Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tes wawasan kebangsaan diduga dirancang sejak awal untuk membuang pegawai yang berseberangan dengan pimpinan KPK. Indikasinya, proses penyusunan peraturan komisi tentang tes tersebut juga janggal.
Pimpinan KPK sudah memegang nama pegawai yang akan didepak sejak November 2020. Penyelidik Harun Al Rasyid mendapat informasi tersebut dari dua pemimpin KPK, Nurul Ghufron dan Nawawi Pomolango.
Mengabaikan instruksi Presiden Joko Widodo, Ketua KPK Firli Bahuri berkukuh memecat 51 pegawai. Sebelumnya, Istana mengontak seorang pejabat KPK dan mengatakan bahwa Presiden tak setuju jika hasil TWK dipakai sebagai dasar untuk memecat pegawai.
SETELAH mengetahui namanya tak lulus tes wawasan kebangsaan, Harun Al Rasyid mengirimkan pesan WhatsApp kepada Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri pada Selasa, 25 Mei lalu. Ia ingin menagih hadiah yang pernah dijanjikan Firli pada 2018. “Hari ini saya mengingatkan janji sahabatku. Berikanlah hak terbaik untuk diriku dan 74 orang sahabat kita,” kata Harun menirukan kembali isi pesan itu, Kamis, 27 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa jam sebelum Harun mengirimkan pesan, KPK mengumumkan pemecatan 51 dari 75 pegawai KPK yang tak lulus tes wawasan kebangsaan alias TWK. Sebanyak 24 pegawai lain bisa diangkat menjadi aparatur sipil negara (ASN) asalkan bersedia mengikuti program pembinaan. Harun termasuk di antara pegawai KPK yang dipecat karena nilai tesnya dianggap buruk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyelidik senior tersebut masih ingin bertahan di KPK. Ia sedang menelisik sejumlah kasus, yang disebutnya “musim menanam” dan kini semestinya masuk “musim menuai” jika ia tidak dinonaktifkan. Pada “musim menanam”, Harun bersama timnya melakukan surveilans terhadap rencana penyuapan. Adapun pada “musim menuai”, mereka menangkapi orang-orang yang terlibat sogok-menyogok.
Terlibat dalam banyak operasi tangkap tangan, Harun sampai dijuluki “Raja OTT” oleh Firli Bahuri. “Penahbisan” itu terjadi pada 2018, ketika Harun menjadi penyelidik yang paling banyak menangkap penyuap dan penerima suap. Pada saat itu juga Firli disebut berjanji memberikan hadiah kepada Harun atas prestasinya tersebut. Waktu itu Firli menjabat Deputi Penindakan KPK, atasan Harun.
Penyelidik KPK, Harun Al Rasyid. Dok. Harun Al Rasyid
Tapi janji tinggal janji. Membalas pesan Harun, Firli mengklaim tak bisa berbuat banyak karena semua terjadi atas kuasa Tuhan. “Kita bersyukur dengan apa yang telah diberikan kepada kita. Semua titipan,” ujar Harun menirukan isi pesan Firli. Harun membalas jawaban Firli dengan meminta 75 pegawai yang tak lulus TWK tetap dilantik pada 1 Juni 2021. Hingga kini, pesan itu tak berbalas.
Sebanyak 1.351 pegawai KPK mengikuti tes wawasan kebangsaan pada Maret-April lalu. Firli Bahuri bersama pemimpin lain memasukkan TWK lewat Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 sebagai salah satu syarat menjadi ASN, meskipun Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK tak mengatur tes tersebut. KPK menggandeng sejumlah lembaga, seperti Badan Kepegawaian Negara, Badan Intelijen Negara, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia.
Materi tes yang seharusnya berisi nilai-nilai kebangsaan malah aneh. Urusan pribadi, dari keluarga hingga seksualitas, menjadi pertanyaan dalam sesi wawancara. Seorang pegawai senior mengaku mematahkan kaki kursi saat wawancara berlangsung. Ia menggebrak meja dan kursinya karena si pewawancara mengungkit kisah perceraian dengan istrinya.
Hasil profiling sebelum tes umumnya dijadikan peluru untuk menginterogasi pegawai saat wawancara. Pengumpulan data pribadi dan pemantauan aktivitas bahkan dilakukan hingga mendatangi lingkungan tempat tinggal pegawai. Sejumlah penyidik dan penyelidik yang tak lulus mengaku didatangi intel sebelum tes berlangsung, yang bertanya kepada para tetangga mengenai kegiatan si pegawai. Hasilnya kemudian ditanyakan pada saat tes. Harun Al Rasyid, misalnya, ditanyai soal yayasan yatim piatu kecil yang diasuh dia dan istrinya. “Apakah menerima dana dari luar negeri?” kata Harun menirukan salah satu pertanyaan pewawancara.
Kecurigaan tes ini hanya akal-akalan pimpinan KPK kian menyeruak. Sejumlah pegawai KPK yang ditemui Tempo dan tim IndonesiaLeaks memaparkan peta 75 pegawai yang disingkirkan. Mereka terbagi menjadi beberapa kelompok. Di antaranya, pegawai yang ikut meneken petisi untuk menghukum Firli Bahuri—kala itu Deputi Penindakan—karena dituduh menghambat penanganan kasus pada Maret 2019. Sebagian di antaranya pengurus atau pernah aktif di Wadah Pegawai KPK, organisasi yang menghimpun pegawai KPK.
Kelompok kedua adalah mereka yang menangani kasus pelanggaran etik Firli pada tahun itu juga. Firli terbukti melanggar kode etik berat karena bertemu dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi yang saat itu sedang diselidiki KPK. Kluster berikutnya adalah para penyidik perkara dugaan gratifikasi yang menjadikan calon Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Budi Gunawan—kini Kepala Badan Intelijen Negara—sebagai tersangka rekening gendut pada 2015.
Ada lagi kluster penyidik dan penyelidik yang dianggap tak bisa dikendalikan karena mengungkap kasus korupsi terlalu “jauh”. Mereka kerap membuat kaget pimpinan KPK karena menangkap tokoh yang tak disangka-sangka, termasuk elite politik. “Pergerakan kami kadang tidak diduga pimpinan. Tahu-tahu menangkap siapa,” tutur Harun Al Rasyid. “Penyidik suka protes kalau ada intervensi. Tidak bisa diatur,” kata penyidik Afief Julian Miftach.
Afief merasa menjadi target Firli cs sejak dulu. Ia salah seorang penyidik yang kerap menangani kasus kakap. Ia menduga apa pun yang disampaikannya pada saat TWK akan percuma. Saat sesi wawancara, misalnya, pertanyaan penguji melompat-lompat ke topik lain meski Afief belum menyelesaikan jawaban. “Seperti pertanyaan pura-pura,” ujarnya.
Firli Bahuri membantah ada skenario menyingkirkan 75 pegawai lewat ujian kebangsaan. Ia menyatakan proses tes dilakukan sesuai dengan mekanisme dan prosedur. Menurut dia, syarat menjadi aparatur sipil negara di antaranya “setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila”. “Hasil akhir memang ada yang tidak memenuhi syarat dan ada yang memenuhi. Hasil TWK adalah hasil tes diri sendiri,” kata polisi berpangkat komisaris jenderal itu.
•••
PERTEMUAN pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi pada 29 April lalu di ruang rapat utama lantai 15 gedung Merah-Putih—kantor KPK di Jakarta Selatan—memanas. Ketua KPK Firli Bahuri meminta 75 pegawai yang tak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) langsung diberhentikan pada 1 Juni. Mereka tak akan dilantik menjadi aparatur sipil negara.
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mendukung pernyataan Firli. Ia meminta anak buahnya segera mengeksekusi hasil tes. Tapi seorang pejabat Biro Hukum meminta Firli dan Nawawi mempertimbangkan keputusan tersebut karena rawan digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara. “Firli membalas dengan memerintahkan Biro Hukum tak perlu takut dan mengantisipasi gugatan,” ujar seorang petinggi KPK yang hadir dalam rapat itu.
Seorang pejabat Sekretariat Jenderal KPK menyokong pernyataan tim Biro Hukum. Ia memberikan saran kepada pimpinan untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi pegawai yang tak lulus TWK agar mereka tetap bisa menjadi ASN. Firli berkukuh dengan keputusannya. “Waduh, enggak bisa. Harus diberhentikan 1 Juni. Atau mereka kita minta mengundurkan diri,” kata Firli seperti ditirukan narasumber ini.
Sejumlah pegawai KPK mengikuti pelantikan dan pengambilan sumpah menjadi aparatur sipil negara secara daring di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Selasa, 1 Juni 2021. Tempo/Imam Sukamto
Niat Firli mendepak 75 pegawai sebenarnya sudah terlihat saat merancang peraturan untuk mengatur peralihan pegawai KPK menjadi ASN. Setelah Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi ASN terbit pada Juli 2020, KPK menggelar berbagai diskusi bersama pakar hukum dan birokrat lembaga lain untuk menyiapkan peraturan KPK tentang peralihan status pegawai.
Harmonisasi rancangan peraturan KPK berlangsung pada September-Desember 2020. Selama proses ini, tak pernah muncul gagasan tentang tes wawasan kebangsaan. Sebelum rapat pimpinan KPK pada 5 Januari lalu, yang ada adalah pasal soal asesmen. Tes wawasan kebangsaan belum disebut sama sekali.
Dalam pertemuan itulah Firli memerintahkan Biro Hukum KPK memasukkan pasal tes wawasan kebangsaan ke rancangan peraturan KPK. Ia berdalih pegawai KPK banyak yang bermasalah. “Kalian lupa? Di sini banyak ‘taliban’,” ujar Firli seperti ditirukan seorang peserta rapat tersebut. “Taliban” adalah tuduhan kosong yang dialamatkan kepada sejumlah pegawai KPK yang dianggap radikal, untuk mendiskreditkan militansi mereka dalam memberantas korupsi.
Draf peraturan komisi versi 22 Januari 2021 sudah mencantumkan pasal tes wawasan kebangsaan. Rancangan ini ganjil karena tak ada rapat khusus untuk membahasnya. “Setahu saya tidak ada rapat pimpinan untuk membahas draf ini,” kata Farid Andhika, Sekretaris Jenderal Wadah Pegawai KPK, yang beberapa kali mengikuti rapat persiapan penerbitan “perkom” tersebut.
Draf berubah lagi pada 25 Januari 2021. Tes wawasan kebangsaan dicantumkan pada pasal 5 ayat 1 dengan menyebutkan tes tersebut diselenggarakan oleh KPK bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Keesokan harinya, Firli Bahuri diduga seorang diri membawa draf peraturan tersebut ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk diundangkan.
Setelah rancangan perkom versi 25 Januari muncul, proses harmonisasi tak ada lagi. Padahal, sebelum peraturan tersebut diundangkan, harus ada harmonisasi lagi yang dihadiri pegawai struktural setingkat Biro Hukum dan Biro Sumber Daya Manusia. Ihwal kedatangan Firli membawa draf peraturan KPK tanpa melalui proses harmonisasi lagi, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly enggan menanggapi. “Tanya nanti, ya,” tutur Yasonna di Gedung BKN pada 25 Mei lalu.
Pada 27 Januari itu, Kementerian Hukum resmi mengundangkan Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 yang telah mencantumkan pasal tes wawasan kebangsaan. Pada hari yang sama, KPK dan BKN mengeluarkan surat kerja sama penyelenggaraan ujian tersebut bertanggal 26 Januari 2021. Tapi, menurut seorang pejabat KPK yang mengetahui proses ini, surat tersebut ditandatangani pada 27 Januari. “Itu MOU abal-abal,” ujarnya.
Kepala Biro Hukum KPK Ahmad Burhanudin dan mantan Kepala Biro SDM KPK, Chandra Sulistio Rekso Prodjo, enggan menanggapi ihwal adanya pasal selundupan dalam peraturan KPK. “Silakan ditanyakan ke juru bicara,” ucap Burhanudin.
Kepala BKN Bima Haria Wibisana belum merespons permintaan wawancara tim IndonesiaLeaks hingga Sabtu, 5 Juni lalu. Sebelumnya, ia mengatakan tes wawasan kebangsaan dalam proses alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara merupakan keputusan Mahkamah Konstitusi. “KPK melalui perkom KPK meminta BKN melaksanakan TWK,” kata Bima.
Ketua KPK Firli Bahuri (kiri) bersama dua Wakil Ketua KPK Alexander Marwata (tengah) dan Nurul Ghufron di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Selasa, 2 Maret 2021. Tempo/Imam Sukamto
Firli Bahuri pertama kali mengumumkan garis besar hasil TWK pada 5 Mei lalu. Setelah muncul kontroversi soal hasil tes, seorang pejabat Istana menghubungi salah satu pejabat KPK yang tak lulus. Pejabat itu menyampaikan bahwa Presiden Joko Widodo akan membantu para pegawai yang tak lulus TWK agar tak dipecat. Setelah itu, Presiden memang meminta dalam konferensi pers agar hasil TWK tak dijadikan dasar kelulusan pegawai KPK menjadi ASN.
Namun permintaan Presiden tak ditanggapi Firli. Ia tetap memecat 51 pegawai dan memutuskan 24 lainnya mengikuti “pembinaan” lebih dulu sebelum diangkat sebagai aparatur negara. Tapi, kepada publik, Firli justru mengklaim sudah berupaya menyelamatkan anak buahnya. “Pimpinan KPK sudah memperjuangkan kawan-kawan kami,” kata Firli.
•••
SETELAH berkali-kali didesak, penyelidik Harun Al Rasyid akhirnya bersedia menemui Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Nurul Ghufron. Harun mengajak koleganya, Farid Andhika, pegawai Bagian Pengaduan Masyarakat, menemui Ghufron pada November 2020. Mereka bertemu diam-diam. “Dia bilang mumpung Pak Firli tidak ada. Karena, katanya, pimpinan lain selalu diawasi orang-orangnya Pak Firli,” ujar Harun.
Karena Harun tak mau ke ruangan Ghufron, pertemuan berlangsung di Masjid Al Ikhlas di gedung penunjang kantor KPK—bangunan di belakang gedung utama. Kepada Harun, Ghufron bercerita menerima daftar nama 21 pegawai yang harus disingkirkan. Daftar itu, kata Ghufron kepada Harun, diberikan Firli. “Apa yang melatarbelakangi Pak Harun ditandai oleh Pak Firli? Antum ada di nomor satu,” tutur Harun menirukan ucapan Ghufron waktu itu.
Awalnya Harun dan Farid tak mempercayai omongan Ghufron. Dua pekan kemudian, seorang kolega menelepon Harun dan menyampaikan bahwa Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango meminta dia datang ke ruangannya. Harun dan Farid akhirnya menemui Nawawi. Dalam pertemuan, Nawawi menyampaikan hal yang sama seperti Ghufron. “Sebagian yang diceritakan Pak Nawawi sama dengan yang diceritakan Pak Ghufron,” ujar Farid.
Saat pertemuan itu, kata Harun, Nawawi bahkan mencurahkan perasaannya selama memimpin KPK. Ia menyatakan ingin mundur karena mendapat tekanan. “Kami bilang jangan, sampeyan ini harapan kawan-kawan,” ucap Harun. Saat dimintai konfirmasi ihwal daftar 21 nama dan tekanan terhadap dirinya, Nawawi tak merespons panggilan dan pesan WhatsApp dari tim IndonesiaLeaks.
Adapun Nurul Ghufron mengklaim tak pernah menyebutkan secara langsung nama-nama itu. “Kami tidak pernah mendapat nama-nama itu secara tegas. Di KPK ada ‘taliban-taliban’. Salah satu yang dianggap ‘taliban’ itu Mas Harun. Ya, memang saya sebutkan begitu,” ujar Ghufron menanggapi pertanyaan penyidik Novel Baswedan tentang hal yang sama dalam acara Mata Najwa pada 27 Mei lalu.
Firli Bahuri menampik telah membuat daftar nama yang harus disingkirkan dari KPK. “Apa kepentingan saya membuat list orang?” kata Firli. Kenyataannya, nama-nama yang sejak awal diincar untuk dibuang sekarang memang tersingkir.
TIM INDONESIALEAKS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo