Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI-HARI ini masyarakat menantikan keputusan Presiden Joko Widodo mengenai subsidi BBM atau bahan bakar minyak. Dalam rapat kerja di Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis, 25 Agustus lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani melempar handuk: pemerintah tidak lagi punya uang untuk menambah subsidi. Jokowi semestinya mendengarkan kekhawatiran bendahara negara itu dan menyingkirkan kalkulasi politik dalam persoalan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Subsidi energi tahun ini sudah super-tinggi. Dari semula dianggarkan Rp 152,5 triliun, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan pemerintah menaikkannya menjadi Rp 502,4 triliun, yang tertinggi sepanjang sejarah. Subsidi melambung akibat serangan Rusia ke Ukraina yang membuat harga minyak dunia melonjak hingga di atas US$ 100.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jatah subsidi mengalir cepat. Untuk BBM, tahun ini pemerintah menetapkan kuota 23 juta kiloliter Pertalite dan 14,9 juta kiloliter solar. Juli lalu yang tersisa 6,2 juta kiloliter Pertalite dan 5 juta kiloliter solar. Pertamina memperkirakan jumlah tersebut hanya bisa bertahan paling lama hingga pertengahan Oktober.
Presiden Jokowi perlu bertindak cepat. Jika hendak mempertahankan subsidi, pemerintah mesti menambah anggaran sampai Rp 198 triliun. Sri Mulyani mengatakan tak mampu lagi. Membatasi volume jual Pertalite dan solar subsidi juga bukan jalan keluar yang baik. Aktivitas masyarakat tengah kembali pulih pasca-pandemi. Pembatasan BBM dapat menghambat perekonomian yang mulai bergeliat. Belum lagi kericuhan yang bakal terjadi lantaran ada yang tidak mendapatkan jatah bahan bakar subsidi.
Yang paling masuk akal adalah menghapus subsidi atau menaikkan harga sehingga anggaran negara cukup sampai akhir tahun. Jokowi jangan takut mengambil langkah tak populer tersebut. Secara politis tak ada yang dipertaruhkan. Mayoritas fraksi di DPR merupakan koalisi pemerintah dan dia tidak bisa lagi mencalonkan diri.
Indonesia bukan lagi negara penghasil minyak yang bisa dengan gampang membagi-bagikan bahan bakar murah kepada penduduknya. Sejak 2008 impor minyak kita sudah lebih besar daripada ekspor. Pemerintah perlu menjelaskan hal itu. Dengan komunikasi publik yang baik semestinya pemerintah bisa memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa BBM berasal dari sumber yang tidak dapat diperbarui. Harganya pun mahal dan naik-turun mengikuti pasar.
Kenaikan harga BBM tentu saja akan berdampak pada harga barang. Jika harga Pertalite naik menjadi Rp 10.000 dari Rp 7.650 dan solar menjadi Rp 8.500 dari Rp 5.150 per liter, inflasi Indonesia total tahun ini diperkirakan setidaknya 7 persen dari proyeksi awal di kisaran 2-4 persen. Tapi pemerintah dapat menggunakan sebagian anggaran yang dihemat dari pembatasan subsidi untuk membantu meningkatkan daya beli kelompok masyarakat yang rentan melalui subsidi langsung.
Data terakhir memperlihatkan mayoritas masyarakat yang menikmati subsidi BBM sebenarnya keluarga mampu. Sekitar 80 persen Pertalite mengalir ke rumah tangga kelas menengah dan atas. Demikian pula solar subsidi, sekitar 89 persen digunakan oleh kelompok usaha dan orang kaya. Pembatasan subsidi dan bantuan langsung dengan demikian mengoreksi salah sasaran tersebut.
Pembatasan subsidi juga akan menolong Pertamina. Neraca berjalannya akan lebih sehat. Selama ini pemerintah suka mengulur-ulur pembayaran biaya subsidi sehingga perusahaan negara itu harus mencari-cari pinjaman demi menjamin ketersediaan BBM.
Ekonomi global memang sedang buruk akibat pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina. Inflasi di banyak negara kini mencapai angka tertinggi dalam 10-20 tahun terakhir. Dana Moneter Internasional (IMF) dalam outlook bulan Juli lalu mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini dari 3,6 persen menjadi 3,2 persen. Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pun dikoreksi 0,1 poin menjadi 5,3 persen.
Bank-bank sentral sudah mulai melakukan pengetatan moneter untuk mengendalikan inflasi. Pekan lalu Bank Indonesia menaikkan suku bunga 0,25 poin menjadi 3,75 persen. Tapi kebijakan uang ketat saja tidaklah cukup. Dibutuhkan pula konsolidasi fiskal untuk menyelamatkan ekonomi. Di sinilah pentingnya keputusan rasional Presiden Jokowi untuk memangkas subsidi BBM.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo