Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKITAR sepekan sebelum sesi debat calon wakil presiden, akun Instagram Mahfud Md. tiba-tiba mengunggah video berdurasi 12 detik. Isinya sekelompok orang mengenakan seragam tentara Israel sedang bermain voli. Berpasangan dengan Ganjar Pranowo, Mahfud bertarung melawan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahfud bercerita, peretasan itu terjadi ketika dia sedang sibuk berkampanye. Pada waktu itu sentimen mengenai Israel sedang tinggi di tengah serangan ke wilayah Palestina. “Saya tak tahu siapa aktor dan apa motifnya,” kata Mahfud di Jakarta Pusat, Selasa, 23 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahfud tak ambil pusing dengan serangan itu. “Menjelek-jelekkan saya dengan konten itu tak ada gunanya karena hanya berisi orang main voli,” ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut.
Peretasan masif terjadi menjelang pencoblosan pada 14 Februari 2024. Tak hanya menyerang Mahfud, upaya peretasan juga menimpa sejumlah pesohor dan politikus lain. Yayasan Lokataru, organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada hak asasi, mendata sejumlah peretasan terhadap akun media sosial yang kritis terhadap pemerintah.
Politikus yang kini aktif memproduksi siniar, Akbar Faisal, menjadi salah satu korbannya. Akbar kehilangan akun berisi konten siniar pada 17 Januari 2024. Peristiwa itu terjadi setelah eks politikus Partai NasDem itu mewawancarai Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Kanal milik Akbar tiba-tiba mempromosikan mata uang kripto.
Besoknya atau Kamis, 18 Januari 2024, akun X @AksiKamisan milik komunitas Aksi Kamisan—kumpulan aktivis hak asasi manusia yang menggelar aksi di depan Istana Negara—juga diambil alih. Pun akun @korner_id yang sedang menyiapkan diskusi yang disiarkan secara daring mengenai kesadaran hukum dan politik.
Akun media sosial X @AksiKamisan yang sempat hilang menjelang aksi peringatan 17 tahun aksi Kamisan pada 18 Januari 2024. Tempo/Gunawan Wicaksono
Pendiri Yayasan Lokataru, Haris Azhar, menyebutkan serangan digital mulai marak terjadi pada pemerintahan Jokowi periode kedua. Pada waktu itu interaksi masyarakat berpindah ke dunia maya karena pandemi Covid-19. “Kritik dan suara dari pihak oposisi menyebar secara masif di media sosial,” ucap mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan itu.
Menurut Haris, pelanggaran kebebasan berpendapat pada era Jokowi tak cuma terjadi di ranah digital. Dia mengidentifikasi ada praktik intimidasi, pembubaran unjuk rasa, kekerasan fisik, salah tangkap, kriminalisasi, juga pembunuhan.
Haris pernah menjadi korban kriminalisasi setelah mengulas hasil riset mengenai tambang di Papua di kanal YouTube. Dia dinilai mencemarkan nama Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur akhirnya menjatuhkan vonis bebas kepada Haris dan Fatia Maulidiyanti. “Ini tanda demokrasi menyempit di era Jokowi,” tuturnya.
Pangkal persoalan itu, kata Haris, adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal karet dalam undang-undang itu sering menjadi peluru bagi siapa pun untuk mempidanakan pengkritik. Contohnya pasal 27 tentang penyebaran informasi yang memuat penghinaan, pasal 28 mengenai ujaran kebencian, dan pasal 45 tentang pencemaran nama.
Salah satu korban pasal karet ini adalah pegiat media sosial asal Jakarta, Palti Hutabarat. Ia mantan pendukung Presiden Jokowi dari basis kelompok relawan Projo yang berbelok mendukung Ganjar Pranowo dalam pemilihan presiden 2024.
Palti digulung polisi pada Jumat, 19 Januari 2024, di kawasan Jakarta Selatan. Dia dijerat dengan UU ITE karena dituduh menyebarkan kabar bohong berupa rekaman suara pejabat lokal di Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, yang ditengarai sedang menyusun strategi pemenangan Prabowo—lawan Ganjar dalam pemilihan presiden 2024.
Kuasa hukum Tim Pemenangan Nasional Ganjar Pranowo-Mahfud Md., Todung Mulya Lubis, mengatakan penangkapan Palti menunjukkan aparat hukum tak netral. Palti dijerat dengan pasal berlapis dalam Undang-Undang ITE. “Undang-undang tersebut mengancam eksistensi demokrasi,” ucap Todung pada 19 Januari 2024.
Korban Undang-Undang ITE datang dari kalangan biasa. Wahyu Dwi Nugroho contohnya. Ia adalah pedagang kelontong di Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pada pertengahan 2023, ia divonis 5 bulan penjara dan denda Rp 1 juta karena dituduh menyebarkan ujaran kebencian.
Syahdan, Wahyu memprotes pemasangan spanduk yang terpacak di dekat rumahnya. Kain rentang itu memuat imbauan kepada anggota Majelis Taklim Zaadul Muslim Al-Busyro agar tak berbelanja di lapak yang tak punya afiliasi dengan Al-Busyro. Wahyu keberatan karena pesan itu membuat dia kehilangan pelanggan. Protes itu diunggah melalui video di akun media sosial TikTok.
Pengelola Majelis Taklim tak terima atas konten itu. Mereka kemudian meminta Wahyu menghapus video di media sosial dan Wahyu menurutinya. Namun masalah tak selesai di situ. Pengelola Majelis Taklim juga melaporkan Wahyu ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Wahyu sudah bebas dari penjara sekitar Agustus 2023.
Kuasa hukum Wahyu, M. Arsyad, menyatakan tuduhan terhadap kliennya tak dapat dibuktikan. “Hakim tak mengurai lebih jauh dampak yang timbul karena unggahan Wahyu,” ujar Arsyad waktu itu.
Merespons maraknya kasus kriminalisasi, Paguyuban Korban Undang-Undang ITE (Paku ITE) dan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) berkoalisi untuk mendata kasus pelanggaran kebebasan sipil yang memakai Undang-Undang ITE. Sepanjang Januari-Maret 2024, mereka mencatat sedikitnya 30 kasus kebebasan berekspresi di ranah digital.
Koordinator Paku ITE, Andi Hidayat, mengatakan kriminalisasi dengan Undang-Undang ITE kebanyakan bermula dari unggahan konten media sosial yang dinilai mencemarkan nama orang atau lembaga. Salah satu korban yang sedang didampingi koalisi adalah rekaman pasangan suami-istri di Medan yang memarahi petugas Kejaksaan Negeri Medan.
Dalam potongan video yang beredar, pasangan itu mempersoalkan layanan publik yang diberikan petugas kejaksaan. Andi bercerita, pasutri ini sedang mengurus kasus yang didaftarkan beberapa waktu sebelumnya. Namun tak ada kemajuan dalam penanganan perkara itu. Setelah rekaman itu viral, petugas kejaksaan mencokok pasutri tersebut di rumah mereka. “Pencemaran nama semestinya tak berlaku pada institusi,” kata Andi.
Kasus pasutri di Medan ini sudah dilimpahkan ke kejaksaan. Mereka dijerat dengan pasal pencemaran nama. Paku ITE dan SAFEnet mencatat sedikitnya ada enam kasus kriminalisasi yang menggunakan pasal pencemaran nama sepanjang Januari-Juli 2024.
Paku ITE bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil lain berencana menggugat pasal karet ke Mahkamah Konstitusi. “Meski sudah direvisi, Undang-Undang ITE tetap bermasalah karena ada pasal tambahan yang tetap membuka peluang kriminalisasi,” ujar Andi. Dia intensif menggelar diskusi untuk mematangkan berkas gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
SAFEnet mencatat kasus Undang-Undang ITE sepanjang 2011-2019, yang mencakup periode pertama pemerintahan Jokowi. Pada periode tersebut, ada 381 kasus seputar Undang-Undang ITE yang menjerat perseorangan ataupun institusi. Jumlah kasus sesungguhnya bisa jadi lebih tinggi karena waktu itu SAFEnet hanya memantau kasus yang tercatat di media massa dan aduan.
Merujuk pada situs registrasi Mahkamah Agung, ada 508 perkara di pengadilan seluruh Indonesia yang menggunakan Undang-Undang ITE. Kasus terbanyak tercatat pada 2018 dengan 292 perkara. Waktu itu Undang-Undang ITE sudah direvisi pada 2016, meski masih menyisakan pasal karet.
Direktur Eksekutif SAFEnet Nenden Sekar Arum menganggap revisi Undang-Undang ITE jilid pertama itu tak berjalan baik. Walhasil, tak ada perubahan signifikan. “Aturan itu justru dipakai untuk merepresi kebebasan berekspresi di dunia digital,” kata Nenden.
Salah satu indikasinya, Nenden menjelaskan, adalah maraknya aduan korban Undang-Undang ITE yang diterima SAFEnet. Sepanjang 2018-2021, terdapat 224 korban yang dituntut dengan peraturan itu. Yang menarik, pasal itu dipakai warga sipil untuk saling lapor. “Sebelum revisi, undang-undang itu dipakai para pejabat untuk melaporkan warga yang kritis,” ujarnya.
Revisi kedua Undang-Undang ITE pada 2023 tak lebih baik. Menurut Nenden, pasal karet masih dipertahankan. Pemerintah juga membuat regulasi lain yang makin mempersempit ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi. Di antaranya Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik serta Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.
Peraturan itu menjadi dasar bagi Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk melakukan sensor selama proses Pemilihan Umum 2024. “Tak jelas penentuan batas konten mana yang melanggar dan mana yang tidak,” ucap Nenden.
Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi mengakui Kementerian Komunikasi aktif memantau dan menyisir informasi di ranah digital selama penyelenggaraan Pemilu 2024. Tujuannya, menyingkirkan akun-akun yang menyebarkan konten fitnah. “Semua yang fitnah dari kubu nomor urut 1, 2, atau 3 saya sikat,” tuturnya di kawasan Widya Chandra, Jakarta, Kamis, 18 Juli 2024.
Budi mengklaim penangguhan akun-akun itu berhasil membuat suasana Pemilu 2024 terasa lebih tenang. “Beda dengan 2019, kayak apa gaduhnya. Pemilu 2024 berjalan damai,” ujar Ketua Umum Projo, organisasi relawan pendukung Jokowi dan Prabowo, itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo