaf, solar belum masuk dari depot Pertamina,” demikian isinya. Meski begitu, mobil bak terbuka berisi material bangunan yang dikemudikan Anas tetap bertahan di dekat mesin pengisian. “Sudah hampir satu jam menunggu,” ucapnya.
Manajer SPBU Punti Kayu, Tandy Iyung, mengatakan antrean panjang sudah sering terjadi dalam tiga bulan terakhir karena permintaan meningkat. “Mungkin jumlah kendaraan makin bertambah dan ekonomi mulai membaik setelah pandemi Covid-19,” katanya pada Rabu, 24 Agustus lalu. Menurut Tandy, tak ada pengurangan pasokan dari Pertamina.
Area Manager Communication, Relations, and Corporate Social Responsibility Pertamina Regional Sumatera Bagian Selatan Tjahyo Nikho Indrawan menjamin stok BBM bersubsidi di Palembang masih aman. Dia mengaku sudah memantau pasokan di SPBU bekerja sama dengan kepolisian. “Kondisi SPBU tengah padat kendaraan. Konsumsi melonjak.”
Menurut Tjahyo, tingkat konsumsi biosolar atau solar bersubsidi di Palembang hingga pertengahan Agustus sudah 32 persen di atas kuota. Rata-rata konsumsi solar sebesar 624 kiloliter per hari. Adapun tingkat pemakaian Pertalite sudah 24 persen di atas kuota. Rata-rata konsumsi Pertalite mencapai 722 kiloliter per hari. “Kami menyalurkan BBM ke SPBU di Kota Palembang setiap hari, sesuai dengan kuota yang sudah ditetapkan. Tidak ada pengurangan,” ia menegaskan.
Kekhawatiran akan habisnya kuota bensin bersubsidi sebelum akhir tahun ini juga diungkapkan anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Mukhtarudin. “Belum habis tahun, kuota ludes. Kelangkaan di mana-mana. Ini bisa jadi persoalan luar biasa bagi bangsa,” katanya dalam rapat kerja dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada Rabu, 24 Agustus lalu.
Berdasarkan data Pertamina, sampai pertengahan Agustus 2022, angka penggunaan Pertalite mencapai 18,73 juta kiloliter atau 81 persen dari kuota tahun ini. Tanpa intervensi kebijakan, jumlah konsumsi diperkirakan mencapai 29,07 juta kiloliter pada akhir tahun, melampaui kuota yang sebesar 23,05 juta kiloliter. Angka ini juga kontras jika dibandingkan dengan data tahun lalu, saat realisasi penyaluran Pertalite sebesar 26,48 juta kiloliter.
Sedangkan angka pemakaian solar telah mencapai 10,48 juta kiloliter atau 70,28 persen dari kuota tahun ini. Tanpa intervensi kebijakan, jumlah konsumsi solar bisa mencapai 17,44 juta kiloliter, jauh di atas kuota akhir tahun yang sebesar 14,91 juta kiloliter. Padahal tahun lalu jumlah penggunaan solar hanya 14,75 juta kiloliter.
Anggaran subsidi untuk BBM, elpiji, dan listrik pun terus bertambah. Semula pemerintah menjatahkan Rp 152,5 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2022. Saat itu pemerintah mengasumsikan harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price sebesar US$ 63 per barel dengan kurs Rp 14.350 per dolar Amerika Serikat. Dalam APBN Perubahan, anggaran subsidi membengkak menjadi Rp 502,4 triliun karena asumsi ICP naik menjadi US$ 100 per barel dan nilai tukar Rp 14.500 per dolar.
Persoalannya, jika harga minyak dunia terus meroket, angka-angka itu bisa kian membengkak. Pemerintah memproyeksikan ICP bisa mencapai US$ 105 per barel menjelang akhir tahun dan kurs menjadi Rp 14.750 per dolar Amerika Serikat. Konsumsi Pertalite pun mungkin naik dari kuota awal 23,05 juta kiloliter menjadi 29,07 juta kiloliter. Adapun konsumsi solar bisa membengkak dari kuota 15,1 juta kiloliter menjadi 17,44 juta kiloliter. Dengan perkiraan ini, anggaran subsidi dan kompensasi bisa bertambah menjadi hampir Rp 700 triliun.
Ketimbang habis untuk menyubsidi bahan bakar, duit sebesar itu bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan lain. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan perbandingan, anggaran sebesar itu bisa digunakan untuk membangun 3.333 rumah sakit kelas menengah dengan biaya Rp 150 miliar per unit atau mendirikan 41.666 pusat kesehatan masyarakat senilai Rp 12 miliar per unit.
Perbandingan lain, pemerintah bisa membangun 227.886 gedung sekolah dasar dengan biaya Rp 2,19 miliar per unit. Dan bila digunakan untuk membangun jalan tol baru, panjangnya bisa mencapai 3.501 kilometer dengan anggaran Rp 142,8 miliar per kilometer. Karena itu, menurut Menteri Sri, perlu strategi agar beban anggaran tak makin berat. “Artinya, subsidi enggak akan dicabut, tapi penyesuaian mungkin perlu dipertimbangkan.”
CAESAR AKBAR, ASEANTY PAHLEVI (KALIMANTAN BARAT), PARLIZA HENDRAWAN (SUMATERA SELATAN)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo