Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Awan Kelabu Setelah Revisi UU ITE

Revisi Undang-Undang ITE masih mempertahankan pasal-pasal karet. Memberangus kebebasan berekspresi.

28 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETUK palu hakim yang menjatuhkan vonis bebas dalam kasus pencemaran nama Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan tak lekas membuat Haris Azhar plong. Pendiri Yayasan Lokataru itu menganggap kasus serupa bisa menjerat orang lain selama pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) masih bertahan. “Saya menganggap awan kelabu masih ada,” kata Haris di Jakarta Timur, Kamis, 18 Juli 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Haris, dua kali revisi Undang-Undang ITE selama era pemerintahan Presiden Joko Widodo belum mencabut pasal karet yang bisa dipakai untuk mengkriminalkan seseorang. Pasal bermasalah itu mengatur tentang pencemaran nama, ujaran kebencian, dan penyebaran informasi palsu. Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah justru menambah pasal tentang tuduhan yang dianggap menyerang kehormatan orang. “Modal untuk mempidanakan orang tetap ada,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintahan Jokowi terakhir kali merevisi Undang-Undang ITE pada 2023. Presiden awalnya berjanji bahwa revisi itu diperlukan agar memberikan perlindungan kepada masyarakat. Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud Md., mengakui pembahasan revisi peraturan itu berlangsung alot dan panjang.

Mahfud, yang mundur dari kabinet karena bertarung dalam pemilihan presiden 2024, menyebutkan ada pihak yang setuju. Namun ada juga kelompok yang menolak isinya. “Akhirnya disepakati Undang-Undang ITE seperti sekarang itu,” ucap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut kepada Tempo, Selasa, 23 Juli 2024.

Koalisi Serius Revisi UU ITE juga menyoroti pasal bermasalah lain dalam peraturan tersebut. Salah satunya Pasal 28 ayat 3 tentang penyebaran berita bohong yang menyebabkan kerusuhan. Pasal itu berpotensi multitafsir. Koalisi pun mempersoalkan pembahasan revisi yang kurang melibatkan partisipasi publik dan terkesan diam-diam. “Praktik semacam ini mendegradasi nilai demokrasi,” kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur dalam keterangan pers.

Pasal karet dalam Undang-Undang ITE berpotensi membatasi kebebasan berpendapat di ruang digital. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) yang memantau fenomena kebebasan berekspresi di dunia maya menemukan 30 kasus kriminalisasi menggunakan Undang-Undang ITE pada Januari-Maret 2024. Yang paling banyak dipakai ialah Pasal 28 ayat 2 mengenai penyebaran informasi untuk tujuan menghasut.

Direktur Eksekutif SAFEnet Nenden Sekar Arum mengatakan potensi kriminalisasi dengan Undang-Undang ITE masih sangat besar, khususnya di ranah digital. Menurut dia, pemerintah melihat ruang digital sebagai ancaman karena makin banyak orang yang bersuara kritis di platform digital. “Kritik ini dianggap membahayakan eksistensi pemerintah,” tutur Nenden.

Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi tak sepakat bila pemerintah disebut antikritik. “Semua kebijakan dibuat dalam koridor demokrasi dan mendengarkan rakyat,” ujar Ketua Umum Projo, organisasi relawan pendukung Jokowi-Prabowo, itu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus