Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGHELA napas panjang di rumah pemenangan di Kebayoran, Jakarta Selatan, Jumat menjelang tengah malam, 9 Agustus 2024, Anies Baswedan duduk menyandarkan punggungnya di sebuah kursi hitam. Ia baru saja pulang dari blusukan di Muara Baru dan Blok M. Kegiatan itu dilakukannya menjelang pencalonan dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada Jakarta.
Sepekan terakhir, peluang Anies maju sebagai calon Gubernur Jakarta meredup. Sejumlah partai politik pendukungnya, seperti Partai Keadilan Sejahtera, Partai NasDem, dan Partai Kebangkitan Bangsa, berancang-ancang meninggalkan bekas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu.
Berbincang dengan lima wartawan Tempo selama sekitar dua jam hingga Sabtu dinihari, 10 Agustus 2024, Anies menjelaskan komunikasinya dengan sejumlah partai hingga kemungkinannya tak memperoleh tiket.
Melihat dinamika politik saat ini, Anda masih yakin mendapat tiket?
Saya selama ini selalu berfokus pada persoalan di Jakarta karena menurut saya pilkada adalah tentang kemajuan Jakarta, ketenangan warga Jakarta. Di dalam proses itu ada urusan nominasi partai. Saya menghormati keputusan dan proses yang terjadi di partai.
Partai-partai pendukung Anda berancang-ancang mencabut dukungan. Apa sikap Anda?
Saya berterima kasih kepada PKB, NasDem, dan PKS yang membawa aspirasi rakyat Jakarta untuk mendukung saya. Dewan pimpinan wilayah partai-partai sudah mengusulkan nama saya, dan kemudian diproses oleh dewan pimpinan pusat (DPP). Nama itu tidak muncul dari atas, tapi dari akar rumput. Saat ini di DPP belum ada keputusan. Tapi, apa pun keputusan partai, saya hormati. Saya tidak ingin menebak. Bagian saya adalah dicalonkan. Kami jalani karena deadline pencalonan 27-29 Agustus 2024.
Anda merasa pilkada Jakarta seperti pemilihan presiden karena ada upaya menghalangi Anda maju?
Saya seperti pemain bola, selalu ditekel di ujung, lalu disorot semua lampu. Ya, saya harus loncat-loncat menghindari sliding tackle. Jadi saya rasa itu bagian dari perjuangan membawa gagasan, nilai, cita-cita.
Anda selalu berhadapan dengan Istana atau Presiden Joko Widodo. Apakah karena ambisi Anda menjadi calon presiden?
Soal dimusuhi Istana, saya tidak mau menebak karena pertanyaan itu seharusnya dijawab di sana. Saya sejak awal membawa gagasan soal keadilan, kesetaraan. Gagasan itu sudah dilaksanakan di Jakarta saat saya bertugas sebagai gubernur. Jadi ini bukan kucing dalam karung yang belum terlihat apa yang telah dan akan saya kerjakan. Dari semua pikiran, kebijakan, dan sikap, silakan ditakar. Apa yang jadi alasan untuk harus dimusuhi?
Seberapa penting pilkada Jakarta bagi Anda?
Kalau saya tidak menerima amanat dari konstituen dan partai, dengan cerminan pada survei, barangkali ini semata-mata saya mau mengerjakan. Sekarang ini bagi saya penting sekali. Sejak saya selesai pemilihan presiden, di rumah saya berdatangan orang tanpa henti, seperti warga Kampung Bayam.
Faktor apa yang membuat Anda masih berpeluang memperoleh tiket?
Peluang atau panggilan tugas ini diberikan bukan sebagai titipan dari seseorang atau dari atas, tapi itu adalah aspirasi dari bawah, dari rakyat Jakarta. Aspirasi akar rumput yang diungkapkan oleh empat partai di Jakarta. Itulah demokrasi. Karena itu, kami percaya partai-partai pasti memperjuangkan aspirasi konstituennya.
Posisi Anda dianggap tidak strategis karena bukan dari partai. Anda membuka peluang bergabung menjadi anggota partai?
Semua dipertimbangkan selama yang dikerjakan masih dengan takaran nilai. Kita lihat nanti.
Bagaimana jika Anda benar-benar tidak menjadi calon gubernur?
Saya menunggu sampai 29 Agustus 2024. Saya berfokus pada aspirasi rakyat Jakarta, menyiapkan jejaring. Opsinya satu saja. Sampai 2029, mudah-mudahan berlayar. Kami perjuangkan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo