Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada 19 November 2018, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyita Gedung Granadi yang dimiliki oleh Keluarga Cendana, identik dengan keluarga Presiden Soeharto, sebagai bagian dari pelaksanaan putusan Mahkamah Agung terkait gugatan dari Kejaksaan Agung terhadap Yayasan Supersemar yang juga dimiliki oleh Keluarga Cendana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Achmad Guntur, saat itu menjelaskan bahwa gugatan terhadap Yayasan Supersemar oleh Kejaksaan Agung secara perdata dilakukan pada tahun 2007 terkait dugaan penyelewengan dana beasiswa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurutnya, dana beasiswa dari berbagai tingkat sekolah diduga tidak digunakan sebagaimana mestinya dan dipinjamkan kepada pihak ketiga. "Gedung Granadi telah disita secara resmi oleh eksekutor," katanya pada Senin, 19 November 2018.
Berikut adalah rangkaian peristiwa terkait kasus tersebut sejak pendirian Yayasan Supersemar hingga putusan pengadilan:
16 Mei 1974
Yayasan Supersemar didirikan dengan modal awal sebesar Rp 10 juta dari Presiden Soeharto. Yayasan ini bertujuan untuk membantu siswa berbakat yang tidak mampu membiayai pendidikannya.
1998
Setelah Soeharto lengser, Kejaksaan Agung menemukan penyimpangan dana dari tujuh yayasan yang didirikan oleh Soeharto, termasuk Yayasan Supersemar. Jumlah dana yang disalahgunakan mencapai sekitar Rp 1,4 triliun dan US$ 420 juta.
11 Oktober 1999
Jaksa Agung Andi M. Ghalib mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan karena tuduhan penyalahgunaan dana negara oleh Soeharto melalui ketujuh yayasan tidak terbukti.
Desember 1999
Presiden Abdurrahman Wahid memerintahkan pengusutan kembali terkait dana Yayasan Supersemar dan kekayaan lainnya yang dimiliki oleh Soeharto.
2000
Kejaksaan Agung menetapkan Soeharto sebagai tersangka dan memasuki tahap penuntutan. Namun, persidangan dihentikan karena Soeharto dinyatakan mengalami sakit otak permanen.
2007
Setelah mentok di jalur pidana, Kejaksaan Agung menggugat Soeharto secara perdata. Hasilnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan sebagian gugatan tersebut dan menghukum Yayasan Supersemar untuk membayar ganti rugi sejumlah US$ 315 juta dan Rp 139,2 miliar.
2010
Putusan tersebut diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, terdapat kesalahan pengetikan dalam putusan tersebut yang mengakibatkan penundaan eksekusi.
2015
Setelah lima tahun berlalu, Kejaksaan Agung mengajukan permohonan peninjauan kembali. Majelis hakim memperbaiki kesalahan pengetikan dalam putusan kasasi 2010. Ganti rugi yang harus dibayarkan oleh Yayasan Supersemar ditetapkan sebesar US$ 315 juta dan Rp 139,2 miliar.
2018
Kejaksaan Agung menyatakan akan menyita sejumlah saham dan rekening atas nama Yayasan Supersemar sebagai bagian dari pelaksanaan putusan pengadilan. Penyitaan tersebut termasuk penyitaan Gedung Granadi yang dimiliki oleh Keluarga Cendana. Aset Yayasan Supersemar yang telah disita baru mencapai sekitar Rp 243 miliar dari total yang harus disita sebesar Rp 4,4 triliun.
Menurut informasi yang dilaporkan oleh majalah Tempo, Yayasan Supersemar tidaklah satu-satunya lembaga dana yang dimiliki dan dikelola oleh keluarga Suharto. Ada lima yayasan lain yang juga diduga melakukan penyelewengan dana.
Yayasan-yayasan tersebut antara lain: Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Dharmais, Yayasan Amalbhakti Muslim Pancasila, Yayasan Damandiri, dan Yayasan Trikora.
Yayasan Dakab awalnya didirikan untuk membantu keluarga besar Golkar, namun sejak tahun 1998 tujuan yayasan tersebut diubah untuk membantu pengentasan kemiskinan. Namun, dana yang terkumpul oleh yayasan tersebut diduga dialirkan kepada perusahaan-perusahaan swasta, termasuk PT Sempati Nusantara Airlines yang dimiliki oleh Tommy Soeharto.
Dugaan penyelewengan dana serupa juga terdapat pada yayasan-yayasan lain yang dimiliki oleh keluarga Soeharto.
MICHELLE GABRIELA | CAESAR AKBAR I MAJALAH TEMPO