Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

58 Tahun Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret, Apa Isinya?

Bagaimana isi Supersemar yang diberikan Sukarno kepada Soeharto 11 Maret 1966?

10 Maret 2024 | 20.04 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pada 11 Maret 1966, Presiden Pertama RI Sukarno menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret atau sering disebut Supersemar. Surat perintah itu berisi instruksi dari Sukarno kepada Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban atau Pangkopkamtib saat itu, Soeharto untuk mengatasi situasi dan kondisi yang tidak stabil dengan mengambil segala tindakan yang dianggap perlu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dikutip dari buku Misteri Supersemar (2006), penyerahan surat perintah tersebut disebabkan oleh ketidakstabilan keamanan negara yang dipicu peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September atau G30S pada dini hari 1 Oktober 1965.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika itu, pada 11 Maret 1966, Presiden Sukarno tengah melakukan sidang pelantikan Kabinet Dwikora atau dikenal juga dengan Kabinet 100 Menteri. Panglima Pasukan Pengawal Presiden atau Tjakrabirawa, Brigadir Jenderal (Brigjen) Sabur melaporkan bahwa banyak pasukan liar atau pasukan tak dikenal yang akhir-akhir diketahui sebagai anggota Pasukan Kostrad di bawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris.

Pasukan Kostrad ini bertugas untuk menahan sejumlah orang yang ada di Kabinet yang terduga ikut terlibat G30S, salah satunya Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.

Menuruti laporan Brigjen Sabur tersebut, sidang pelantikan kabinet tersebut terpaksa ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr.J. Leimena. Sementara itu, Presiden Sukarno pergi bersama Wakil Perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh dengan helikopter menuju Bogor.

Situasi ini dilaporkan kepada Panglima Angkatan Darat Mayor Jenderal atau Mayjen Soeharto yang absen dari sidang pelantikan Kabinet lantaran dirinya mengaku sakit. Mayjen Soeharto lantas mengutus tiga perwira tinggi Angkatan Darat, yaitu Brigjen M. Jusuf, Brigjen Amir Machmud dan Brigjen Basuki Rahmat untuk menemui Presiden Sukarno di Istana Bogor.

Ketiga perwira tersebut melakukan pembicaraan dengan Presiden Soekarno terkait gentingnya situasi saat itu. Menurut ketiga perwira ini, Mayjen Soeharto bisa menangani situasi dan memulihkan keamanan bila diberi pegangan surat tugas.

Presiden Soekarno menyetujui usulan tersebut dan ditulislah surat perintah untuk memberikan kewenangan kepada Mayjen Soeharto. Supaya surat itu dapat digunakan untuk mengambil tindakan yang diperlukan demi meredam gejolak dan mengembalikan kestabilan keamanan negara, surat tersebut dikenal dengan Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar. Tiga poin penting isi Supersemar, yaitu:

  1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya Revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris M.P.R.S. demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.

  2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan Lain dengan sebaik-baiknya.

  3. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.

Seusai ditandatanganinya Supersemar, Soeharto membubarkan PKI yang dianggap sebagai dalang G30S dan menangkap 15 orang menteri yang diduga terlibat dalam peristiwa G30S. Seharusnya, setelah PKI dibubarkan dan pendukungnya ditangkap dan ditahan serta keamanan sudah stabil, maka pemegang Supersemar tidak lagi memiliki wewenang lagi.

Akan tetapi, MPRS justru mengukuhkan Supersemar sebagai Tap. No.  IX/MPRS/1966 dalam sidang 20 Juni sampai 5 Juli 1966 sehingga Presiden Soekarno tidak bisa mencabutnya. Satu tahun kemudian, melalui, tepatnya 7 Maret 1967, melalui Sidang Istimewa MPRS dikeluarkanlah Tap. No.  XXXIII/MPRS/1967. 

Ketetapan ini mencabut Sukarno dari jabatan presiden Indonesia. Adapun, keputusan itu berisi: 

  1. Mencabut kekuasaan pemerintahan dari tangan Presiden Sukarno

  2. Menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Sukarno dengan segala kekuasaannya sesuai UUD 1945

  3. Mengangkat pengemban Tap Nomor IX/MPRS/1966 tentang supersemar itu sebagai pejabat Presiden hingga terpilihnya Presiden menurut hasil pemilihan umum.

Kemudian, pada 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto dilantik dan diambil sumpah oleh Ketua MPRS Jenderal TNI AH Nasution. Supersemar yang dikeluarkan Presiden Sukarno pun akhirnya mengantarkan Soeharto ke kursi Presiden RI satu tahun setelah Supersemar diterbitkan.


MICHELLE GABRIELA  | M. RIZQI AKBAR 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus